Karena Menolak Zionis Yahudi, Indonesia Satu-satunya Negara yang Pernah Keluar dari PBB, Kini Kenapa Tidak?

CATATAN AGUNG PRIBADI

–Historivator–

SALAM-ONLINE.COM): PBB didirikan pada 24 Oktober 1945, menggantikan LBB (liga Bangsa-Bangsa) yang tidak bersikap tegas terhadap negara-negara besar untuk menghentikan perang dan aksi-aksi militer mereka yang menindas negara-negara kecil.

Tapi dalam kenyataannya sistem PBB menguntungkan negara-negara besar pemenang Perang Dunia Kedua. Dengan adanya hak veto, ini adalah pengkhianatan terbesar atas demokrasi yang mereka ciptakan sendiri. Bagaimana mungkin suara terbanyak dalam Majelis Umum PBB bisa dipatahkan dan digagalkan oleh 1 suara veto anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Dalam kenyataannya PBB lebih berpihak kepada negara-negara besar anggota tetap dewan keamanan PBB atau sekutu-sekutunya. Lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB itu adalah Amerika Serikat, Cina, Rusia, Inggris dan Prancis.

Sejak Uni Soviet hancur dan posisinya digantikan oleh Rusia yang ekonominya morat-marit dan mengemis bantuan kepada Eropa dan AS, maka Amerika menjadi negara adidaya satu-satunya. Markas PBB yang berada di New York difasilitasi sepenuhnya oleh Amerika Serikat, mulai pendanaan, perawatan hingga personil staf kesekretariatan di sana.

Hal ini pernah ditentang oleh Presiden pertama Indonesia, Soekarno. Ia mengusulkan agar Markas PBB dipindah keluar Amerika Serikat dan mengusulkan ke negara netral seperti Swiss.

Kekuatan dalam Dewan Keamanan PBB, menurut Soekarno, adalah gambaran ketika selesai Perang Dunia Kedua dan tidak menggambarkan kekuatan pada tahun 1960-an. Pada 1960-an, kata Bung Karno, banyak negara-negara besar yang baru bangkit antara lain RRC, Cina Komunis (ketika itu anggota dalam Dewan Keamanan PBB adalah Taiwan, atau ROC, Republik of China, Cina Nasionalis), Jepang, Indonesia, Yugoslavia, beberapa negara Amerika Latin dan negara-negara Arab.

Karena posisi PBB yang tidak berwibawa di hadapan negara-negara Besar dan tidak menggambarkan peta politik dunia tahun 1960-an maka mulailah Bung Karno melakukan move-movenya melawan negara-negara besar yang dia sebut Neo Kolonialisme Imperialisme atau Oldefo (Old Establish Forces, Kekuatan-kekuatan mapan yang lama/kuno).

Bung Karno menilai perlu badan dunia baru yang lebih netral dan berwibawa di hadapan negara-negara besar. Negara-Negara besar yang baru bangkit, demikian Bung Karno, adalah negara-negara NEFO (New Emerging Forces, Kekuatan-kekuatan yang baru bangkit).

Berawal ketika Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Indonesia menolak keikutsertaan Israel sehingga tidak memberikan undangan kepada penjajah itu. Juga Taiwan yang dianggap kekuatan tua karena menjadi anggota tetap Dewan Keamanan PBB.

Lantaran itu, Indonesiapun diskors dan tidak diperbolehkan mengikuti Olimpiade Tokyo 1964 bahkan dikeluarkan dari anggota IOC (International Olympic Committee).

Baca Juga

Menyikapi hal itu, tak kehilangan akal, Bung Karno lalu mengadakan Ganefo (Games of New Emerging Forces) di Senayan, Jakarta, dengan peserta-peserta dari Asia, Afrika, Amerika Latin dan Eropa.

Hal ini semakin menguatkan tekad Bung Karno untuk mendirikan badan baru pengganti PBB yang diberi nama CONEFO (Conferences of New Emerging Forces). Beberapa Negara di Afrika dan Amerika Latin berkomitmen untuk mendanai pembangunan gedung Markas CONEFO. Bung Karno pun mulai menetapkan proyek pembangunan Gedung Conefo.

Pada Tahun 1964 Bung Karno berpidato berapi-api di Majelis UMUM PBB mengritik ketimpangan kekuatan dan keanggotaan dalam PBB dan menyatakan PBB harus dibubarkan dan dibentuk wadah baru yang bernama CONEFO. Bung Karno juga menyatakan kalau Markas PBB di New York tidak dipindah, maka di Jakarta akan didirikan markas bagi badan baru pengganti PBB yang bernama CONEFO.

Ketika itu juga sedang dirapatkan apakah Malaysia akan diterima sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB atau tidak. Bung Karno mengatakan bahwa Malaysia itu didirikan oleh NEO Kolonialisme Imperialisme, tidak berhak berdiri sebagai suatu Negara, tidak berhak menjadi anggota PBB apalagi menjadi anggota Dewan Keamanan PBB. Kalau PBB menerima Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan, Indonesia mengancam akan keluar dari PBB.

Ternyata seminggu kemudian Malaysia diterima menjadi anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB. Maka dalam rapat akbar terbuka di hadapan puluhan ribu rakyat Indonesia dengan penuh harga diri Bung Karno menyatakan Indonesia keluar dari PBB. Rakyat Indonesia menyambutnya dengan gegap gempita.

Salah satu alasan Bung Karno membawa Indonesia ke luar dari PBB, lantaran badan dunia ini berpihak kepada Israel yang dianggap menguntungkan Imperialisme dan merugikan kemerdekaan bangsa-bangsa di dunia.

Sejak itu oleh negara-negara Blok Barat, Bung Karno dianggap berbahaya. Beberapa dokumen CIA yang dibuka 25 tahun sejak tahun 1964 menyatakan bahwa ada konspirasi Amerika Serikat, Inggris dan beberapa negara lain untuk mengudeta Bung Karno dalam peristiwa G30S 1965.

Bahkan Operasi menjatuhkan pemerintahan di Chile dinamakan “Operasi Jakarta” yang berarti CIA pernah beroperasi di Jakarta dan dianggap berhasil. Walaupun akibat ambisi Megalomania Bung Karno, mengakibatkan ekonomi Indonesia morat-marit, tapi ketika itu Indonesia punya harga diri, berani mengritik PBB dan berencana mendirikan organisasi badan dunia baru.

Indonesia pernah seperti itu, dan mestinya bisa mengulanginya lagi, tentu saja dengan perhitungan yang jauh lebih matang dan tidak mengakibatkan penderitaan rakyat.

Maka, jika dulu Indonesia pernah menyatakan keluar dari PBB, yang salah satu alasannya karena lembaga dunia ini berpihak pada penjajah Israel, kini, kenapa tidak?

Banyak penjajahan di dunia ini! Di Irak! Di Palestina! Di Afghanistan! Harusnya pemimpin sekarang berani seperti Bung Karno! Penjajahan di dunia ini harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan, demikian bunyi pembukaan UUD 1945.

Baca Juga