Ini Kesaksian Muslim Rohingya terhadap Kebiadaban di Negaranya

“Aku berharap agar orang-orang di dunia ini dapat membantu kami kembali ke negara asal kami. Atau, kalau tidak, berikan kami suatu negara yang dapat kami tinggali,” Noor Kajol (10)

Beberapa pengungsi Muslim Rohingya korban kekerasan brutal tentara Myanmar yang berhasil melarikan dan menyelamatkan diri menyampaikan kesaksiannya tentang kebiadaban militer di negaranya. (Foto: Katie Arnold/Aljazeera)

SALAM-ONLINE: Kekacauan yang terjadi di Myanmar, khususnya di negara bagian Rakhine dinilai sebagai peristiwa kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap penduduk sipil. Mayoritas dunia internasional mengutuk keras aksi brutal ini dan meminta pemerintah negara tersebut segera mengambil langkah konkret untuk menghentikan kekerasan.

Setidaknya sampai saat ini, sekitar 400.000 Muslim Rohingya terpaksa melarikan diri ke negara tetangga untuk menyelamatkan diri dari pembantaian yang disaksikan sendiri di depan mata kepala mereka. Dalam wawancara dengan jurnalis Aljazeera, Katie Arnold, beberapa saksi mata sekaligus korban menceritakan bagaimana anggota keluarga mereka diberondong senjata, diperkosa, dipukuli, dan tempat tinggal mereka dibakar habis beserta orang yang tinggal di dalamnya.

Akibat kekejaman ini, mereka pun harus menempuh perjalanan sulit dan membahayakan menuju negara tetangga terdekat, Bangladesh. Bahkan, ada sejumlah korban yang meninggal akibat menginjak ranjau yang ditanam tentara Myanmar di dekat perbatasan Bangladesh.

Penderitaan yang mereka alami ini tidak usai sesampainya di tempat penampungan pengungsi. Mereka harus hidup bersesak-sesakan dengan ratusan ribu pengungsi lainnya di penampungan tanpa sarana sanitasi dan tidur di atas permukaan yang berlumpur.

Noor Kajol, seorang anak berusia 10 tahun berulang kali mengungkapkan betapa ia merindukan ayahnya yang menjadi korban meninggal atas serangan tentara Myanmar ke desa yang mereka huni. Noor begitu merasakan bagaimana sulitnya hidup dengan ancaman kematian di negara asal atau hidup tanpa kehidupan di pengungsian.

Adapula Ahessan (30), mengalami kesedihan yang teramat dalam karena harus menyaksikan kejadian paling menyedihkan dalam hidupnya. Dan, Begum Jaan, seorang nenek berusia 65 tahun yang tergopoh-gopoh melewati perjalanan panjang ke Bangladesh seorang diri.

Noor, Ahessan dan Begum Jaan, hanyalah segelintir dari Muslim Rohingya yang mengungkapkan betapa dekatnya diri mereka dengan keputus-asaan dan kematian. Berikut sejumlah kesaksian dari para korban tersebut.

Noor Kajol (10)

“Namaku Noor Kajol. Aku berusia 10 tahun. Aku sangat senang tinggal di desaku karena di sana aku bisa mempelajari Kitab Suci Al-Qur’an di madrasah. Rasanya aku ingin menghapal semuanya (surat-surat Al-Qur’an). Aku tinggal bersama keluargaku. Kami hidup bertujuh di rumah yang sederhana. Tetapi aku senang tinggal di rumahku.

Kini, kami harus meninggalkan rumah karena militer menembaki kami. Saat itu aku sedang berada di dalam rumah dengan ayahku. Peluru tentara Myanmar menembus jendela rumah dan mengenai tepat di kepalanya. Dia langsung roboh ke lantai dan darah mengucur deras dari kepalanya.

Saat itu aku sangat ketakutan dan menangis kejar. Kami lari, meninggalkan jasad ayahku di rumah. Militer membakar habis rumah beserta ayahku yang masih berada di dalamnya.

Kami menempuh perjalanan memasuki hutan dan bersembunyi di pepohonan. Lalu kami melanjutkan menempuh perjalanan selama tiga hari menuju Bangladesh. Keadaan itu sangat sulit bagiku karena aku sangat lapar dan sangat merindukan ayahku.

