Jokowi Klaim dalam 4,5 Tahun tak Ada Konflik Pembebasan Lahan, Faktanya?

Dalam tema infrastruktur, Capres petahana itu mengklaim selama pemerintahannya tak ada konflik sosial terkait pembebasan lahan. Ini faktanya.JAKARTA (SALAM-ONLINE): Dalam debat capres yang digelar di Hotel Sultan, Jakarta, Ahad (17/2/2019) malam, Calon Presiden (Capres) Joko Widodo (Jokowi) mengatakan pada 4,5 tahun terakhir hampir tak ada konflik pembebasan lahan.

Dalam tema infrastruktur, Capres petahana itu mengklaim selama pemerintahannya tak ada konflik sosial terkait pembebasan lahan.

“Untuk ganti rugi, dalam 4,5 tahun hampir tak terjadi konflik pembebasan lahan untuk infrastruktur, karena tidak ada ganti rugi, yang ada ganti untung,” ujar Jokowi seperti diberitakan sejumlah media.

Jokowi menyebut biaya pembebasan lahan saat ini sangat kecil. Yakni sebesar 2-3 pesen.

 “Kenapa tidak ditingkatkan menjadi 4-5 persen sehingga seluruh kontraktor jalan memberi angka yang lebih besar, sehingga tidak terjadi konflik antar masyarakat,” ujarnya.

Tapi faktanya? Dilansir dari Twitter @KompasTV, berdasarkan laporan dari Ombudsman tahun 2017, setidaknya ada tiga substansi teratas sepanjang 2017 dari 8.264 yang dilaporkan ke Ombudsman.

Dari jumlah tersebut, sebanyak 13,43 persen berasal dari pertanahan. Sebanyak 13,07 persen dari pendidikan dan kepolisian 12,2 persen.

Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai, penyelesaian sengketa lahan kerapkali mengedepankan kekerasan. Akibatnya, menurut catatan KPA ada 13 korban tewas dan ratusan orang lainnya jadi korban kriminalisasi serta penganiayaan. Angka itu merupakan hasil pemantauan KPA sepanjang 2017 terkait kasus sengketa lahan di berbagai daerah di Indonesia.

Kepala Departemen Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yahya Zakaria membeberkan, korban tewas rata-rata akibat dianiaya menggunakan senjata api ataupun dihajar oleh aparat keamanan.

Sedangkan korban kriminalisasi dan penganiayaan yang mengakibatkan luka jumlahnya lebih dari 300 orang sepanjang tahun 2017. Namun, kata Yahya, angka itu baru sebatas korban yang melapor ke KPA. Ia menduga, boleh jadi ada korban di luar jumlah tersebut yang belum melaporkan kasusnya.

“369 orang dikriminalisasi, misalnya dijerat pasal-pasal karet. Kemudian 224 orang dianiaya termasuk juga ada perempuan di dalamnya. Kemudian 13 orang warga meninggal, 6 orang tertembak. Itu dalam konflik agraria,” ungkap Yahya di Sekretariat Walhi Jakarta, 2 Mei 2018.

Sementara Bandara Kertajati di Majalengka, Jawa Barat, juga belum selesai urusannya dengan para petani, sebagaimana diungkapkan Heri Susana Kalangi kepada iNews. Petani Majalengka itu menilai pembangunan Bandara Kertajati hanya mendatangkan kesengsaraan bagi penduduk di desanya.

Baca Juga

Pasalnya, demi memuluskan megaproyek infrastruktur bernilai Rp25,4 triliun itu, pemerintah sampai hati menggusur masyarakat miskin secara paksa dari kampung halaman mereka. Sementara, di saat yang sama, belum ada kebijakan yang jelas dari pemerintah terkait kelangsungan hidup mereka di masa mendatang.

“Kami, mayoritas warga yang mendiami kampung ini, adalah petani. Tanpa tanah kami tidak akan bisa berproduksi,” tutur warga Desa Sukamulya, Kecamatan Kertajati, Majalengka itu.

Progres pembangunan sisi darat dan runway Bandara Udara Internasional Kertajati di Majalengka, Jawa Barat per 11 Januari 2018. (Foto: bijb.co.id)

Heri mengatakan, sejak wacana pembangunan Bandara Kertajati mulai digulirkan pada 2003, pemerintah belum pernah sekali pun mengajak masyarakat Desa Sukamulya berdialog. Anehnya, pemerintah kini malah menyuruh penduduk setempat membebaskan semua lahan yang mereka miliki dan kuasai secara turun-temurun untuk kepentingan proyek tersebut. Mereka dipaksa mengikuti kemauan penguasa tanpa diberi ruang untuk bernegosiasi.

“Harusnya pemerintah melakukan sosialisasi dulu, ajak kami berunding dulu. Jangan ujug-ujug ambil keputusan sepihak. Perlakukanlah kami ini layaknya warga negara! Apalagi tanah kami ini ada sertifikat hak miliknya, bukan tanah pemerintah,” ucap pria itu.

Berdasarkan data yang dihimpun dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Majalengka, jumlah penduduk Desa Sukamulya pada 2014 tercatat sebanyak 4.626 jiwa atau 1.231 kepala keluarga (KK). Sekitar 70 persen dari mereka menghidupi diri dengan bertani atau bercocok tanam. Adapun luas total desa itu mencapai 730,75 hektare. Sekitar 97 persen di antaranya berupa lahan pertanian, sedangkan sisanya yang 3 persen lagi adalah kawasan permukiman.

Dikatakan, sejak awal rencana pembangunan Bandara Kertajati memang sudah disertai dengan proses yang manipulatif dan kerap diwarnai intimidasi, teror hingga kriminalisasi terhadap warga.

Dari 11 desa yang terkena dampak penggusuran untuk pembangunan Bandara Kertajati, 10 di antaranya telah diratakan tanpa proses yang jelas. Sepuluh desa yang dimaksud adalah Bantarjati, Kertajati, Kertasari, Palasah, Babakan, Sukakerta, Pasiripis, Mekarmulya, Kertawinangun dan Babajurang.

Desa Sukamulya kini menjadi satu-satunya desa yang warganya masih memilih mempertahankan tanah dan kampung halaman mereka. Penduduk yang masih bertahan di desa itu hingga 2017 tercatat sebanyak 1.478 KK dengan luas lahan yang dipertahankan lebih dari 500 hektare. (*)

Sumber: Tribun, kpa.or.id, iNews

Baca Juga