Membaca Hoaksnya Alan Sokal dan Ratna Sarumpaet

-CATATAN M NIZAR MALISY-

SALAM-ONLINE: Publik baru saja dihebohkan dengan pemberitaan mengenai Ratna Sarumpaet, seorang aktivis yang dikenal gencar mengkritik pemerintah dan berada di pihak oposisi, yakni kelompok politik Prabowo Subianto.

Ratna yang akhirnya dicopot dari anggota tim pemenangan Prabowo-Sandi sebelum mengundurkan diri, baru saja menghebohkan sebuah cerita tentang dirinya. Foto lebam di sekitar wajahnya yang tersebar di media sosial, diakuinya akibat sebuah penganiayaan yang dilakukan orang tidak dikenal saat dia berada di Bandung. Lini massa pun heboh dibuatnya.

Namun, satu hal yang perlu dicatat, Ratna tak pernah mengungkapkan kisah (buatan) penganiayaan itu di media massa. Kisah mengenai penganiayaan Ratna malah justru disebarkan oleh para politisi, khususnya yang berada di kubu Prabowo. Hal itu terjadi karena memang Ratna bercerita kepada para tokoh politik oposisi itu mengenai “kisah penganiayaan”nya tersebut.

Setelah semuanya masif tersebar, barulah Ratna muncul dengan sebuah klarifikasi bahwa semuanya adalah dusta belaka. Ratna mengaku bahwa cerita bohongnya tersebut awalnya hanya untuk anak-anaknya saja, bukan untuk konsumsi orang-orang luar.

Lalu, apakah semuanya ini bisa dikatakan sebagai hoaks? Hoaks sendiri menurut Menurut Lynda Walsh dalam bukunya Sins Against Science, adalah istilah yang diserap ke dalam Bahasa Inggris (hoax) sejak era industri. Mengutip Oxford English Dictionary, Lynda menyebutkan istilah ini diperkirakan muncul pada 1808.

Namun, Lynda menjelaskan, kata tersebut dapat ditelusuri kembali muncul sekitar dua ratus tahun sebelumnya. Hal itu merujuk kepada kata hocus pocus, yakni prasa yang sering digunakan pesulap serupa dengan “sim salabim”.

Sementara Curtis Daniel MacDougall dalam buku klasiknya berjudul Hoaxes, mendefinisikan hoaks sebagai sebuah kebohongan yang sengaja dibuat untuk dianggap sebagai sebuah kebenaran. Namun menurut Jan Harold Brunvand dalam bukunya Encyclopedia of Urban Legend, sebuah kebohongan yang dibuat sebagai sebuah lelucon, dongeng, rumors dan film tidak bisa disejajarkan dengan hoaks lantaran ada perbedaan dari segi keyakinan.

Hoaks, menurut Harold, adalah benar-benar diyakini secara sadar dan dapat dibuktikan sebagai kebohongan yang kemudian diklaim sebagai kebenaran. Sementara sebuah lelucon, dongeng dan sejenisnya, sedari awal memang sudah diyakini sebagai sebuah fiksi dan buatan.

Hoaks, masih menurut Harold, cenderung menunjukkan “fabrikasi yang relatif kompleks dan berskala besar”. Hoaks, kata Harold, juga termasuk penipuan yang melampaui sekadar main-main dan “menyebabkan kerugian materi atau membahayakan korban”.

Alexander Boese dalam “Museum of Hoaxes” mencatat hoaks yang pertama kali dipublikasikan adalah almanak palsu. Almanak palsu dibuat oleh Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift, seorang satiris Irlandia, pada 1709. Saat itu, Swift meramalkan kematian astrolog, pembuat almanak sesungguhnya, John Patridge.

Agar dianggap meyakinkan, Swift bahkan membuat obituari palsu tentang Patridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Swift mengarang informasi tersebut untuk mempermalukan Patridge di mata publik. Akhirnya, Patridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun pasca hoaks yang dibuat Swift beredar.

Hoaks juga tidak bisa dimasukkan ke dalam kategori Misinformasi (Misinformation). Namun secara garis besar hoaks dapat dikategorikan ke dalam Disfinformasi (Disinformation) yang cukup parah.

