Munarman: Siapapun Sangat Mungkin Dikriminalisasi Sepanjang Oposisi terhadap Penguasa

Munarman

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bekerjasama dengan Pusat Edukasi, Rehabilitasi dan Advokasi (PERISAI) Yayasan Perisai Nusantara Esa menggelar diskusi publik bertema ‘Ranu dan Ancaman Kriminalisasi Jurnalis’ di Hotel Sofyan Inn, Tebet, Jakarta, pada Ahad (21/5).

Sebagai pembicara dalam kesempatan ini adalah Pemred Kelompok Media Hidayatullah dan anggota Dewan Syuro JITU Mahladi Murni, Pengacara Publik LBH Pers Gading Yonggar, Anggota Komisi I DPR Arwani Thomafi dan Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah Pedri Kasman. Hadir pula nara sumber seperti Advokat Senior Munarman, Pengurus Majelis Pustaka dan Informasi PP Muhammadiyah Mustofa Nahrawardaya dan Direktur INSISTS Adnin Armas yang juga Pemred Majalah Gontor.

Merespons paparan pembicara, Munarman mengatakan, masyarakat Indonesia pada rezim saat ini umumnya sangat mungkin dikriminalisasi sepanjang sifatnya oposisi terhadap penguasa.

Hal itu, terangnya, disebabkan watak kekuasaan yang memang seperti itu dan sangat tidak suka dengan pihak-pihak yang mengkritik atau berseberangan.

“Tinggal tunggu waktunya aja dikerjain,” ujarnya sebagaimana dilansir Islamic News Agency (INA), Ahad (21/5).

Ia menjelaskan, menurut teori Gramsci, dalam upaya menaklukkan orang lain kekuasaan menggunakan dua cara, yaitu dominasi dan hegemoni.

Dominasi, paparnya, menggunakan alat-alat yang dikuasai kekuasaan. Yakni dengan kekuasaan formil (hukum) atau juga dengan cara otoriter.

“Hukum sendiri sebetulnya adalah alat represif yang disediakan dengan sengaja untuk penguasa mengontrol publik,” ungkapnya.

Baca Juga

Sedangkan hukum sebagai alat kontrol sosial, kata dia, maka digunakan cara hegemoni. Yaitu penaklukan secara lunak, misalnya alam pikiran, sehingga, ia mencontohkan, banyak yang tidak sadar seseorang bekerja untuk penguasa karena menganggap penguasa tersebut benar.

Adapun, lanjut Munarman, umat Islam saat ini dalam kondisi yang dihegemoni, bukan menghegemoni, lantaran yang sedang berkuasa adalah ideologi politik sekuler.

Karenanya, akan dianggap aneh ketika seorang jurnalis Muslim membongkar, yang dalam bahasa agama, disebut kemaksiatan.

“Jadi sepanjang nilai-nilai yang dianut penguasa atau suatu peradaban adalah nilai yang rusak atau mengandung kerusakan, maka sepanjang itu juga terjadi penghambatan kepada wartawan yang menolak kemaksiatan tersebut,” paparnya.

Oleh karena itu, Munarman menilai, kriminalisasi seperti yang dihadapi jurnalis Muslim Ranu Muda saat meliput kemaksiatan di Resto & Bar Social Kitchen Solo, Desember 2016 lalu adalah akibat hilir dari pertarungan suatu peradaban.

Ia mengimbau, penting bagi media Islam untuk mengedukasi masyarakat terlebih dahulu mengenai aspek dominasi dalam teori Gramsci sebelum regulasi itu nantinya bisa dijadikan alat represif untuk mendukung tindak kemaksiatan.

“Menurut saya fungsi media Islam untuk mendorong itu, bermain dalam kerangka besarnya. Media Islam harus masuk pada pertempuran peradaban,” imbuhnya.

“Karena selama peradabannya bertentangan, pasti yang berlawanan akan dihantam terus-menerus,” pungkas Juru Bicara Front Pembela Islam (FPI) ini. (Yahya G Nasrullah/INA)

Baca Juga