Bagaimana Hukumnya Mengucapkan Selamat dan Mengikuti Hari Raya Non-Muslim?

Catatan FAHMI SALIM
-Wakil Sekjen Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI)-

Fahmi Salim-black & White-jpeg.imageSALAM-ONLINE: Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 7 Maret 1981 telah memfatwakan haramnya menghadiri/mengikuti perayaan Natal bersama. Ada sekian banyak ayat Al-Qur’an, seperti Al-Baqarah: 42, Al-Maidah: 72-73 dan 116-118, At-Taubah: 30, Al-Kafirun: 1-6, Al-Ikhlas: 1-4, yang dijadikan landasan fatwa sehingga berkesimpulan seperti itu.

Selain dalil Al-Qur’an, juga terdapat satu hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tentang kewajiban menghindari perkara syubhat, dan satu kaidah ushul ‘Dar’ul Mafasid Muqaddamun ‘ala Jalbil Mashalih’ (menolak kerusakan lebih didahulukan ketimbang meraih maslahat). Lihat Himpunan Fatwa MUI, hal. 307-314 (Jakarta: Penerbit Erlangga).

Sayangnya, fatwa ini belum sepenuhnya dipatuhi dan diamalkan terutama pada tingkat elit pemimpin politik di negeri ini. Belum selesai persoalan otoritas fatwa MUI bidang akidah yang tidak dipatuhi dan sosialisasinya yang lemah, hampir setiap tahun umat juga selalu mempertanyakan status hukum mengucapkan selamat Natal dan hari raya umat non-Muslim lainnya.

Hukum Perayaan dan Ucapan Selamat Hari Raya Non-Muslim

Tentu yang disasar oleh judul di atas adalah umat Islam, bagaimana seharusnya mereka menyikapi undangan menghadiri perayaan Natal bersama (dan tentunya hari-hari raya non-Muslim lainnya), serta tradisi mengucapkan selamat hari raya Natal dan semisalnya.

Dalam penelusuran penulis, sikap para ulama terhadap perayaan non-Muslim sangat tegas dan bulat mengharamkannya. Mengikuti perayaan hari raya non-Muslim, serta menunjukkan kesenangan atau membantu kemeriahannya adalah haram dalam pandangan ulama empat mazhab yang muktabar.

Sekadar menyebut di antaranya, adalah Ibnu Nujaim Al-Hanafi dalam kitab Al-Bahr Al-Ra’iq Syarh Kanzu Al-Daqaiq vol.8/555, Ibnu Al-Hajj Al-Maliki dalam kitab Al-Madkhal vol.2/46-48, Al-Damiri Al-Syafi’I dalam kitab An-Najm Al-Wahhaj fi Syarh Al-Minhaj vol.9/244 juga Al-Khathib Al-Syirbini Al-Syafi’I dalam kitab Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifat Ma’ani Alfazh Al-Minhaj vol.4/191, dan Ibnu Hajar Al-Haitami Al-Syafi’I dalam Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra vol.4/238-239, dan Ibnu Taymiah dalam kitab Iqtidha’ Al-Shirath Al-Mustaqim li Mukhalafati Ashab Al-Jahim, vol.1/426-429, Al-Bahuty Al-Hanbali dalam kitab Kasyf Al-Qina’ ‘an Matn Al-Iqna’ vol.3/131. Juga dari ulama Al-Azhar kontemporer, Syeikh Ali Mahfuz dalam kitab Al-Ibda’ fi Madhar Al-Ibtida’ hal.274-276.

Jauh sebelumnya, adalah fatwa para pemuka sahabat Nabi yang melarang mengikuti upacara hari raya non-Muslim.

Imam Al-Baihaqi dengan sanad yang sahih meriwayatkan dari Umar ibn Al-Khattab RA, ia berkata: “Jangan kalian masuki gereja-gereja pada hari raya orang musyrik, karena kemurkaan Allah sedang turun kepada mereka.” Umar berkata, “Jauhilah musuh-musuh Allah pada hari-hari raya mereka,” (Sunan Al-Baihaqi, atsar No. 19333 dan 19334).

