Kewenangan MK dalam Memutus Perselisihan Hasil Pemilu

Catatan Hukum Prof Dr Asep Warlan Yusuf, SH, MH*

Pengantar
Langkah hukum yang dilakukan oleh pasangan pemilihan presiden nomor 02 Praboswo Subianto dan Sandiaga Uno dengan mengajukan permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) merupakan langkah yang tepat dan benar, karena telah sesuai dengan konstitusi kita.

Melalui penyelesaian PHPU di MK ini, besar harapan tujuan pemilu yang demokratis, bermartabat dan damai terwujud. Namun demikian, ada catatan hukum yang berkaitan dengan permohonan PHPU ini, yakni apakah ada jaminan hukum bahwa seluruh proses peradilan di Mahkamah Konstitusi akan berjalan dengan jujur dan adil?

Itulah pertanyaan yang sering dilontarkan oleh banyak pihak. Karena itu, kewajiban kita untuk mengawal dan memastikan bahwa MK akan benar-benar menjadi tumpuan harapan bagi pencari keadilan, menjadi benteng terakhir yang mampu menjaga kedaulatan rakyat, sehingga penyelesaian hiruk pikuk kepemiluan ini akan benar-benar selesai di MK, tidak ada lagi cara lain di luar hukum. Di sinilah hakim MK benar-benar dituntut sebagai pengadil yang berkarakter jujur, independen dan menjadi negarawan sejati.

Membangun dan menjalankan Negara harus berlandaskan moral dan budi pekerti yang luhur bagi penyelenggara negara. Hal ini telah dilafadzkan dengan lugas oleh para founding fathers kita dengan mengatakan pada hakikatnya bahwa meskipun hukum masih terumuskan relatif sederhana dan belum lengkap mengatur ihwal ketatanegaraan yang holistik, namun apabila semangat penyelenggara negara telah didasarkan pada moralitas, adil, jujur, dan integritas, maka cita dan tujuan negara akan terwujud.

Jadi yang terpenting adalah moralitas, budi pekerti yang luhur yang menjadi pilar utamanya. Mengapa jawabannya adalah semangat penyelenggara negara yang memiliki budi pekerti yang luhur? Karena perihal moral dan budi pekerti yang luhur itu merupakan modal utama untuk menjadi negarawan yang berakhlak mulia dan berguna bagi bangsa dan Negara.

Sikap kenegarawanan tersebut akan lebih paripurna jika dilandasi pula dan dijalankan oleh penyelenggara hukum yang jujur, adil, berintegritas dalam mengatur dan menegakkan hukum dalam kehidupan demokrasi yang bersendikan nilai-nlai keadaban.

Dengan demikian apabila penegak hukum berkarakter terpuji, maka menjadi suatu keniscayaan bahwa visi negeri ini yakni negeri yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur akan terwujud.

Dalam konteks penegakan hukum, berdasarkan Pasal 24 ayat (1) dan ayat (3) UUD 1945 ditegaskan bahwa “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan”.

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Untuk menjamin agar hakim Mahkamah Konstusi benar-benar akan menegakkan hukum dan keadilan dalam setiap putusannya, maka UUD 1945 mensyaratkan bahwa “Hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara (Pasal 24C ayat 5).

Terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum telah ditegaskan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil setiap lima tahun sekali”. Amanat Konstitusi ini kemudian ditegaskan lagi dalam UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Pasal 2 UU No. 7 tahun 2017 yang menyatakan bahwa “Pemilu dilaksanakan berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil”.

Jadi ‘jujur’ dan ‘adil’ ini merupakan Asas Pemilu. Pasal 3 huruf b dan c UU Pemilu menegaskan lagi bahwa penyelengaraan pemilu itu harus memenuhi prinsip: b. jujur; dan c. adil”. Jadi ‘jujur’ dan ‘adil’ itu merupakan Prinsip Pemilu.

Selanjutnya di dalam Pasal 4 UU huruf b mengamanatkan tujuan pemilu antara lain yaitu: “mewujudkan pemilu yang adil dan berintegritas”.

