Snouck Hurgronje, Seorang Munafik Tulen (bag 2)

Snouck Hurgronje-8-jpeg.imageSALAM-ONLINE: Dari sini snouck semakin mendalami ajaran Islam dan mahir dalam ilmu fiqih. Bahkan sahabatnya, yaitu teolog Theodore Noldeke di Strassbourg Jerman, yang sedang terbaring di rumah sakit sempat mengetes ilmu fiqih Snouck dengan bertanya tentang hukum berdoa dan mengucapkan nama Allah.

Maka Snouck pun menuliskan fatwa fiqihnya sepanjang dua halaman dalam  bahasa Arab. (Teks fatwa ini masih disimpan di Perpustakaan Universitas Tübingen Jerman). Dalam teks fatwa tersebut Snouck secara fasih mengawali dengan hamdalah dan shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Bahkan konon Snouck pun berhasil membuat takjub para ulama dalam sebuah diskusi. Ia mendapat gelar Al-Syaikh Al-Allama Maulana Abdoel Ghaffar Moefti Adh-Dhiyar Al-Djawiya.

Setelah merasa cukup mempelajari Islam selama 1 tahun di Jazirah Arab, Snouck kembali ke Belanda. Kepada Ignaz Goldziher ia menulit surat:

Dengan mengamati itu saya mulai mencintai beberapa segi dari Islam sebagaimana belum pernah saya rasakan keberatan yang berarti pada bagian agama yang sesungguhnya dari tatanan yang meliputi segalanya itu (diin). Menurut saya, hanya pengaruh politik Islam sajalah yang dapat membawa akibat buruk. Sebagai orang Belanda saya merasa wajib untuk senantiasa mengingatkan terlebih dahulu dengan tegas.” (Surat Snouck kepada Goldziher 11 Juni 1886).

Pada tahun 1887 Snouck mengusulkan pada pemerintah Belanda untuk membiayai studinya lebih lanjut mengenai Islam di daerah jajahan Hindia Belanda. Usul ini didukung oleh Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen (lembaga Batavia untuk Seni dan Ilmu Pengetahuan).

Karena tidak mendapat tanggapan, kembali pada 9 Februari 1888, Snouck menulis surat kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 2 Juli 1988 Snouck juga menulis surat kepada Menteri Urusan Jajahan mengenai pentinganya studi ini.

Akhirnya baru pada 1 April 1889 Snouck berlayar dari Brindisi menuju Penang Malaysia. Kepada Jenderal Van der Maaten, Snouck menulis surat:

Karena pemerintah berminat pada politik Islam, maka Aceh merupakan tempat utama yang menjadi sasaran penelitian saya. Akan saya tunjukkan bahwa saya di Makkah telah belajar mengenal orang Aceh dari dekat, sementara tidak ada satu orang Eropa pun yang bisa melakukan hal itu. Saya bermaksud dengan cara saya sendiri menyamar pergi ke Penang untuk berjumpa dengan para pelarian Aceh di sana. Barang kali dari situ saya dapat menyusup ke istana Sultan Aceh di Keumala. Saya yakin dengan cara ini saya akan dapat berbuat banyak untuk menjernihkan keadaan.” (Snouck Hurgronje en de Atjeh Oorlog Jilid 2 hal 100).

Namun karena Malaysia di bawah jajahan Inggris, maka Jenderal Van Tijn khawatir terjadi insiden dengan Inggris dan menulis keberatan kepada Gubernur Hindia Belanda di Batavia. Maka, ketika Snouck tiba di Penang ia dijemput Konsul Belanda di Penang dan diperintahkan segera melanjutkan ke Batavia. Pada 11 Mei 1889 Snouck naik kapal uap Japara dari Singapura menuju Batavia.

Setelah mendarat di Batavia, Gubernur Hindia Belanda saat itu yaitu Jenderal C. Pijnacker Hordijk menunjuk beberapa orang untuk menjadi asisten Snouck. Salah satunya adalah Habib Othman bin Jahja bin Aqil Al Alawi Al-Hadrami. Dia adalah ulama asal Hadramaut Yaman, yang tinggal di Batavia dan menjadi penasihat pemerintah Hindia Belanda dalam masalah ke-Islam-an  dengan gaji 100 gulden per bulan.

