Buku Karya Artawijaya: Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara

Dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia, keberadaan jaringan Freemason di negeri ini nyaris tak pernah mendapat pembahasan. Padahal, jaringan Freemason yang masuk bersamaan dengan misi penjajahan Belanda ke Nusantara, mempunyai pengaruh yang kuat dalam munculnya elit modern Indonesia.

Freemason atau Vrijmetselaarij dalam bahasa Belanda, meski sudah ratusan tahun mengakar dan beroperasi di Nusantara, namun keberadaannya nyaris tak pernah mendapat perhatian dalam penulisan sejarah di negeri ini. Padahal, literatur sejarah yang menunjukkan keberadaan jaringan tersebut dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh nasional masa lalu, cukup memadai untuk dijadikan rujukan otentik yang masih bisa dijumpai di rak-rak pustaka. Namun, dari sekian banyak buku sejarah nasional, tak ada satu pun yang membahas tentang jaringan Freemason dan pengaruhnya terhadap pergerakan nasional di tanah air.

Buku “Jaringan Yahudi Internasional di Indonesia” yang ditulis oleh Artawijaya ini berusaha menggali data dan memaparkannya sebagai sebuah fakta yang sulit dibantah. Buku yang pernah meraih Nominasi Terbaik Islamic Book Fair tahun 2011 untuk kategori non-fiksi dewasa ini berhasil menyuguhkan fakta sejarah dengan akurasi data yang diambil langsung dari sumber milik kelompok jaringan rahasia ini. Penulis berusaha membuat paparan sejarah yang detil  menjadi sebuah tulisan yang ringan dan mengalir.

Setidaknya, ada beberapa literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan untuk penulisan sejarah tentang keberadaan jaringan Freemason di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini sebagaimana ditulis dalam buku ini. Di antara buku-buku tersebut adalah, Vrijmetselaarij: Geschiedenis, Maatschapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymetselary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J. Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H. Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmetselaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917),  yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764-1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) ditulis oleh Dr. Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th. Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004, diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Buku-buku literatur yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an,  juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional. Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia.

Jika melihat kurun waktu tentang keberadaan jaringan Freemason seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 (150 tahun) atau sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961 (199 tahun), maka dalam rentang waktu ratusan tahun itu, sangat tidak mungkin jika Freemason tak memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Dan cukup mengherankan pula, jika banyak sejarawan yang menulis tentang sejarah nasional negeri ini, tak memasukkan pembahasan tentang keberadaan jaringan Freemason. Padahal, seperti ditulis dalam literatur sejarah di atas, tak sedikit dari elit-elit nasional di Indonesia pada masa lalu yang berhubungan dengan Freemason. Dan tak sedikit pula, jaringan Freemason memainkan peranannya dalam pergerakan nasional di negeri ini.

Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka, yang tak hanya beroperasi di Pulau Jawa, tapi di sebagian wilayah Sumatera seperti Aceh, Medan, dan Padang, serta Makassar di Sulawesi Selatan. Keberadaan mereka di wilayah-wilayah tersebut, mengikuti gerak kolonialisasi, karena banyak dari anggota Freemason ketika itu adalah pegawai kolonial.

Keterlibatan elit-elit pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elit keraton di Kadipaten Paku Alaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini. Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemason, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.

Radjiman adalah salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering.

Sementara elit di Kadipaten Paku Alaman, dari Paku Alam V sampai VII, yang fotonya terpampang dalam buku kenang-kenangan tersebut, adalah anggota Freemason yang cukup disegani di kalangan Mason Eropa karena pengaruh dan perannya sebagai elit kekuasaan dan anggota Freemason di Jawa. Hal ini bisa dilihat dalam tulisan memorial (Gedennkschrift) mengenang 25 tahun kekuasaan Paku Alam VII berikut ini:

”Sudah sejak tahun 1871 Sri Paku Alam V ditahbiskan sebagai seorang Vrijmetselaar, dan sejak itu, baik Sri Paku Alam VI, maupun Sri Paku Alam VII, atau pun banyak anggota dari keluarga Paku Alaman masuk ke dalam ”Orde der Vrijmetselaren”. Dengan demikian, maka dalam berbagai jabatan penting, mereka menyumbangkan tenaga dan pikirannya, tidak hanya pada ”Loge Mataram” pada khususnya, akan tetapi pada ”Orde der Vrijmetselaren pada umumnya. Tentang Sri Paku Alam VII dapat dinyatakan bahwa beliau dalam tingkah lakunya menunjukkan sebagai anggor ”Orde der Vrijmetselaren” yang terhormat.” (Soedarisman Poerwokoesomo, 1985:282-283).

