Heru Susetyo: “Muslim Rohingya Sudah Ada Sebelum Myanmar Ada”

Heru Susetyo

JAKARTA (salam-online.com): Tragedi Muslim Rohingya di Myanmar menyita perhatian dunia internasional belakangan ini. Penindasan yang dialami Muslim Rohingya membuka mata atas sejarah mereka sebagai etnis Myanmar yang tidak diakui.

Bahkan tidak itu saja, program pembersihan etnis ditengarai dilakukan pemerintah Myanmar (Burma) dengan berbagai modus yang kejam.

Lantas bagaimanakah sebenarnya sejarah umat Islam di Rohingya? Mengapa konflik di Arakan meluas menjadi konflik horizontal? Apakah kelompok Budha berada di belakang  tragedi ini? Lantas langkah apa yag tepat untuk menghentikan kekerasan di Arakan?

Dalam rangka lebih memahami akar sejarah Muslim Rohingya dan perkembangannya hingga saat ini, berikut kami coba segarkan pengetahuan dan pemahaman kita berkaitan dengan tema ini. Untuk itu, wawancara hidayatullah.com dengan Heru Susetyo, dari Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA), Rabu (25/7/2012) lalu kami share kembali ke hadapan pembaca.

Heru Susetyo adalah seorang praktisi hukum yang peduli atas kezaliman yang diderita umat maupun kelompok Islam di berbagai tempat. Sekretaris Program Pascasarjana Fakultas Hukum UI ini mendirikan PIARA. Kunjungannya ke Myanmar banyak menyadarkannya bahwa Myanmar sebenarnya adalah negara yang kaya. Inilah petikan wawancaranya:

Bagaimana Sejarah Awal Muslim Rohingya?

Sejarahnya panjang. Sebagai etnis, mereka sudah hidup di sana sejak abad 7 Masehi. Tapi sebagai Muslim dengan nama kerajaan Arakan, mereka sudah mulai ada sejak tahun 1430 sampai 1784 Masehi. Jadi sekitar 3,5 abad mereka dalam kekuasaan kerajaan Muslim hingga mereka diserang oleh Kerajaan Burma, dan dianeksasi oleh Inggris. Setelah itu mereka dibawa menjadi bagian dari British India yang bermarkas di india. Meski India saat itu juga belum merdeka.

Kemudian berjalan bertahun-tahun lamanya sampai tahun 1940-an. Ketika Burma merdeka tahun 1948, ada 137 etnis yang ada di Burma. Sejak itupun, Myanmar tidak mengakui keberadaan mereka sebagai etnis yang ada di tanah Burma. Padahal ketika merdeka, Burma memasukkan negara bagian Arakan sebagai bagian dari Burma, namun setelah itu orang Rohingya atau Muslim Arakan tidak diakui sebagai etnis yang eksis di sana. Jadi ini masalahnya, padahal mereka sudah ada sebelum Negara (Burma) ada. Mereka dinilai minoritas dari segi warna kulit dan bahasa serta dianggap lebih dekat kepada orang Bangladesh. Walaupun mereka bukan orang Bangladesh.

Mana Istilah yang tepat bagi mereka, Rohingya atau Arakan?

Arakan itu nama provinsi. Kalau dalam Bahasa Inggris disebut Rakhine atau Rakhain. Sedangkan Rohingya adalah istilah yang dikenakan oleh orang luar (peneliti asing) pada abad 18-19 M.  Mereka sendiri menyebut diri mereka sebagai orang Muslim yang tinggal di Provinsi Arakan (Muslim Arakan). Cuma belakangan dikenal sebagai orang Rohingya. Karena ternyata di Arakan terdapat Muslim yang bukan berasal dari Arakan saja, tapi juga ada Muslim dari Bangladesh, juga dari bagian lain di Burma.

Selain etnis Arakan, ada etnis Muslim lain di Myanmar?

Banyak. Saya pernah mengadakan kunjungan lapangan ke Burma tahun 2008-2009. Saya mengunjungi Burma tiga kali. Saya datang ke ketiga kota; Yangoon, Mandalay, dan Pyin Oo Lwin. Dan saya mengunjungi 8 masjid di tiga kota itu. Peninggalan berupa masjid di sana banyak. Dan Muslim tidak hanya berasal dari Arakan, ada Muslim Burma, Muslim China, ada juga Muslim imigran dari India dan Bangladesh. Dan jumlahnya cukup signifikan. Bahkan di kota Mandalay, kota terbesar kedua di Burma, saya hitung ada 8 masjid. Di Yangoon lebih banyak lagi. Secara garis besar, mereka hidup lebih baik dari Muslim Arakan. Hanya Muslim Arakan yang hidup tertindas, dipinggirkan, dan tidak pernah diakui oleh pemerintah.