Misinformasi adalah informasi palsu atau salah yang disebar secara sengaja atau tidak disengaja (tanpa sadar bahwa hal itu tidak benar). Sementara disinformasi adalah penyampaian informasi yang salah (dengan sengaja) untuk membingungkan orang lain.

Baca Juga

Merujuk kepada kasus Ratna, andai dia berbohong kepada keluarganya saja, tidak sampai ke publik, hal itu tentu belum bisa diklasifikasikan sebagai hoaks. Karena, sebagaimana kriteria di atas, kebohongan Ratna hanya sebatas penipuan biasa atau disinformasi.

Namun parahnya, Ratna melibatkan status politik dirinya dan para politisi kubu oposisi (Prabowo) yang kemudian menimbulkan reaksi publik. Maka dengan demikian, apa yang dilakukan oleh Ratna pantas disebut hoaks.

Ratna bukan Satu-satunya

Apa yang dilakukan oleh Ratna, sebenarnya bukanlah hal yang baru. Sebagai manusia Indonesia yang sudah terbiasa dibohongi bahkan oleh pemimpinnya sendiri, sudah sepantasnya kita jangan terlalu heboh. Apalagi, perbuatan Ratna sudah terungkap oleh “kesadaran”nya sendiri.

Sebagai manusia, Ratna masih tergolong baik dibanding pemimpin yang belum juga mengakui kebohongannya terhadap rakyatnya sendiri. Yang sudah jamak diketahui. Oleh karena ada seorang Farhat Abbas dkk yang melaporkan 17 politisi lantaran kasus hoaks Ratna, maka hoaks yang pernah dibuat seorang Saintis asal Amerika Serikat, Alan David Sokal, yang juga sempat membuat AS dan dunia akademik heboh, perlu diingat lagi.

Alan David Sokal adalah seorang profesor di University College London dan di New York University. Semua bermula pada musim panas di tahun 1996. Sokal mengirim sebuah jurnal akademik berjudul ‘Transgressing the Boundaries: Towards a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity’ ke sebuah media jurnal kajian budaya posmodern ternama di Amerika Utara, Social Text.

Namun setelah artikelnya itu diterbitkan pada edisi ke-46/47 Spring-Summer 1996, beberapa minggu kemudian, Sokal justru menulis sebuah esai berjudul ‘Physicist Experiments with Cultural Studies’ di Jurnal Lingua Franca, seraya menyebutkan bahwa artikelnya yang sebelumnya terbit di Social Text adalah sebuah kebohongan belaka, yakni hoaks.

Sokal mengaku bahwa tulisannya itu hanya parodi untuk mengejek para pemikir postmodern. Dia juga mengaku tulisannya itu untuk menguji ketelitian jurnal ternama sekelas Social Text yang dewan redaksinya diisi oleh para pemikir postmodern dan seorang tokoh sosialis macam Fredric Jameson dan Andrew Ross.

Cerita mengenai hoaks Sokal ini sampai sekarang terus menjadi perbincangan, khususnya di kalangan akademisi. Pelajarannya, jika seorang pakar, akademisi dan jurnal ternama saja bisa terkena hoaks, apalagi masyarakat awam dan seorang politisi yang kesehariannya dipenuhi dengan emosi.

Alan David Sokal

Lalu apa hubungannya dengan Ratna, Farhat dan Kubu Prabowo? Tentu saja kisah Sokal dan Ratna ada kemiripan. Ratna dan Sokal sama-sama membuat hoaks yang kemudian diakuinya. Sementara kubu Prabowo adalah pihak yang sama persis dengan Social Text, yakni pihak yang menjadi korban dan “penyebar hoaks”—yang tidak diketahuinya.

Namun, nasib Social Text, Fredric Jameson dan Andrew Ross—sebagai pihak yang bertanggung jawab—tidak seperti 17 politisi yang dilaporkan Farhat karena dianggap telah menyebarkan hoaks. Social Text dan pengelolanya dianggap sebagai korban dari Sokal. Kalangan akademisi bahkan sampai pihak berwenang Amerika pun tidak pernah memperkarakan mereka. Mungkin lain cerita jika Social Text ada di Indonesia dan Sokal tak sengaja menyinggung Jokowi dalam hoaksnya, ya bisa jadi lah ya. []

-Penulis adalah Jurnalis Salam

Baca Juga