Modus: Dipacari, Dihamili, Dimurtadkan

Modus-dipacari, dihamili, dimurtadkan-2-jpeg.imageSALAM-ONLINE: Judul di atas pernah muncul pada cover sebuah majalah Islam beberapa tahun lalu. Dipacari, dihamili, dimurtadkan, lalu “dinikahi” bukan cerita isapan jempol, tapi memang fakta yang tengah dialami dalam masyarakat Islam. Inilah modus pemurtadan dalam pernikahan.

Dulu, pada 1970-an seorang menteri Orde Baru harus mengalami hal pahit setelah anak perempuannya dipacari dan dihamili oleh seorang pemuda Kristen. Saking cintanya dan takut anak yang dikandungnya tak berayah, sang anak rela ‘dinikahi’ dengan syarat murtad dari Islam.

Jadi, perempuan Islam itu terpaksa “menikah” karena sudah hamil atau keperawanannya sudah terlanjur hilang sehingga “cinta mati” berhasil mengeluarkannya dari akidah Islam—karena sang pria memasang syarat harus berpindah keyakinan jika ingin “dinikahi”.

Begitulah, wanita yang telah dipacari dan dihamili, akhirnya lebih memilih menggadaikan akidahnya, pindah pada keyakinan sang suami.

Modus lainnya, ini juga sering terjadi, pria kafir itu pura-pura masuk Islam supaya bisa “menikahi” wanita Muslim. Setelah berhasil, dia kembali ke keyakinannya semula, dan mengajak perempuan yang “dinikahi”nya untuk masuk pada keyakinannya alias murtad dari Islam. Dan, anak-anaknya pun otomatis menganut keyakinan kafir orangtuanya.

Dua modus ini banyak terjadi di tengah masyarakat kita. Karena itu, para orang tua sudah semestinya menjaga anak-anak perempuan mereka. Para perempuan Muslim sudah seharusnya menjaga diri dan kehormatan mereka dari jebakan dan modus semacam ini—kecuali bagi mereka yang memang tak peduli dengan ke-Islam-an mereka, bahkan menganggap ini adalah masalah pribadi, demi “cinta buta”nya itu.

Sangat disayangkan, jika ada orang tua yang akhirnya pasrah melihat kenyataan anak perempuannya dimurtadkan oleh pria kafir. Meski menentang, tetapi terkadang orang tua tak melakukan tindakan apa-apa. Padahal anak perempuan yang mestinya masih menjadi hak dan kewajibannya untuk menjaga dan melindunginya, termasuk sang ayah yang paling berhak menikahkannya sebagai wali sah, namun kenyataannya hanya bisa pasrah anaknya dibawa kabur dan “dinikahi” sang pria kafir tanpa persetujuannya. Seharusnya orang tua bisa menuntut dan melaporkan pria kafir yang membawa anaknya tanpa izin dan persetujuannya.

Tetapi, anehnya, ini yang banyak terjadi pada orang tua yang anak perempuannya dimurtadkan dan “dinikahi”. Kasus geger seorang pemain sinetron yang diberitakan murtad, mengikuti keyakinan si pria yang semula “menikahi”nya dan berpura-pura masuk Islam, lalu “pernikahan”nya dibatalkan oleh pengadilan agama—karena dianggap tak pernah ada pernikahan akibat dusta sang pria—tapi setelah itu mereka “menkah” lagi di luar negeri tanpa persetujuan orang tua perempuan, dan sang anak pun murtad.

Lantas, apa kata ayah perempuan tersebut? Ia cuma mengatakan, kalau anaknya dan pria itu menemuinya pasti dia tolak pria itu, tetapi sang anak tetap ia terima, meskipun ia sudah pindah keyakinan. “Itu hak dia, mungkin itu yang terbaik buat dia. Dia tetap anak saya pasti tetap saya terima. Kecuali dia bunuh orang atau narkoba,” kata sang ayah (detikcom, 28/1/2014).

Inilah pernyataan orang tua yang kalah dan salah. Dia justru mengatakan, anaknya yang murtad itu tetap anaknya, karena itu hak dia pindah keyakinan dan mungkin yang terbaik buat dia. Lebih aneh lagi, sang orang tua masih bisa menerima kemurtadan anaknya, masih menerima sebagai anak, kecuali kalau membunuh dan terjerat narkoba. Jadi, keyakinan (akidah) Islam lebih rendah nilainya ketimbang jika sang anak membunuh dan mengonsumsi narkoba? Artinya, sang ayah lebih memilih anaknya murtad dibanding terjerat narkoba. Begitu murahnya harga sebuah keyakinan, akidah Islam, dibandingkan dengan narkoba atau tindakan kejahatan lainnya.

Dalam Islam, hubungan pertalian ayah, anak dan istri itu putus, karena kekufuran—meski dalam hubungan sosial boleh saja berlangsung. Dan, hukum waris pun otomatis tak berlaku karena perbedaan keyakinan ini.

Adalah Nabi Nuh ‘alahissalam yang tak mengakui istri dan anaknya karena membangkang dan kufur terhadap Allah. Begitu pula Nabi Luth yang istrinya ingkar dan melawan yang diperintahkan kepadanya. Dan Nabi Ibrahim ‘alaihissalam menyatakan berlepas diri dari sang ayah yang tidak mau mengkuti perintah Allah ke jalan lurus (Islam). Karena, tak ada ikatan persaudaraan jika berbeda akidah.

Begitulah. Apa yang terjadi di tengah masyarakat kita sangat jauh berbeda dengan yang dicontohkan oleh para Nabi tersebut. Anehnya lagi, ini juga yang tejadi di tengah masyarakat Islam, sudah jelas-jelas anak perempuannya dibawa kabur dan “dinikahi” tanpa izin dan persetujuannya, tapi masih berlapang dada dengan tidak mengusut, tidak menindak dan tak melaporkan si pria yang membawa kabur anaknya tersebut. Bagaimana pertanggungjawabannya di akhirat kelak? Ironis!

Maka, kasus Asmirandah dapat dijadikan pelajaran untuk mengingatkan para remaja dan orang tua Muslim agar berhati-hati dan tidak terjebak dalam kubangan pemurtadan. Di tengah fokus bahaya Syiah, Zionis, Komunis, Sekulerisme, Pluralisme dan Liberalisme, jangan lupakan pula banyaknya kasus-kasus pemurtadan dengan beragam modus yang menimpa umat. Maka kita perlu ucapkan “terimakasih” kepada Asmirandah yang telah “mengingatkan” kita untuk tetap peduli pada kasus-kasus pemurtadan yang terus mengintai umat.

Baca Juga
Baca Juga