Banyak orang secara sukarelawan menolong kami untuk melintasi perbatasan. Mereka sangat baik sekali. Kami melaju menggunakan perahu motor, namun selama perjalanan aku tetap merasa gelisah. Semua itu karena aku masih merindukan ayahku. Pekerjaannya biasanya memotong-motong kayu. Semua orang menyukainya. Dia adalah seseorang yang apa adanya. Dan dia sangat menyayangiku.

Di Bangladesh, aku tidak mendapatkan kesenangan. Lagi, karena aku sangat merindukan ayahku. Kondisi di sini sangat kotor, tidak ada toilet dan kamar mandi.

Aku berharap agar orang-orang di dunia ini dapat membantu kami kembali ke negara asal kami. Atau, kalau tidak, berikan kami suatu negara yang dapat kami tinggali.”

Ahessan  (30)

“Nama saya Ahessan. Umur saya saat ini 30 tahun. Sebelum terjadinya krisis ini, saya adalah seorang petani yang tinggal di desa Chin Khali. Selain bercocok-tanam, saya biasa mengajarkan anak-anak bahasa Inggris sepulang dari bertani. Saya adalah orang yang sangat sibuk.

Suatu pagi pada 25 Agustus, seperti biasa, saya sarapan pagi bersama keluarga. Namun seketika pasukan militer memasuki desa dan mulai menembaki kami. Mereka melakukannya secara membabi-buta. Dan lima anggota keluarga saya menjadi korban meninggal.

Saya menemukan ibu saya terkapar di atas lantai dengan luka peluru di bagian belakangnya. Sementara salah seorang saudari perempuan saya tergeletak dengan luka tusukan di wajah dan tubuhnya. Hal itu merupakan pemandangan paling menyedihkan yang pernah saya lihat dalam hidup saya. Namun, saya tidak punya  waktu untuk bersedih. Saya takut militer akan menembak saya juga.

Seorang tentara berusaha untuk memerkosa saudari saya namun dia melawan. Tetapi mereka (tentara) tetap mengeroyoknya dengan memukulinya. Dia mengalami trauma dan tidak mau berbicara sejak itu. Kejadian itu bahkan membuatnya terdiam dan tidak mau bergerak. Saya dan saudara saya harus membawanya dengan selimut yang diikatkan ke bambu.

Dalam perjalanan menuju Bangladesh, saya melihat hal yang mengerikan. Banyak mayat bergelimpangan di jalan-jalan, anak-anak menangis, dan orang tua tersiksa kelaparan. Saat kami tiba di perbatasan, ada sekitar ribuan Rohingya yang mencoba menyeberangi perbatasan melewati sungai. Pada akhirnya kami mendapatkan perahu yang membawa kami ke sana.

Kehidupan kami di Bangladesh sangat menyengsarakan. Kami tidak memiliki tempat yang layak, tidak ada sarana sanitasi dan para pengungsi tidak menemukan lapak yang cukup untuk tidur. Kami memang masih hidup, namun keadaan yang sangat buruk membuat kami seakan seperti orang yang tidak layak hidup. Saya khawatir orang-orang Rohingya akan mati juga cepat atau lambat. Jika kami kembali ke Myanmar kami akan terbunuh, tetapi di sini pun tidak ada kehidupan.

Saya percaya dunia telah membantu dan mendukung kami untuk tetap hidup. Saya sangat bersyukur atas itu. Tetapi saya menginginkan agar dunia juga merasakan apa yang kami rasakan. Kami juga manusia layaknya kalian. Namun, kalian adalah warga negara dari suatu negara tetapi kami bukan. Saya memohon kepada orang-orang di dunia ini, biarkanlah kami menjadi warga negara di suatu negara. Kami juga ingin hidup seperti kalian.”

Rahimol (22)

“Nama saya Rahimol Mustafa dan umur saya 22 tahun. Sebelum sampai ke tempat ini (kamp pengungsian), saya adalah seorang pelajar di madrasah setempat. Saya sangat menikmati waktu-waktu saya menuntut ilmu. Sesekali, saya juga mengajar anak-anak. Semua itu harus saya lakukan karena kebanyakan orang-orang di desa saya hidup tanpa mengenyam pendidikan.