Tugas penting Snouck adalah mencari cara penyelesaian perang Aceh yang telah berlarut larut. Perlu diketahui, Belanda telah berusaha menaklukkan aceh sejak 1873 dan sampai tahun 1889 saat Snouck dikirim ke Batavia, Belanda belum berhasil menaklukkan Aceh.

Snouck menduduki jabatan resmi sebagai Officieel Adviseur voor Oostersche Talen en Mohammedaans Rechts (Penasihat resmi bidang bahasa timur dan hukum Islam). Segera saja pada 20 Juni 1889 Snouck menulis nasihat berjudul “Bedevaart en Pelgrims” yang mengusulkan pada konsul Belanda di Jeddah agar membatasi dan jangan mempermudah kepergian penduduk Hindia Belanda ke Makkah.

Berada di Batavia, Snouck segera mengontak Haji Hasan Moestapha (ulama Garut yang dikenalnya di Jeddah).  Didampingi Hasan Moestapha, ia berkeliling ke pesantren- pesantren di Jawa Barat dan Jawa Tengah.

Pada 16 Juli 1889 ia ke Sukabumi, lalu ke Cilincing. Pada 8 Agustus berada di Cirebon dan 10 Agustus di Mangunreja, 15 Agustus ia mengunjungi Ciamis. Di situ ia mencatat upacara perkawinan adat Sunda di luar masjid Ciamis.

Pada 23 Agustus 1889 ia kembali ke Cirebon dan tinggal sampai 30 Agustus. Dari 6 September s/d 17 Oktober 1889 ia berkeliling dari Tegal, Pekalongan, Wiradesa, Purbalingga, Kebumen, Wonosobo dan Purworejo. Pada bulan Desember Snouck dilaporkan berada di Cianjur namun catatannya terputus.

Tiba-tiba harian Soerabaja Courant menulis pada 2 Januari 1890 bahwa Snouck menikahi anak penghulu besar Ciamis secara Islam. Berita ini menjadi heboh karena pada masa itu hukum yang berlaku bagi Boemi Putra berbeda dengan hukum bagi orang Eropa.

Jika seseorang laki-laki Eropa menikahi wanita Boemi Putra maka baginya akan berlaku hukum Boemi Putra. Maka 10 Februari 1890 Kementerian Urusan Jajahan di Belanda mengirim telegram menanyakan kepastian berita ini kepada Gubernur Hindia Belanda. Pada 12 Februari 1890, Gubernur Hindia Belanda membantah berita ini dan menyatakan sebagai gosip wartawan saja.

Baca Juga

Padahal kejadian sebenarnya adalah memang Snouck menikah dengan “Sangkana”, anak perempuan satu-satunya dari Raden Haji Muhammad Ta’ib penghulu besar Ciamis dari istrinya Nata Rasmi.

H. Muh Ta’ib ini kerabat Lasmitakusuma, istri Bupati Ciamis saat itu bernama Kusuma Subrata. Ketika itu, karena Lasmitakusuma hidup kaya raya sebagai istri Bupati Ciamis, ia memelihara keponakan-keponakan wanita di rumah Bupati Ciamis, di antaranya adalah “Sangkana”.

Ketika Snouck menginap di rumah Bupati Ciamis inilah, Lasmitakusuma menawarkan pada Snouck untuk memilih salah satu dari gadis-gadis yang dibesarkan oleh dirinya itu agar menjadi istrinya. Dan Snouck memilih Sangkana.

Sebenarnya Raden Haji Muhammad Ta’ib kurang setuju Sangkana diinikahkan dengan Snouck, karena ia adalah anak satu-satunya sehingga pernikahannya sangat berarti. Ia tidak mau Sangkana dijadikan sebagai “Nyai” Belanda.

Sebagaimana diketahui pada masa itu lelaki Eropa dilarang menjadikan istri resmi wanita Boemi Putra, namun dibolehkan menjadikan mereka sebagai selir atau gundik.

Namun atas tekanan dari Haji Hasan Moestapha yang bersaksi bahwa Snouck seorang Muslim ketka dikenalnya di Arab, juga desakan dari Lasmitakusuma istri Bupati Ciamis, mengingat kedudukannya sebagai penghulu besar Ciamis juga bergantung pada keputusan Bupati, maka Raden Haji Muhammad Ta’ib pun menyetuji pernikahan ini. Dari pernikahan ini lahirlah 4 anak bernama Salmah Emah, Aminah, Umar dan Ibrahim.