Ketentuan Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 UU Pemilu tersebut merupakan asas, prinsip dan norma yang dengan amat jelas, tegas, eksplisit mengamanatkan bahwa penyelenggaraan dan penyelenggara pemilu harus jujur, adil dan berintegritas. Artinya bahwa dalam hal penyelenggara tidak jujur, tidak adil, dan tidak berintegritas, maka perbuatan penyelenggaraan pemilu teah melanggar UUD 1945, sehingga hasilnya menjadi inkonstitusional dan penyelengaranya dikualifikasi telah melanggar, moral, etika dan hukum sekaligus.

Pesan moralnya adalah bahwa perbuatan tersebut merupakan pengkhianatan terhadap amanat Konstitusi dan Undang-Undang Pemilu.

Karenanya dalam hal terjadi ketidakjujuran dan ketidakadilan telah terbukti dilakukan oleh penyelenggara pemilu dan/atau peserta pemilu, maka baik proses maupun hasil pemilunya harus dinyatakan tidak sah dan harus dibatalkan, serta pelakunya dapat dimintakan pertanggugjawaban hukumnya, baik hukum administrasi berupa pmberhentian dengan tidak hormat maupun dengan pengenaan sanksi pidana.

Peran Mahkamah Konstitusi
Kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagaimana disebutkan dalam Pasal 24C ayat (1) dan ayat (2): ”Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.”

Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang Dasar.

Apabila dicermati dari seluruh kewenangan MK tersebut nampak bahwa kewenangan MK itu benar-benar mencerminkan kewenangan ketatanegaraan yang strategis yang menyangkut kehidupan ketatanegaraan yang mendasar.

Kewenangan menguji UU, memutus sengketa lembaga negara, membubarkan partai politik, menilai pendapat DPR dan memutus perselisihan hasil pemilu merupakan kewenangan yang berimplikasi pada keabsahan perbuatan kenegaraan dan legitimasi kepercayaan Rakyat kepada Negara. Karena menyangkut legitimasi kepercayaan rakyat kepada Negara yang berdampak pada kelangsungan kehidupan bernegara melalui Putusan MK, maka jelas setiap Putusan MK harus benar-benar mencerminkan putusan yang adil seadil-adilnya dalam kerangka penerapan demokrasi konstitusional.

Baca Juga

Putusan yang adil tersebut hanya dapat diberikan oleh hakim yang negarawan, bukan semata-mata hakim yang menjadi penganut asas legalitas yang kebablasan dan menjadi corong/mulut undang-undang (bouche de la loi), yang seharusnya menjadi corong/mulut keadilan substantif. Bukankah seharusnya hakim MK dalam menerapkan hukum selalu mendasarkan pada keadilan atas nama Tuhan Yang Maha Esa dan bukan demi undang-undang semata?

Dengan demikian Putusan MK akan berupa: 1. Penundaan berlakunya keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu; 2. Dibatalkannya keputusan KPU tentang Penetapan Hasil Pemilu; 3. Dilakukannya penghitungan suara ulang; 4. Dilakukannya pemungutan suara ulang; 5. Penetapan perolehan suara yang benar yang dapat mengubah hasil perolehan suara Pemohon; 6. Ditolak/dikabulkan sebagian/keseluruhan yang dimohonkan; 7. Perintah agar KPU melaksanakan putusan.

Makna Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
Apakah yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU)? Perselisihan hasil pemilihan umum tentunya mengadung 3 substansi/makna perselisihan, yaitu pertama perselisahan karena adanya pelanggaran terhadap cara dan prosedur penghitungan suara; kedua perselisihan karena adanya perbuatan pelanggaran anggota KPU, PPK dan PPS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 505 UU No. 7 tahun 2017 tentang Pemilu.