Saya bercita-cita untuk menjadi guru. Saya sangat bahagia tinggal di desa ini, Foira, hingga militer mulai melancarkan operasi ke desa kami.

Saat itu waktu menunjukkan pukul 3 dini hari. Pasukan militer mulai menembaki desa dan membakari rumah-rumah kami. Kami tidak dapat meninggalkan rumah karena apabila mereka melihat kami keluar, mereka akan menembak kami. Jadi kami bersembunyi di dalam rumah. Namun, pada akhirnya, mereka mendekat dan menembaki rumah saya melalui jendela. Peluru mengenai kaki saya. Banyak orang dari desa Foira terbunuh pada malam buta itu. Saya sendiri melihat tiga tetangga saya mati dibunuh.

Ayah dan saudara saya mencoba membawa saya  ke rumah sakit agar saya mendapatkan perawatan. Namun, mereka (pihak rumah sakit) menolak untuk mengobati saya karena situasi penyerangan itu. Maka keluarga saya memutuskan membawa saya ke Bangladesh. Mereka harus membawa saya melewati pegungungan untuk menghindari militer.

Perjalanan itu serasa sangat panjang dan menyakitkan. Ditambah lagi luka yang saya derita mulai mengalami infeksi yang parah. Saya merasa sangat sedih karena satu-satunya hal yang mereka (keluarga saya) sanggup bawa hanyalah diri saya. Kami meninggalkan semua yang kami miliki.

Saya sangat bersyukur dapat sampai dengan selamat di Bangladesh dan menerima perawatan medis dari organisasi kemanusiaan Dokter Lintas Batas (MSF: Médecins Sans Frontières). Meskipun begitu, di sini kami tidak memiliki tempat untuk ditinggali dan tidak ada masa depan di sini.

Kami akan memiliki masa depan apabila ada perdamaian di desa (negara) kami. Sangat menyedihkan menyaksikan apa yang sedang terjadi saat ini. Yang kami inginkan adalah kembali pulang dan perdamaian. Saya percaya bahwa dunia menyaksikan kekacauan yang kami alami dan mereka telah berupaya membantu kami.”

Rashida (25)

Baca Juga

“Namaku Rashida dan aku berumur 25 tahun. Sebelum revolusi Arakan, kami memiliki kehidupan yang sederhana dan tenteram. Kami memiliki sawah padi dan biasa bertani di sana. Aku tinggal bersama suami dan tiga anakku. Kami sangat merasakan kedamaian dalam hidup kami hingga peristiwa itu terjadi.

Kami telah meninggalkan semua yang kami miliki. Rumah dan sawah kami dibakar habis, jadi percuma untuk mengharapkan mendapatkan penghasilan dari sana.

Ketika militer mulai memberondong desa kami dengan senjata, kami dengan cepat membawa anak kami dan berlari ke dalam hutan untuk bersembunyi. Namun, mereka (anak-anak) juga takut dengan alam liar di tengah hutan. Ketika aku memberanikan diri kembali untuk mengecek rumah, aku menyaksikan dengan mata kepalaku sendiri banyak orang-orang Rohingya dibunuh.

Kami menempuh perjalanan selama delapan hari melewati hutan belantara hingga sampai di perbatasan. Kami sangat kelaparan dan tidak memiliki apapun untuk dimakan kecuali dedaunan. Anak-anak meminta makanan namun tidak ada yang dapat kami bawa dari rumah. Hanya anak-anak.

Kami menyeberangi perbatasan menggunakan perahu kecil. Kami menempuh perjalanan yang sangat membahayakan dan aku merasakan perahu yang kami tumpangi akan tenggelam. Jadi aku memeluk erat anak-anakku.

Di Bangladesh, kondisinya teramat sulit. Di rumah, kami memilki hewan peliharaan, lahan seluas 0,4 hektar yang kami manfaatkan untuk bertani padi. Kami memiliki rumah dan desa yang indah di negara asal kami. Tapi kami meninggalkan itu semua. Aku yakin kamu dapat membayangkan bagaimana sedihnya perasaan kami saat ini.

