Setelah 19 April 2017

–CATATAN BEGGY RIZKIYANSYAH–

“Memilih berdasarkan keyakinan? Apakah itu mencemaskan?”

“Memilih berdasarkan keyakinan? Apakah itu mencemaskan?”

“Memilih berdasarkan keyakinan? Apakah itu mencemaskan?”

SALAM-ONLINE: Tanggal 19 April 2017 mungkin akan menjadi salah satu momen politik pemilihan gubernur yang akan selalu terekam dan terkenang dalam ingatan publik Indonesia. Tonggak kekuasaan itu akhirnya bergeser hingga kemungkinan besar—berdasarkan berbagai hasil hitungan cepat—Jakarta akan memiliki gubernur dan wakil gubernur baru, yaitu Anies R Baswedan dan Sandiaga Uno.

Pertanyaan mengemuka; kemudian apa setelah 19 April ini? 19 April menjadi momentum salah satu pembuktian bahwa agama dan politik tidak bisa dipisahkan di Indonesia. Agama tetap menjadi landasan dan pemandu khususnya bagi umat Islam di Indonesia. Rosiana Silalahi, pembawa Acara ‘Rosi’ di Kompas TV pada 19 April 2017, menanyakan sampai tiga kali: “Memilih berdasarkan keyakinan? Apakah itu mencemaskan?”

Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 ini membuktikan bahwa agama adalah faktor penting yang tak bisa ditinggalkan dalam politik. Bahkan beberapa lembaga survei menunjukkan bahwa pemilih non-Muslim lebih dari 90% mendukung Ahok.

Bagi umat Islam, memilih berdasarkan keyakinan bukanlah mencemaskan, melainkan melegakan. Islam memiliki panduan tersendiri dan termasuk di dalamnya soal politik. Banyak pihak masih belum bisa bersikap toleran dengan menolak prinsip Islam yang tidak memisahkan agama dengan politik. Hal ini pula yang ditolak dan dilanggar oleh Ahok ketika ia menistakan agama (Islam).

Persoalan umat Islam dengan Ahok bukanlah soal elektoral belaka, tetapi yang utama mengawal kasus penistaan agama oleh Ahok hingga tuntas. Hingga ia mendapatkan hukuman atas perbuatan yang dilakukannya.

Umat Islam adalah umat yang toleran dan dewasa. Penuntasan kasus penistaan agama oleh Ahok adalah pelajaran penting agar tidak ada lagi perbuatan-perbuatan intoleran seperti menistakan agama orang lain.

Memojok-mojokkan umat Islam karena berpolitik menurut panduan agamanya adalah sikap intoleran dan kekanak-kanakan, tak bisa menerima perbedaan dan memaksakan pemahamannya sendiri. Sedangkan umat Islam adalah umat yang dewasa. Meski agamanya dinistakan dan hatinya terluka, namun umat tetap bersikap dewasa dengan melakukan tuntutan atas penyelesaian kasus hukum tersebut lewat aksi massa yang super damai seperti 411, 212 dan lainnya.

Umat Islam menghukum Ahok dengan menolak dirinya menjadi gubernur lewat pilgub 19 April kemarin. Agar Ahok tidak lagi menjadi penguasa arogan dengan menginjak-injak kemuliaan Al-Qur’an demi sebongkah kekuasaan. Agar tak ada lagi, penguasa yang merasa bisa menginjak-injak agama dan tetap berkuasa. Tapi sekali lagi, persoalan umat Islam dengan Ahok bukanlah elektoral belaka, namun agar ia diganjar hukuman atas perbuatan penistaannya.

Baca Juga

Umat Islam harus melalui jalan terjal untuk sekadar menuntut seorang penista agama diadili.  Masih teringat dalam ingatan kita aksi 4 November dan 2 Desember 2016 yang dihadang oleh isu-isu menyesatkan yang menakut-nakuti masyarakat dan menghembuskan isu makar. Masih lekat dalam ingatan kita segenap media massa arus utama, pemerintah dan aparaturnya yang condong pada penista agama. Masih terluka hati kita ketika ulama dan tokoh umat direndahkan dan dikriminalisasi. Masih belum kembali kawan-kawan seperjuangan kita yang direnggut kebebasannya dan masih berada di balik terali besi.