Keterkaitan antara jaringan Freemason, Boedi Oetomo, dan elit keraton Paku Alaman juga diungkapkan sejarawan LIPI, Abdurrachman Soerjomihardjo, dalam kata pengantar buku Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Dalam pengantar tersebut dikatakan, ”Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason,” (Akira Nagazumi, 1989:xiii).

Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum  (openbare) di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul,”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason.

Baca Juga

Sejak awal, seperti ditulis dalam buku kenang-kenangan di atas, gerak nasionalisme, terutama dalam elit kekuasan di Jawa berusaha dipengaruhi oleh jaringan Freemason. Propaganda untuk memperkenalkan dan merekrut jaringan Freemason di kalangan pribumi disampaikan melalui tulisan-tulisan, baik dalam bahasa Belanda maupun bahasa Jawa. Pimpinan tertinggi Freemason Hindia Belanda pada 1914-1917, G. Andre de La Porte membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason) yang dimuat dalam buku kenang-kenangan tersebut.

Sedangkan Robert van Niels dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia menyatakan bahwa sejak 1870, pusat-pusat perkotaan di Jawa tak hanya menjadi pusat perdagangan orang Eropa, namun juga menjadi pusat penyebaran kebudayaan dan paham barat yang dibawa oleh kalangan berpendidikan dari bangsa Eropa, terutama Belanda.Van Niels mengistilahkan, orang-orang Eropa tersebut membawa suatu dunia barat di daerah perkotaan Jawa. Jika merujuk pada tulisan Van Niels yang menyatakan bahwa sejak 1870 orang-orang Eropa sudah memainkan peranannya bagi masyarakat Jawa, maka pada tahun yang sama berdiri Loge Mataram yang menjadi tempat perkumpulnya orang-orang terdidik Eropa, yang tergabung dalam Freemason. Di loge inilah, elit-elit Jawa dan kalangan intelektual Belanda dan Eropa lainnya bertemu dan menjalin hubungan.

Periode berikutnya adalah era 1900-an dimana jaringan Freemason yang ’memakai jubah’ Theosofi mulai mendirikan loge-loge dan menyebarkan gagasan-gagasanya. Van Niels menyebut, pada era itu setidaknya ada 70.000 orang Eropa di Jawa, sebagian besar wakil dari urusan keuangan, sebagian lagi pegawai sipil Eropa. Niels menegaskan, pada masa itu, organisasi seperti ”Masoos” dan ”Order of Eastern Star” (Orde Bintang Timur), yang tak lain bagian dari jaringan Freemason mulai membidik orang-orang pribumi. Dari sinilah, setidaknya elit modern Indonesia yang sudah terpengaruh dan berhubungan dengan para humanis Eropa  muncul menjadi tokoh-tokoh nasional di masa datang. (hal. 26-27).

Dalam bahasa Jawa, Freemason atau Vrijmetselarij pada masa lalu disebut dengan istilah ”Kemasonan”, yaitu sebuah aliran spiritual yang mempelajari tentang kebatinan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai ideologi pencerahan dan aliran pembebasan yang menerima sesama manusia dalam kedudukan dan kesempatan yang sama, tanpa membedakan bangsa, warna kulit, dan agama. Tujuannya adalah agar bisa ikut dalam perkembangan suatu bangsa secara serasi.

Kebanyakan dari para priayi Jawa yang bergabung dalam jaringan Freemason adalah mereka yang lekat dengan kebatinan, mistisisme, dan okultisme. Kesamaan dasar pandangan dan pemahaman inilah yang membuat jaringan Freemasonry dengan mudahnya menggurita di kalangan elit Jawa dan menjalar ke seluruh Nusantara yang menjadi wilayah kolonialisasi. Para elit Jawa yang tergabung dalam jaringan Freemason kebanyakan adalah mereka yang aktif dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo, Jong Java, dan organisasi kebangsaan berbasis kejawen lainnya. Namun sayang, buku-buku sejarah yang ada selama ini jarang sekali mengungkap keterlibatan Freemason dalam organisasi-organisasi tersebut, meskipun fakta-fakta dalam literatur sejarah yang otentik begitu terang benderang.

Bagi mereka yang minat dalam penelusuran sejarah, buku ini sangat sayang jika dilewatkan!

                                                                                                                                                               Abu Azzam

 

Judul Buku      : Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara

  Penulis           : Artawijaya

  Penerbit         : Pustaka Al-Kautsar Jakarta

  Jumlah hal    : xxvii + 296 hlm.

   Harga           : Rp  48.000           

Baca Juga