Aku merindukan rumahku. Kami merasa tidak memilki harapan di sini. Aku pun tidak tahu bagaimana nasib dan masa depan kami.

Kami tidak mendapatkan bantuan yang cukup di sini. Meskipun begitu, orang-orang Bangladesh sangat baik dan mereka memberikan bantuan pakaian dan makanan. Aku tidak melihat kehadiran organisasi internasional di sini. Aku harap mereka dapat membantu kami. Kami membutuhkan makanan.

Pesan saya kepada dunia di  luar sana adalah, kami menginginkan perdamaian. Tanpa perdamaian kami tidak memiliki masa depan.”

Begum Jaan (65)

“Saya memilki kehidupan yang sangat sulit. Suami saya meninggal 25 tahun yang lalu. Sejak saat itu, saya harus meminta-minta di jalanan di desa agar tetap hidup. Kedua anak perempuan saya telah menikah. Jadi tidak ada satu pun yang membantu saya.

Suatu malam, saya mendengar suara tembakan dan dentuman ledakan yang amat keras. Saya sampai tidak tahan untuk mendengarnya. Sejak saat itu saya tidak bisa tidur dan suara bising itu terus terngiang di kepala saya.

Semua orang ketika itu melarikan diri. Saya tidak ingin tertinggal sendiri, jadi saya pun mengikuti mereka. Butuh waktu dua hari bagi saya untuk mencapai perbatasan Bangladesh. Perjalanan yang saya tempuh sangat sulit hingga saya harus membutuhkan tongkat untuk jalan. Meskipun saya melihat banyak orang berjalan mengarah ke Bangladesh, tidak ada yang menemani saya. Saya mendengar kabar bahwa militer melakukan patroli di sepanjang sungai. Saya merasa sangat ketakutan ketika harus menyeberangi perbatasan menggunakan perahu.

Saya rasa dunia telah banyak membantu kami. Mengetahui hal itu sangat membuat saya merasa lebih baik. Saya ingin semua orang mendengar kisah kami. Saya ingin semua orang di dunia ini mendengar penderitaan yang kami alami. Tapi saya tidak tahu apakah hal itu akan membantu atau tidak. Kami khawatir dengan keberlangsungan hidup kami. Kami menghadapi keputusasaan.”

Jashim (12)

“Namaku Jashim. Usiaku 12 tahun. Sebelum kekacauan itu dimulai, aku adalah seorang pelajar. Mata pelajaran kesukaanku adalah bahasa Inggris. Menurutku, kalau aku bisa bicara bahasa Inggris aku dapat berbicara dengan banyak orang di seluruh dunia dan menyampaikan pendapatku. Aku berharap dapat melanjutkan sekolahku suatu saat nanti karena aku ingin menjadi guru.

Saat militer tiba di desa kami, yang terpikir olehku hanyalah melarikan diri dan bersembunyi. Aku melihat banyak sekali tentara, mungkin 100 sampai 200 orang. Mereka menembaki dan membakar habis rumah kami. Aku sangat takut ketika itu.

Kami bersembunyi di hutan, lalu melanjutkan perjalanan menuju Bangladesh. Butuh waktu 13 hari (untuk mencapai Bangladesh). Jadi kami istirahat sejenak dan membangun tempat istirahat sementara di luar hutan.

Perjalanan yang kami lalui sangatlah sulit. Kami harus melewati daerah-daerah perbukitan dan sungai-sungai. Ketika sedang berjalan, aku selalu khawatir militer akan menyergap kami sebelum kami sampai di Bangladesh. Kami harus berhati-hati karena militer telah menanam ranjau-ranjau yang akan meledak apabila kami menginjaknya.

Aku sangat kesal karena desa tempatku tinggal kini tiada. Kami tidak membawa apapun selama perjalanan, semuanya hilang. Aku berjalan ke Bangladesh bersama ibuku. Ayahku tertinggal di Rakhine. Dia menyuruh kami menyelamatkan diri dan mengatakan akan menyusul kami kemudian. Namun, hingga saat ini, kami tidak mengetahui di mana dia sekarang. Tidak ada kabar pula tentang dirinya.

