Tahun Kegelapan Media

-CATATAN M RIZAL FADILLAH-

Media menjadi tak menarik karena menjadi partisan. Partisan menjadikan media berkelas picisan. Tahun kegelapan media di Indonesia dimulai sejak kekalahan Ahok yang diprotek media mainstream. Ke sininya lebih amburadul lagi. Rakyat, apalagi, umat merasa ditinggalkan oleh media.

Reuni Akbar 212, 2 Desember 2018, di Lapangan Monas dan sekitarnya dihadiri oleh, ada yang menyebutnya 13.400.000 orang berdasarkan data, ada yang menyebutnya 11 juta, 10 juta dan 8 juta. Tetapi media-media mainstream cetak dan elektronik (selain TVOne) dikritik karena bungkam, menandai “Tahun Kegelapan Media”.

SALAM-ONLINE: Judul itu terinspirasi dari pernyataan teman di salah satu WA Group (WAG). Ada juga tulisan mengenai pers yang bunuh diri massal.

Semua bernada keprihatinan mengenai kuatnya pengaruh pimpinan media atau pemilik modal media terhadap mutu dan isi berita. Nampak kental pemihakan pada penguasa dan ketidakberdayaan media untuk menjalankan prinsip jurnalisme yang objektif.

Semua media cetak dan elektronik mainstream bungkam (kecuali TVOne yang secara khusus menayangkan siaran langsung, red) terhadap pemberitaan yang dianggap ‘lawan politik’ penguasa. Semua berita ‘mengabdi’ pada kekuasaan.

Media menjadi tak menarik karena menjadi partisan. Partisan menjadikan media berkelas picisan. Malas dibaca malah jengkel buka-buka. Untung ada media lain di handphone kita yang terasa lebih up to date dan dinamik. Soal sedikit ada hoax-hoax, itu kecerdasan kita sendiri untuk menyeleksi.

Tahun kegelapan media di Indonesia dimulai sejak kekalahan Ahok yang diprotek media mainstream. Ke sininya lebih amburadul lagi. Rakyat, apalagi, umat merasa ditinggalkan oleh media. Pemerintah mencengkeram dan mendikte. Mendekati gaya pemerintahan di negara komunis.

Memang, belum ada media (cetak dan elektronik) yang dibredel. Tapi insan pers sepertinya selalu gemetar untuk memberitakan. Mereka telah membredel dirinya sendiri.

Baca Juga

Reuni 212 adalah peristiwa istimewa minim liputan. Padahal media luar negeri antusias memberitakan. TV (selain TVOne) ciut meliput. Surat kabar asal-asalan. Luar biasa mental media bangsa nyalinya. Luar biasa pula kolonialisme mencengkeram. Melumpuhkan dan menjadikan bertambahnya kaum disabilitas. Media disability.

Betapa “hebat”nya Pak Jokowi. Dengan berlatar belakang hanya pengusaha mebel, berwajah polos, mencitrakan kesederhanaan, cari kekuatan lewat blusukan, gagap di depan corong media, serta gemar berartifisial milenial, mampu membuat sejarah di negara Indonesia dengan “menggelapkan” media. Prestasi yang seharusnya tercatat dalam museum rekornya Jaya Suprana.

Meski tak seluruhnya, umat Islam adalah korban dari bungkam dan ketidakadilan media tersebut. Namun demikian umat tetap sabar dalam berjuang melawan tirani manipulasi. Reuni 212 yang besar dan mengejutkan adalah warna lain dari perjuangan itu. Bola masih menggelinding, permainan masih berlangsung. Prediksi dengan strategi “total football” umat Islam akan segera dapat menjebol gawang lawan. Telak.Di tengah media yang terkooptasi kekuasaan dan kapital, kita merasakan kesedihan insan pers yang masih berjiwa juang dan menjunjung tinggi nilai objektivitas jurnalisme. Para wartawan yang meliput dan mencatat tapi tak dimuat. Tertekan oleh kebijakan pimpinan.
Tetap sabarlah menumbuhkan semangat profesionalisme yang tergelapkan itu.

Engkau sama dengan saudara-saudaramu yang lain. Sama dengan kita yang memandang dengan pandangan kecewa. Para pemimpin yang sedang berbuat zalim.

Akan ada momen untuk bangkit dan menguak kegelapan. Matahari pagi akan bersinar lagi.

Bandung, 5 Desember 2018

Penulis Ketua Masyarakat Unggul (MAUNG) Bandung Institute

Baca Juga