Ketika berkunjung ke Bandung, Snouck menikah lagi dengan Siti Sajidah anak perempuan Raden Kalipah Apo, ulama terkemuka di Bandung. Namun ketika berita ini dimuat di koran, dan ditanya oleh seorang teolog Protestan di Leiden, ia tidak mengakui perkawinan ini dan berkilah bahwa itu hanya ulah wartawan saja yang mengawinkan dirinya dengan putri seorang ulama.

Padahal dari hasil perkawinan itu lahirlah seorang putra bernama Raden Yoesoef, yang menceritakan bahwa Raden Kalipah Apo (mertua Snouck meninggal 1922) dan Siti Sajidah (mininggal 1974) sangat yakin hingga akhir hayatnya bahwa Abdoel Ghaffar Snouck ini seorang Muslim, karena selalu rajin shalat, berpuasa dan juga disunat.

Pada 1891 s/d 1892 dan 1893 s/d 1903 Snouck telah 7 kali mengunjungi Aceh. Dan total ia tinggal di sana selama 40 bulan (ada yang mengatakan 33 bulan). Pada 1893 Snouck kembali ditugaskan ke Aceh guna menyusun saran penyelesaian perang Aceh.

Menurut Prof Hasjmy ketika Snouck tiba di Aceh pada 1893 ia disambut sebagai seorang ulama karena menguasai bahasa Arab dan ilmu fiqih. Dari penduduk Oleueh-leueh (baca: Oléh-leu) Snouck dibimbing belajar bahasa Aceh. Kemudian ia juga dibantu oleh Teuku Nurdin yang juga abang dari penghulu besar Oleueh-leueh bernama Akoeb. Snouck berhasil menyusun laporan mengenai kondisi politik dan keagamaan masyarakat Aceh berjudul Atjeh Verslag.

Pada 1898 Snouck dibantu oleh Djambek atau Nyak Puteh dari Gayo, membuat peta pegunungan Aceh Gayo. Berdasarkan peta ini, Snouck mendampingi Jenderal Van Heutz mengejar pejuang Aceh hingga berhasil menangkap 100 orang di Beuronoen Pantai Aceh Utara pada 5 September 1898.

Mengenai peranannya ini Snouck menulis surat lagi pada Ignaz Goldziher tanggal 15 Juli 1898. Ia mengatakan: “Apa yang pertama-tama menjadi soal adalah memberikan bantuan pada penaklukan melalui sarana pengumpulan keterangan dan bertindak sebagai penghubung antara pimpinan tentara dengan penduduk.”

Dalam catatan masyarakat Gayo, Snouck dikenal dengan julukan “habib kulit putih” mengimami orang shalat di masjid serta melakukan khutbah Jum’at. Ia sering mengenakan pakaian Arab dan serban berwarna hijau.

Namun sedikit demi sedikit fatwa-fatwa Snouck merusak Umat Islam dari dalam. Snouck selalu menulis usulan rahasia kepada Gubernur Hindia Belanda agar membuat kebijakan yang merugikan Islam.

Snouck Hurgronje-7-jpeg.imageSebagai contoh, Snouck menyadari bahwa imigran Arab dari Hadramaut (Yaman) merupakan tokoh yang berperan dalam kebangkitan perlawanan bangsa Indonesia. Maka pada 22 Desember 1902 Snouck menentang kebijakan “eijken en passentelsel” yang melonggarkan masuknya imigran Arab dan mencabut pemisahan pemukiman orang Arab di Indonesia. Snouck mengatakan:

Adanya orang Hadramaut di negeri ini dipandang dari sudut politik selalu merugikan dan menjadi suatu bahaya. Jika batas yang sekarang berlaku bagi mereka mengenai tempat tinggal dan kebebasan bepergian dicabut, dan pulau Jawa terbuka bagi mereka, maka jumlah mereka akan menjadi puluhan ribu dan tidak mungkin lagi mengawasi mereka.” (bersambung)–abu akmal mubarok/salam-online

Baca Juga