Pasal 505 UU Pemilu berbunyi: Anggota KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK dan PPS yang karena kelalaiannya mengakibatkan hilang atau berubahnya berita acara rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dan/atau sertifikat rekapitulasi hasil penghitungan perolehan suara dipidana dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp12.000.000,00 (dua belas juta rupiah); dan ketiga perselisihan karena pemilihan umum tidak diselenggarakan berdasarkan asas, prinsip dan kaidah pemilihan umum yang jujur, adil dan bertintegritas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945, Pasal 2, Pasal 3 huruf b danc, serta Pasal 4 huruf b UU No. 7 tahun 2017 dan peraturan lain sebagai tindak lanjut dari asas jujur dan adil.

Dalam hal telah terbukti adanya pelanggaran cara dan prosedur penghitungan suara, maka putusan MK memerintahkan dilakukan penghitungan ulang. Adapun jika terbukti adanya pelanggaran oleh KPU dan jajarannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 505 UU No. 17 yang mengakibatkan kerugian tehadap perolehan suara peserta pemilu, maka MK harus mengaitkan dan menghubungkannya dengan menyatakan bahwa penyelenggaraan pemilu dijalankan dengan kecurangan, tidak jujur dan tidak adil.

Dalam hal terbukti bahwa penyelenggaraan Pemilu itu telah melanggar asas, prinsip dan norma jujur, adil dan berintegritas, maka berdasarkan Pasal 77 UU No 24 tahun 2003 tentang MK Putusannya adalah hasil penghitungan pemilu oleh KPU dibatalkan.

Penyelesaian PHPU yang didasarkan pada suatu alasan pokok perkara karena pelanggaran terhadap asas dan prinsip jujur dan adil, sesungguhnya merupakan pembuktian yang bersifat kualitatif, bukan pengujian bukti-bukti angka yang bersifat kuantitatif. Jadi dalam hal terbuktikan dengan meyakinkan adanya pelanggaran terhadap asas penyelenggaraan pemilu yang jujur dan adil yang mengakibatkan adanya kerugian dari pasangan calon, maka penetapan hasil pemilihan umum telah melanggar konstitusi.

Di sini jelas MK tidak hanya sebatas fungsi hitung menghitung angka-angka yang diasajikan yang sifatnya teknis, tapi jauh lebih hakiki dan fundamental dalam penyelenggaraan pemilu yakni kejujuran dan keadilan.

Dengan demikian, apa yang harus dilakukan oleh Hakim Mahkamah Konstitusi?

a) Hakim MK harus mengikuti dan memperhatikan dengan seksama perkembangan hukum kepemiluan dengan prinsip utama adalah setiap satu suara merupakan cerminan dari asas kedaultan rakyat, maka harus dihargai dan dihormati;

b) Hakim MK harus mampu melengkapi kekurangan yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Hakim bukan corong atau mulut undang-undang. Hakim harus mampu menemukan hukum yang progresif;

c) Hakim MK harus mampu menggali nilai-nilai keadilan yang hidup dan tumbuh berkembang dalam nadi kehidupan masyarakat;

d) Hakim MK harus mampu melihat dan mempertimbangkan nilai dan norma yang ada di luar peraturan perundang-undangan sepanjang relevan dengan perkara yang tengah diadili dan yang akan diputuskan, tanpa mengabaikan makna dan hakikat kepastian hukum;

e) Hakim MK harus dipandu dan dibimbing oleh kekuatan keilmuan yang substansial, mampu menyerap dan mencerna pengetahuan hukum yang disampaikan oleh para pakar hukum ketika memberikan keterangan ahli di persidangan MK;

f) Hakim MK harus berkomitmen dan menunjukkan indepedensi, kemerdekaan, kemandirian, imparsialitas dan tanggung jawab sebagai penegak hukum dan keadilan;

g) Hakim MK harus cermat dalam pembuktian, artinya harus ada kreativitas dan inovasi, sesuai dengan metode dalam berpikir hukum dengan tetap mengedepankan rasionalitas, objektivitas yang terstruktur, teratur dan terukur;

h) Putusan hakim MK dapat menjadi bahan pengayaan yang berguna bagi pembentukan peraturan perundang-undangan di bidang kepemiluan di masa yang akan datang.

*Penulis Guru Besar FH Unpar Bandung

Baca Juga