Pembungkaman suara umat lewat pemasungan media-media Islam yang sewenang-wenang. Namun Allah membuka pintu-pintu langit dan mengijabah doa 7 juta umat Islam di aksi super damai 212. Doa-doa di bawah rintik hujan di Istiqlal. Doa-doa orang yang dizalimi oleh Ahok yang sewenang-wenang menghancurkan rumah-rumah mereka, kampung-kampung mereka. Menista mereka dengan sebutan ‘manja,’ ‘illegal’ dan lainnya. Menghamburi mereka dengan amarah dan arogansi serta kata-kata kasarnya.

Jakarta insya Allah akan terbebas dari segala tindak-tanduk Ahok sebagai penguasa Jakarta. Namun politik umat Islam bukanlah politik elektoral seperti orang yang sedang berlibur. Yang hanya sibuk saat pemilihan umum belaka dan kemudian kembali sibuk dengan urusan masing-masing. Politik umat Islam adalah politik yang menerapkan dan menegakkan perintah, hukum dan nilai-nilai agama. Politik umat Islam adalah politik yang menolak ketimpangan. Menjaga Jakarta dari proyek mercusuar kesenjangan seperti Reklamasi Jakarta.

Politik Umat Islam adalah seperti yang dituturkan Buya Hamka ketika menjelaskan Surat Al-Ma’un, “Masih dipandang mendusta akan agama, orang yang agamanya itu untuk kepentingan dirinya sendiri, padahal korban-korban masyarakat tak diperhatikannya. Walaupun dia sembahyang tunggak-tunggik, walaupun keningnya sampai hitam karena sujud, masih masuk neraka dia, sebab amalnya itu hanya karena ambil muka, karena ria, dan dalam jiwanya tidak ada perasaan tolong-menolong, tidak ada solidaritas!”

Politik umat Islam harus melampaui persoalan elektoral belaka. Agar umat Islam tidak menjadi anak tangga bagi sekelompok elite yang haus menggapai kekuasaan. Agar ulama tak sekadar karpet merah bagi ambisi-ambisi sekelompok elite yang melata menuju kekuasaan. Elite yang membajak suara dan jerih payah umat.

Sebaliknya, suara ulama-lah yang harus didengar oleh para politisi dan penguasa ketika ia hendak memimpin umat. Islam-lah yang harus dijadikan pondasi ketika para politisi dan penguasa hendak membersamai umat. Kesadaran inilah yang harus dipahami pula ketika kita berbicara pasca 19 April 2017. Mengawasi janji-janji yang telah terucap oleh pemegang amanah baru Jakarta.

Momentum 19 April bukanlah momentum untuk jumawa. Tetapi momentum untuk bercermin, bahwa sekularisme adalah persoalan yang membelit umat. Ahok hanyalah sebuah gejala dari penyakit ganas sekularisme. Tak akan ‘ada’ sosok Ahok jika tidak ada Muslim yang mendukungnya. Masih besarnya jumlah Muslim yang mendukung Ahok adalah pertanda bahwa masih banyak umat yang terjerembab dalam sekularisme, yang menceraikan agama dengan politik.

Paska 19 April adalah kesempatan untuk merajut kembali silaturahim yang telah terkoyak, mendekatkan kembali yang telah jauh, menolong saudaranya yang tersasar ke dalam ruang fatamorgana sekularisme. Umat Islam adalah umat yang sanggup hidup dalam masyarakat yang beragam, yang plural, namun bukan dengan mantra sekularisme dan pluralisme agama. Melainkan dibimbing oleh perintah-Nya.

Tanggal 19 April adalah momentum persatuan umat. Dimulai dari aksi 212, persatuan umat yang dahulu tampak fana kini mulai kelihatan sekilas di depan mata. Jika dahulu umat disekat-sekat oleh pagar bernama kelompok, organisasi dan perkara khilafiyah, kini mulai tampak persatuan. Persatuan yang seharusnya diikat oleh kesatuan akidah dan cita, bukan common enemy belaka.

Setelah 19 April, mari kita sudahi euforia ini dan memulai pertarungan yang sebenarnya.

 -Penulis adalah Pegiat Jejak Islam untuk Bangsa

Baca Juga