Bagaimana awal konflik Muslim Arakan terjadi?

Sejak sebelum Burma merdeka, tahun 1942, sudah ada aksi kekerasan kepada orang Rohingya. Ribuan orang Rohingya dibunuh. Baik oleh negara maupun etnis mayoritas, karena mereka dianggap minoritas dan bukan bagian dari Burma. Kemudian berulang terus setelah Burma merdeka, ada operasi-operasi tentara yang sering kali dilakukan sejak tahun 1950-an.

Yang paling sadis adalah Na Sa Ka Operation, di antaranya dengan metode kekerasan, pengusiran, Burmanisasi, halangan untuk menikah, dan pemerkosaan. Jadi ini adalah state violence, dimana negara melakukan genosida, etnic cleansing (pembersihan etnis), tapi kemudian berkembang menjadi kejahatan sipil antar orang Rohingya dengan orang Arakan lainnya yang non-Muslim.

Tapi saya berpikir positif bahwa orang Arakan non-Muslim sebenarnya cukup peaceful (tenang). Orang Budha itu peaceful, mereka non violence. Cuma saya kira mereka terprovokasi oleh media, pemerintah, dan agitasi dari tokoh-tokoh yang tidak bertanggung jawab sehingga timbul kekerasan. Konflik atas dua etnis itu jarang terjadi. Yang terjadi biasanya adalah konflik negara dengan orang Rohingya. Tapi sekarang jadi konflik horizontal. Dan saya yakin ini ada kepentingan di balik kekeruhan itu.

Jadi sebelum ini warga Budha dan Muslim relatif tidak pernah terjadi benturan?

Sejauh data-data yang saya miliki, konfliknya selalu vertikal. Tapi menjadi horizontal karena ada-tokoh yang memprovokasi. Karena Budha selama ini sebagai agama cukup peaceful. Saya kenal banyak orang Budha Burma, tidak ada yang namanya sikap perlawanan yang keras.

Sebenarnya mengapa Muslim Rohingya Ditakuti? Bukankah mereka minoritas?

Di mana pun mayoritas ingin menghegemoni kepada etnis yang berbeda. Ada istilah Myanmar for Burmese, not for moslem (Myanmar hanya untuk Burma, bukan untuk Muslim). Saya kira itu kurang sehat. Karena sejatinya di Myanmar itu tidak hanya orang Burma, ada banyak etnis di situ. Sementara orang Rohingya ini agamanya sudah beda, dan etnis juga sudah jauh. Sebagai Muslim dia juga berbeda dengan agama lainnya di Myanmar. Orang Rohingya tidak makan babi, (tidak) minum minuman keras, (tidak) menyembah dewa-dewa, itu halangan dari segi kultural.

Baca Juga

Dari segi jumlah memang tidak menakutkan. Nah ini masalah jumlah juga tidak jelas.Sensus selama ini tidak mendapati angka yang sebenarnya. Ada yang 1 juta, ada yang 3.6 juta.

Jadi saya kira, pemerintah Myanmar tidak takut dengan jumlah tapi bahwasanya dari awal orang Rohingya dianggap stateless (tidak punya kewarganegaraan). Alasannya memang tidak jelas. Cuma karena mereka berbeda saja. Mungkin mereka tidak nyaman, dan secara sejarah mereka dinilai orang Benghali, bukan Burma.

Maka pernyataan terakhir dari Presiden Myanmar itu menyakitkan. Bahwa supaya orang Rohingya dipindahkan ke negara lain. Ini pernyataan kurang ajar. Padahal mereka sudah tinggal di situ sejak berabad-abad lamanya.

Ada yang mengatakan jika dibiarkan Muslim Arakan akan kembali membuat Kesultanan Islam?

Saya kira itu kecil kemungkinan. Arakan tidak hanya ada Muslim. Arakan Selatan itu kebanyakan non Muslim. Untuk membuat negara jauh panggang daripada api. Itu juga bukan target dari mereka. Mereka hanya ingin diakui seperti warga Myanmar lainnya. Beda dengan Muslim di Selatan Thailand atau di Moro, Filipina, mereka mungkin punya target ke arah sana, tapi beda dengan orang Rohingya. Mereka tidak punya sumber daya, karena jumlahnya sedikit, sekolah juga tidak. Akses ke ekonomi politik juga tidak tersedia. Karena Burma juga negara miskin, tetangga mereka Bangladesh juga miskin. Jadi jika mereka ingin membuat negara sendiri juga tidak menyelesaikan masalah, tapi minimal mereka ingin ada pengakuan.