Aku khawatir dia menginjak ranjau atau militer menangkapnya. Tapi setidaknya kami aman untuk saat ini. Namun, keadaan di sini sulit karena kami tidak memiliki rumah untuk kami tempati dan kami harus tidur di atas permukaan tanah yang basah.

Pesanku kepada dunia adalah kami ini warga negara Myanmar. Jika mereka (pemerintah Myanmar) mau mengakui kewarganegaraan kami, tentu itu akan membuat kami senang. Hanya itu yang kami inginkan.”

Muhammed Ason (24)

“Sebelum kekacauan ini dimulai, aku mempelajari bahasa Inggris dan Burma di SMA di Rakhine. Aku ingin memelajari bahasa Inggris agar aku dapat menolong orang-orang Rohingya dan menyampaikan permasalahan yang mereka alami kepada dunia. Aku juga mengelola toko grosir. Kehidupanku di Rakhine sangat tidak menyenangkan. Kami tidak memiliki kebebasan dan bahkan aku tidak diperbolehkan memperoleh bahan-bahan dari luar negeri yang biasanya aku pergunakan untuk berjualan.

Aku mengingat sekali ketika itu militer datang ke desa kami. Mereka menembaki seisi desa. Seorang tetanggaku disiksa oleh militer, namun ia tidak tahan dengan penyiksaan itu dan kemudian melawan balik dengan sebilah pisau. Mereka (tentara) lalu menembaknya mati tepat di depan mataku. Mereka telah menyiksa kami selama bertahun-tahun, memukuli dan mengekang kami. Tapi sekarang, mereka makin menjadi-jadi menembaki kami. Aku tidak mungkin bisa hidup dengan situasi seperti itu. Jadi aku berusaha meyelamatkan diri ke Bangladesh.

Tidak ada kata-kata yang dapat menggambarkan bagaimana sedihnya perasaan ini ketika aku harus meninggalkan desa. Semua yang aku miliki ada di sana. Satu-satunya barang yang dapat aku bawa adalah longyi (semacam pakaian khas Myanmar yang diikatkan di pinggang). Aku sangat khawatir dengan orang-orang Rohingya yang memilih tinggal atau tidak memiliki kesempatan melarikan diri dari Rakhine. Tidak ada orang yang tahu bagaimana nasib mereka saat ini.

Di Bangladesh, kami tidur di pinggir-pinggir jalan yang basah dan berlumpur dan kami tidak mendapatkan bantuan yang memadai. Orang-orang Rohingya sangat membludak di tempat ini. Orang-orang Bangladesh dan beberapa organisasi membantu kami. Namun, apabila dibandingkan dengan padatnya pengungsi, jumlah mereka sangat sedikit untuk mengurus orang sebanyak dan dengan kondisi yang seperti ini.

Dunia perlu menekan pemerintah Myanmar agar mereka mau menerima kami kembali ke negara kami. Orang-orang Budha dapat hidup dengan tenteram, lalu mengapa kami tidak bisa? Aku juga ingin hidup tenteram layaknya mereka. Penganut Budha dapat menjalankan ajaran agamanya (tanpa tekanan), dan kami akan tetap pada ajaran Islam. Kami tidak menginginkan konflik agama terjadi. Kami hanya ingin menjalankan ibadah, sama seperti mereka.”

Pembersihan Etnis

Sekitar 400.000 Muslim Rohingya yang didominasi perempuan dan anak-anak melarikan diri ke Bangladesh dalam beberapa pekan terakhir. Situasi ini terjadi menyusul aksi brutal tentara Myanmar terhadap penduduk sipil Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.

PBB dan organiasasi pejuang HAM lainnya memberi peringatan kepada pemerintah Myanmar bahwa migrasi yang terjadi dalam jumlah besar yang disebabkan pembantaian, pemerkosaan dan pembakaran tempat tinggal penduduk merupakan indikator terjadinya upaya “pembersihan etnis”. Menyikapi situasi dan kondisi mencekam ini, dunia internasional diminta untuk memberi tekanan kuat  kepada pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi dan pemerintahannya agar segera menghentikan aksi kejahatan kemanusiaan tersebut.  (al-Fath/Salam-Online)

Sumber: Aljazeera

*Wawancara ini telah mengalami proses editing untuk kepentingan memperjelas penulisan

Baca Juga