Merujuk Pernyataan Paloh, Indonesia Terpapar Kapitalisme-Liberalisme

Catatan M Rizal Fadillah*)

SALAM-ONLINE: Pancasila lebih sebagai slogan ketimbang dasar penyelenggaraan negara. Ungkapan Surya Paloh yang menyatakan Indonesia negara kapitalis liberal membenarkan slogan itu. Semua tahu Surya Paloh adalah bagian penting dari rezim Jokowi, bahkan sponsor utama dan penentu kebijakan pemerintahan Jokowi pula.

Majalah Tempo pernah menempatkan kedudukan menentukan Surya Paloh di balik Jokowi dalam edisi “Dalam Bayang-bayang Paloh”. Nasdem dikenal juga sebagai partai yang bertaburan uang. Ia punya kekuatan mengendalikan. Nah pernyataan Paloh tentang negara kapitalis liberal menjadi sangat penting.

Surya Paloh adalah pelaku yang ikut serta membangun negara kapitalis liberal tersebut. Pengalaman sebagai pelaku politik membuat pernyataannya lebih akurat kebenarannya ketimbang seratus pengamat yang menganalisa hingga berbusa-busa.

Negara kapitalis liberal adalah negara yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian inilah realitas kegagalan Pemerintahan Jokowi selama lima tahun ini. Rezim ini menyebabkan Indonesia menjadi negara gagal untuk memenuhi tuntutan Konstitusi. Pasal 33 UUD 1945 semakin jauh dan negara kesejahteraan (welfare state) sama sekali tidak tercapai.

Apa tujuan pernyataan Surya Paloh saat menyampaikan kuliah umum bertajuk ‘Tantangan Bangsa Indonesia Kini dan Masa Depan’ di kampus UI Salemba, Rabu, 14 Agustus 2019 tersebut hanya dia yang tahu. Murni akademik yang “terpaksa” mengungkap kejujuran ataukah ada motif untuk menekan Presiden dalam rangka penyusunan Kabinet?

Yang jelas fakta telah diungkapkan. Surya Paloh dan partai Nasdem bukan korban dari kapitalisme dan liberalism, tetapi menjadi “mesin” dari isme tersebut. Menteri-menterinya menjadi elemen “penyedot” uang untuk penggalangan kekuatan politik. Jaksa Agung berperan besar.

Ini yang membuat Mega dan PDIP-nya “iri” pada daya tekan dan daya sedot Jaksa Agung tersebut. Mega meminta Jokowi agar Jaksa Agung harus dari kalangan profesional. Nasdem ngotot bertahan. Tentu saja karena posisi ini bisa menjadi mesin strategis bagi kapitalisme partai menuju kapitalisme sistem politik.

Kita merdeka untuk merontokkan kapitalisme dan liberalisme. Karenanya dibuat ideologi Pancasila dengan sila-sila yang anti kapitalisme dan liberalisme. Tak ada Ketuhanan pada kapitalisme. Yang ada adalah kekuasaan uang. Tak ada kemanusiaan yang adil dan beradab. “Free fight” bisa menindas dan biadab.

Baca Juga

Persatuan bisa utopia, yang terjadi adalah persaingan dan konflik. Mengeliminasi kerakyatan, hikmah dan permusyaratan. Akhirnya tak mungkin ada keadilan sosial. Sebab, kekayaan hanya berputar pada segelintir pemilik modal. Kapitalisme liberalisme adalah musuh negara Pancasila.

Kini negara kita disinyalir oleh “orang paling dalam” dari rezim, Bapak Surya Paloh, bahwa politik dan ekonomi sudah berada dalam jeratan sistem kapitalisme dan liberalisme. Mengacu pada pernyataan Paloh itu, Jokowi-lah yang paling “berdosa” membawa negara ke alam yang bertentangan dengan Pancasila ini.

Karenanya ia sebagai Presiden mesti bertanggungjawab. Merujuk pada apa yang disampaikan Ketum Nasdem tersebut, pilihan bagi wakil-wakil rakyat hanya satu yaitu “impeachment”.

Atas dasar itu, mestinya Jokowi diturunkan secara konstitusional oleh wakil-wakil rakyat. Jika tidak, maka wakil-wakil rakyat itu akan dinilai oleh masyarakat sebagai pendukung atau pelaku kapitalisme dan liberalisme juga.

Nah sekarang, para pejabat itu jangan hanya berteriak mewanti-wanti rakyat, kampus, atau birokrasi telah terpapar radikalisme. Tapi juga harus investigasi dan kriminalkan pejabat atau siapapun yang terpapar kapitalisme dan liberalisme. Mereka adalah musuh-musuh Pancasila.

Merdeka…!

*) Pemerhati Politik

16 Agustus 2019

Baca Juga