Kafir atau Non-Muslim, Siapa yang Gelisah?

Rekomendasi PBNU untuk mengganti kata ‘kafir’ jadi ‘non-Muslim memunculkan polemik di masyarakat. Siapa yang gelisah?

 –CATATAN ATHIAN ALI M DA’I–

SALAM-ONLINE: Bak petir di siang bolong. Muncul rekomendasi dari PBNU agar istilah Kafir tidak lagi dipergunakan terhadap non-Muslim. Rekomendasi ini begitu cepat menjadi polemik di masyarakat. Ada apa di balik rekomendasi tersebut?

Dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri yang terkenal sangat toleran ini, istilah kafir selama ini tidak pernah menimbulkan keresahan.

Setiap orang yang beragama di negeri ini sama-sama memahami, jika dalam Agama hanya ada dua istilah “mu’min” bagi yang meyakini kebenaran ajaran Agama, dan “Kafir” bagi yang menolaknya.

Setiap Muslim pasti tidak akan pernah menolak dan atau keberatan, jika orang di luar Islam menyebut mereka juga Kafir. Pertanyaan yang segera akan muncul adalah, siapa sesungguhnya yang sangat digelisahkan oleh predikat “Kafir?”

Dalam literatur Arab dikenal istilah “Mafhum mukholafah”, yaitu ketika yang dimaksud dari suatu ungkapan, bukanlah yang tersurat, tapi yang tersirat di balik ungkapan tersebut. Tidak mustahil, jika yang gelisah hanyalah mereka yang selama ini acapkali memperoleh predikat kafir padahal mereka berbaju Muslim. Mereka jelas tidak mungkin disebut non-Muslim karena baju yang mereka kenakan selama ini bermerek Islam. Terlebih dengan embel-embel cendekiawan Muslim, bahkan Kiai, membuat mereka semakin aman dari sebutan non-Muslim.

Baca Juga

Setiap Mu’min tentu saja meyakini, jika hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala sajalah yang berhak menetapkan apakah seseorang itu mu’min atau kafir.
Para Ulama, bahkan Rasulullah Sallallahu ‘alaihi wa Sallam hanya sebatas menyampaikan kepada siapa predikat tersebut harus dan boleh disematkan.

Kaum SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme dan Liberalisme) sangat mungkin menjadi pihak yang paling gerah oleh predikat kafir. Mereka secara zahar (terang-terangan) menolak sebagian syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala yang tidak cocok dengan hawa nafsu mereka. Mereka berkeyakinan dan berupaya agar Islam dipisahkan jauh dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Prinsip dan keyakinan yang pada tahun 2005 telah difatwakan MUI sebagai paham yang sesat dan menyesatkan.

Setiap Mu’min tentunya sangat mafhum, bahwa setelah risalah Islam hadir, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala hanya menetapkan dua jenis manusia: “Mu’min” atau “Kafir” .
Tidak dikenal dalam teologi Islam istilah “Agak Mu’min” atau “Sedikit agak kafir”.

Boleh jadi ini sebenarnya yang menjadi sumber kegelisahan. Keberadaan mereka yang aman dari sebutan non-Muslim, tapi sangat tidak aman dari predikat kafir!

-Penulis adalah Ketua Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI)

Baca Juga