ASEAN Dinilai tidak Efektif Tangani Krisis Sesama Negara Anggota

Pengajian bulanan PP Miuhammadiyah dengan tema: ‘Kebijakan Politik dan Bantuan Kemanusiaan bagi Rohingya, Jumat (8/9) malam. (Foto: Irwandi Arsyad/Viva.co.id).

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Organisasi regional di Asia Tenggara, Asssociation of Southeast Asian Nations (ASEAN) kembali menjadi sorotan. Terus berulangnya tragedi kemanusiaan yang berlangsung di Myanmar mengundang kritisi masyarakat internasional mengenai bagaimana peranan ASEAN dalam menangani krisis yang berdampak regional tersebut.

Pelemparan bom molotov ke Kedutaan Besar Myanmar di Jakarta, gelombang aksi solidaritas terhadap Muslim Rohingya di berbagai daerah, serta arus pengungsian besar-besaran ke Bangladesh, membuktikan bahwa krisis yang terjadi di dalam negeri Myanmar itu berdampak meluas terhadap negara tetangga dan sekitarnya.

Ketua PP Muhammadiyah Hajriyanto Thohari ikut menyesalkan peran ASEAN yang dinilai tidak efektif dalam mengatasi krisis-krisis di negara-negara anggotanya. Menurutnya, mekanisme pengambilan keputusan yang menghendaki semua negara memiliki ‘veto’ bertabrakan dengan nilai-nilai HAM yang dianut organisasi yang berdiri sejak tahun 1967 itu.

“Jadi ada sebuah klausal, yaitu sebuah keputusan harus diambil secara konsensus dan tidak ada negara yang menolak keputusan itu. Apabila ada satu negara yang menolak, maka tidak dapat diambil keputusan, walaupun di dalam piagam ASEAN disebutkan HAM adalah bagian penting dan integral dari nilai-nilai ASEAN, tinggi sekali,” jelas Hajriyanto dalam acara Pengajian Politik Bulanan Muhammadiyah dengan tema ‘Kebijakan Politik dan Bantuan Kemanusiaan bagi Rohingya‘ di Gedung Pusat Dakwah IMuhammadiyah, Jl Menteng Raya No 62, Jakarta, Jumat (8/9/2017) malam.

Hijriyanto mengatakan, seharusnya wadah ASEAN dapat menjadi sarana diplomasi yang dapat dimanfaatkan negara-negara anggota—termasuk Indonesia—dan negara-negara lainnya untuk menekan rezim Aung San Suu Kyi agar menghentikan dugaan kuat penyalahgunaan kekuatan dan upaya pembasmian etnis Rohingya dari tanah Burma. Namun, sebagaimana diberitakan, Indonesia menjadi aktor government (negara) yang justru berada di depan dalam diplomasi ini.

Baca Juga

“Pemerintah Indonesia dapat menggunakan organisasi ini untuk ikut dengan negara-negara lain mengatasi apa yang terjadi di Myanmar. Memang saya ketahui ada kendala-kendala. Mungkin karena faktor itu maka (peran) organisasi ini (ASEAN) dalam menangani permasalahan etnis Rohingya belum nampak,” ujarnya.

Sekretaris Ditjen Kerja Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri Ashariyadi juga mengiyakan bahwa ASEAN cukup tertinggal dari organisasi regional lainnya dalam hal penanganan konflik dan permasalahan negara-negara anggotanya. Prinsip kedaulatan yang dimaknai secara rigid oleh negara-negara ASEAN pada akhirnya menyulitkan negara-negara itu untuk melakukan penyelesaian masalah dalam bingkai organisasi.

“Di dalam ASEAN, mekanisme yang tegas dan jelas yang memiliki otoritas yang kuat belum biasa dilakukan. Negara-negara anggota ASEAN dihormati 100 persen kedaulatannya. Kalau di Uni Eropa (UE) hampir supranasional, tidak begitu dengan ASEAN. Banyak sekali masalah-masalah yang tidak cepat ditanggapi dengan firm atau segera,” terangnya.

Ia juga menilai, kunjungan Menteri Luar Negeri Retno Marsudi ke Myanmar beberapa waktu lalu justru dinilai lebih dapat berdampak efektif ketimbang mekanisme ASEAN. Apa yang dijalankan pemerintah Indonesia melalui pendekatan yang ia sebut sebagai constructive engagement belum tentu dapat dimainkan oleh negara-negara lain jika masuk melalui pintu ASEAN.

“Indonesia mencoba menghindari megaphone diplomacy (memberi pernyataan keras). Bahkan Bu Menlu sudah melakukan diplomasi yaitu ke Bangladesh,” terang Ashariyadi. (al-Fath/Salam-Online)

Baca Juga