Hukum Islam Adalah The Living Law, Ini Pandangan Prof Yusril Terkait Fatwa MUI Soal Atribut Natal

SALAM-ONLINE: Hukum Islam adalah the living law atau hukum yang hidup dalam masyarakat, bukan ius constitutum dan bukan pula ius constituendum. Hukum positif adalah hukum yang diformulasikan oleh institusi negara dan tegas kapan dinyatakan berlaku dan kapan tidak berlaku lagi.

The living law tidak diformulasikan oleh negara, tetapi hukum itu hidup dalam alam pikiran dan kesadaran hukum masyarakat. Ia berpengaruh dalam kehidupan masyarakat dan kadang-kadang daya pengaruhnya bahkan mengalahkan hukum positif yang diformulasikan oleh negara.

Hukum yang hidup itu bersifat dinamis sejalan dengan perkembangan masyarakat. Salah satu instrumen yang membuatnya tetap dinamis adalah antara lain melalui fatwa yang dikeluarkan oleh mufti atau institusi lain yang dianggap mempunyai otoritas dalam masyarakat. Fatwa umumnya dikeluarkan untuk menjawab kebutuhan hukum masyarakat yang merasa ada ketidakjelasan terhadap sesuatu yang ada dan berkembang dalam dan dilihat dari sudut hukum Islam, supaya ada kepastian hukum.

Lalu, apakah dan bagaimanakah sebaiknya negara bersikap terhadap hukum yang hidup itu? Jika negara itu bersifat demokratis, maka akan memformulasikan hukum dengan mengangkat kesadaran hukum masyarakat menjadi hukum positif sesuai kebutuhan hukum masyarakat. Namun seandainya itu tidak atau belum dilakukan, maka negara harus menghormati hukum yang hidup yang antara lain tercermin dalam fatwa-fatwa yang otoritatif tersebut dan memfasilitasinya agar hukum yang hidup itu dapat terlaksana dengan baik dalam kehidupan masyarakat.

Saya berpendapat inilah yang harusnya menjadi sikap negara di negara kita yang berdasarkan Pancasila ini. Negara tidak bersifat sekular dan indeferent terhadap hukum agama, melainkan menghormati dan memberikan tempat yang selayaknya dalam kehidupan masyarakat.

Jika hukum yang hidup itu berkaitan langsung dengan tata peribadatan (khassah) maka negara tidak dapat mengintervensinya, melainkan menghormati dan memfasilitasi pelaksanaannya dengan memperhatikan kemajemukan masyarakat.

Terhadap fatwa melarang orang Islam untuk menggunakan atribut yang dianggap sebagai “atribut natal” dan menghimbau kepada pengusaha non-Muslim agar tidak memaksakan mengenakan atribut natal tersebut, saya menganggap hal itu adalah wajar dan sesuai dengan fungsi Majelis Ulama yang antara lain berkewajiban untuk mengeluarkan fatwa terhadap sesuatu yang meragukan dan diperlukan adanya kepastian hukum dilihat dari sudut hukum Islam sebagai the living law.

Baca Juga

Menyikapi fatwa yang demikian itu, adalah bijak jika negara yang berdasarkan Pancasila ini menghimbau agar setiap orang menghormati fatwa tersebut dan mengajak pengusaha non-Muslim secara persuasif agar menghormati fatwa Majelis Ulama itu demi menghargai keyakinan keagamaan orang yang memeluk Islam.

Bahwa menjelang Hari Natal tiap toko, supermarket dan shopping mall telah cukup banyak memasang ornamen Natal, termasuk memutar kaset lagu-lagu natal, menurut hemat saya, hal itu sudah lebih dari cukup untuk menyemarakkan Natal bagi umat Kristen. Umat Islam tidak pernah mempersoalkan hal itu.

Jadi kalau mewajibkan pekerja toko menggunakan atribut Natal, padahal mereka bukan beragama Kristen, saya menganggap hal itu sebagai sesuatu yang berlebihan. Kita harus menghormati keyakinan agama masing-masing dan tidak perlu membuat hal-hal yang dapat berakibat kurang enak di hati penganut agama yang lain.

Karena itu, saya berpendapat bahwa Fatwa MUI itu adalah sewajarnya, patut dihormati oleh semua pihak dan tidak perlu pula ditafsirkan secara berlebihan sehingga menimbulkan ketidakenakan pula bagi pihak-pihak di luar umat Islam.

Demikian pandangan saya.

Prof Dr Yusril Ihza Mahendra, SH, M.Sc

Baca Juga