Baca Juga

Dari Abdullah bin ‘Amru bin ‘Ash RA, ia berkata, “Siapa yang tinggal di negara-negara asing dan membuat makanan dan mengikuti festival mereka sehingga menyerupai mereka (tasyabbuh), maka dia akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat,” (Sunan Al-Baihaqi, atsar No.19335).

Adapun hukum ucapan selamat hari raya non-Muslim, umumnya para ulama berangkat dari kaidah haram mengikuti perayaan non-Muslim sehingga ucapan tahniah bagi mereka pun turut diharamkan.

Bukankah saling mengucapkan selamat hari raya, membagikan hadiah hari raya, dan menghadiri ritual perayaan hari raya adalah perkara yang lumrah dilakukan di kalangan umat beragama ketika merayakan hari raya keagamaannya? Demikian kira-kira yang terlintas dalam benak para ulama Islam.

Oleh sebab itu, menjadi wajar apabila ‘Allamah Ibnul Qayyim Al-Jauziyah (691-751 H) memfatwakan, bahwa ucapan selamat terhadap upacara dan ritual kekafiran yang khusus buat mereka adalah haram sesuai kesepakatan ulama, seperti memberi ucapan selamat atas hari-hari raya dan puasa mereka, seperti mengatakan ‘id Mubarak ‘semoga hari raya Anda diberkahi’ atau ucapan selamat merayakannya.

Menurutnya, ucapan itu, jika pengucapnya bisa selamat dari kekafiran, maka hal itu termasuk perkara yang haram, seperti orang yang memberi selamat karena menyembah ٍSalib. Hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih hina daripada memberi selamat kepada yang meminum khamr, membunuh atau berzina, dan sebagainya.

Ibnul Qayyim mencatat, bahwa kebanyakan orang yang kurang memiliki keimanan, terjatuh dalam perkara itu dan tidak menyadari keburukannya. Maka siapa yang mengucapkan selamat kepada hamba yang melakukan maksiat, atau bid’ah atau kekafiran maka dia terkena murka Allah.

Dahulu para ulama yang wara’ menghindari ucapan selamat kepada penguasa yang zalim dan orang-orang jahil yang diberi kewenangan mengadili, mengajar atau berfatwa, demi menghindari murka Allah. Kecuali jika dia difitnah dan diancam sehingga dia terpaksa memberinya selamat dan datang kepadanya seraya mendoakannya agar memperoleh taufik hidayah, maka hal itu dibolehkan untuk menghindari keburukan dan mafsadat orang tersebut. Lihat Ahkam Ahli Dzimmah, vol.1, hal.441, tahqiq oleh Yusuf al-Bakri dan Taufiq al-‘Aruri.

Sebenarnya,  toleransi dan sikap saling menghormati tidak harus dilakukan dengan  ucapan selamat hari raya. Apalagi, dalam ucapan “Selamat Natal”, di dalamnya terselip pengakuan Nabi Isa sebagai Tuhan Yesus. Karena itu, dalam hal ini,  sikap kehati-hatian amat dituntut, agar semua perilaku dan ucapan kita tidak bertentangan dengan akidah Islam.

Sungguh benar sabda Rasulullah Shallahu ‘alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh An-Nu’man bin Basyir ra, “Siapa yang menghindari perkara syubhat, ia telah menyelamatkan ad-Din dan kehormatannya. Siapa yang terjatuh dalam perkara syubhat, ia telah jatuh dalam perkara haram, seperti penggembala yang mengurus ternaknya di dekat daerah terlarang suatu saat hewannya pasti akan memasuki daerah terlarang itu,” (HR. Bukhari-Muslim). Wallahu A’lam. (rmol.com)–salam-online

Baca Juga