Bisa dijelaskan pengalaman Anda mengunjungi Myanmar?

Aung San Suu Kyi, tak bunyi

Dari segi alamnya indah dan luasnya terbesar kedua setelah indonesia di Asia Tenggara. Tapi mungkin seperti mutiara terpendam karena tidak dipoles dengan bagus. Orang pun tidak tahu banyak tentang Myanmar karena media dan internet pun disensor. Televisi juga jarang.

Ketika saya ke sana, negara tersebut penuh dengan tentara yang membuat kita tidak leluasa. Saya punya teman orang Burma, ketika saya ke sana, mereka mengatakan, ‘Jangan bicara politik di sini, kamu akan membahayakan kami.’ Jadi ada pembatasan yang membuat tidak nyaman. Jangankan bagi orang asing, orang sana pun merasa tidak nyaman.

Kalau secara fisik, saya melihat seperti Indonesia tahun 1980-an. Saya tidak melihat ada gedung bertingkat seperti di Sudirman-Thamrin. ATM tidak ada, money changer jarang sekali, telepon seluler juga sangat mahal, dan listrik pun byar pet, suka mati. Jadi ini konyol, penduduknya nyaris 90 juta, tapi tidak banyak orang mengetahui tentang Burma.

Ada Transisi Demokrasi di Myanmar Sekarang, Apakah Ini Akan Berdampak bagi Muslim di Arakan?

Masalahnya Aung San Suu Kyi sendiri diam. Karena mungkin dia punya kepentingan lain yang lebih besar untuk mendemokratiskan Burma, jadi seperttinya dia tidak mau mengambil risiko. Lebih baik dia tidak mengambil masalah dengan membicarakan Rohingya, daripada agenda besar dia tidak bisa dijalankan. Dan iklim demokratisasi itu tidak bisa langsung mengubah semuanya. Bagaimanapun Junta militer masih berkuasa. Meski dia (Su Kyi) punya kursi di parlemen, itu tidak langsung membuatnya berkuasa. Dan apakah berdampak bagi Rohingya, ini masih perlu dibuktikan. Kita juga menunggu peran aktif dari Suu Kyi, beranikah dia bicara tentang Rohingya.

Apa yang bisa kita bantu untuk Muslim Rohingya?

Bantuan bisa bermacam ragam , yang jelas yang mereka butuhkan sekarang adalah status sipil sebagai warga Negara dan bahwasanya mereka punya kebebasan seperti warga Negara yang lain. Bebas untuk menikah, bebas untuk punya anak, bebas dari perbudakan, bebas sekolah, bebas mendapatkan akses kesehatan. Jadi itu yang mereka minta, kebebasan, keadilan, dan akses yang sama. Hentikan pemerkosaan, pembunuhan, kesewenang-wenangan, jangan ada Burmaisasi terhadap orang Rohingya.

Untuk Negara-negara penerima pengungsi, agar tidak mengusir mereka. Perlakukan mereka dengan baik. Dan jangan ikuti saran Presiden Thein Sein untuk memindahkan mereka ke negara ketiga. Pertanyaannya, negara mana yang mau menerima mereka? Karena Negara-negara sekarang juga punya masalah dengan penduduknya.

Mereka juga butuh bantuan lainnya seperti sandang, pangan, papan, tapi masalahnya bantuan juga sulit bisa masuk. Karena akses ke sana dibatasi oleh pemerintah Myanmar.

Uang juga sukar, karena Bank di Myanmar seperti bank zaman dulu, bagaimana mau ambil uang jika ATM tidak ada? Untuk buka account, itu juga bukan masalah sederhana karena mereka tidak punya ID Card (KTP). Yang bisa kami lakukan sekarang adalah melakukan advokasi dengan sesama Muslim Myanmar yang tinggal dalam pelarian di Jepang, Malaysia, Thailand, dan London. Mereka lebih vokal, karena lebih aman.

Pulau di Indonesia banyak, apakah mungkin memindahkan mereka ke Indonesia?

Itu mudah saja kalau ada kemauan politik seperti  kasus pengungsi Vietnam yang ditempatkan di Pulau Galang dan Rempang tahun 1970-an. Atas nama kemanusiaan memang tidak masalah.

Namun masalahnya itu menyenangkan pemerintah Mnyamar. Ini tanggung jawab mereka kok malah menimpakan kepada negara lain. Karena Myanmar sendiri masih besar negaranya, cuma mereka dibatasi saja aksesnya. (hidayatullah.com)

Baca Juga