Pengesahan RUU Sandiwara di Era Corona, DPR Dinilai Lecehkan Rakyat

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Luar biasa dan begitu spektakuler dalam situasi wabah Corona dan bulan Ramadhan, ternyata DPR mengagendakan Sidang Paripurna persetujuan empat RUU sekaligus. Keempat RUU itu konten masing-masingnya mendapat perhatian serius dari masyarakat. Bukan “ecek ecek”.

Kesan yang muncul dengan pengesahan tersebut adalah DPR mengentengkan atau tidak serius. Terbukti dari 575 anggota Dewan, yang hadir di ruang sidang hanya 41 orang. 255 lainnya hadir secara virtual. Adapun yang absen sangat banyak, 279 anggota! Memprihatinkan, karena ini Sidang untuk memutuskan hal yang penting dan strategis.

Keempat RUU itu sebutan mudahnya adalah RUU Corona, RUU Minerba, RUU HIP dan RUU Penanggulangan Bencana. RUU HIP dan Penanggulangan Bencana disetujui sebagai RUU Inisiatif DPR. Sedangkan RUU Corona dan RUU Minerba diketuk dan disahkan sebagai Undang Undang. Semua diputuskan dalam persidangan yang terbilang singkat untuk RUU yang sebenarnya “berat”.

RUU Penanggulangan Bencana berkaitan dengan suasana bencana kini. RUU HIP sarat kekhawatiran penyimpangan ideologi baik nuansa Orde Lama maupun Komunisme.

RUU Minerba dinilai menguntungkan pengusaha atau kelompok “elite”. Merugikan Daerah. RUU Corona membuka pintu korupsi dan melemahkan pengawasan. Melanggar Konstitusi.

Khususnya tiga RUU “peka” dan “berbahaya” ini ironis diputuskan dalam Rapat Paripurna “darurat” dan dinilai menyederhanakan masalah yang dibahas. Bahkan diindikasikan mengabaikan kecermatan sehingga dapat dikualifikasikan tidak sah atau cacat hukum. Hanya satu Fraksi yang menolak atau keberatan, yaitu PKS. Delapan Fraksi setuju. Ambyar!

Pengesahan RUU ini dinilai melecehkan rakyat atas tiga hal, yaitu:

Pertama, empat RUU ditetapkan sekaligus dalam satu waktu. Padahal masing-masing materi memiliki bobot tersendiri yang mendapat perhatian dan pengkritisan rakyat dan bangsa Indonesia.

Kedua, menjadikan alasan Covid-19 sehingga anggota yang hadir di ruang sidang sedikit. Hanya 41 orang. Meski secara virtual cukup banyak. Namun, apapun argumennya, kehadiran secara virtual jadi terbatas dalam penggunaan hak anggota. Host dapat menentukan buka tutup “mute” dan “unmute”. Bisa sangat tak serius mengikutinya.

Ketiga, di bulan Ramadhan, bagi yang shaum diburu-buru selesai untuk “berbuka”. Bisa diduga untuk bahasan hingga pengesahan RUU tersebut dibuat sangat tergesa-gesa. Tidak sehat bahkan bisa menimbulkan kesan “rekayasa”.

Baca Juga

Pelecehan pada rakyat ketika Ketua Sidang mengetuk palu meminta persetujuan dengan menyatakan “delapan fraksi setuju dan 1 fraksi menolak” lalu itu disebut “setuju”. Semestinya RUU ditetapkan dengan menghitung jumlah anggota yang setuju. Bagaimana pengambilan keputusan dilakukan dengan “aklamasi” untuk fakta persidangan dimana sejumlah anggota tidak setuju?

Rakyat disuruh “garuk kepala” mendengar permainan persidangan. Tentu tak perlu ikut-ikutan menyebut “anak TK”nya Gus Dur untuk model ini. Tapi ada juga yang kesal dan berkomentar: “Bubarkan saja DPR”. Anggota DPR harus tahu bahwa rakyat banyak yang merasa kecewa.

Sandiwara di era corona

Memang pada budaya politik pragmatis, transaksional dan sistem Pemerintahan yang “heavy”nya pada eksekutif, parlemen semakin tak berdaya. Lebih sekadar jalan mencari aman.
Agar DPR lebih menguat haruskah sistem Presidential diubah menjadi sistem Parlementer?

Biarlah masalah itu menjadi diskursus. Kini faktanya adalah DPR telah melecehkan rakyatnya sendiri. Mengetuk palu untuk empat RUU dengan senyum bahagia dan sukses menjalankan misi. Mungkin saja hatinya berteriak: “Persetan dengan rakyat” sambil terus bergumam “rakyat hanya diperlukan dan diperhatikan nanti saat Pemilu”.

Bu Puan, mengetok palu mengesahkan empat RUU dalam “tempo yang sesingkat singkatnya” itu bukan prestasi. Tetapi masuk dalam kategori korupsi. Korupsi waktu, korupsi aspirasi dan korupsi demokrasi.

Jika demikian prinsipnya, maka layak juga jika ada orang yang menyebut lembaga ini sama dengan “legislathieves”. Maklum mau lebaran, ya Bu ? Maksudnya nanti maaf-maafan…

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 22 Ramadhan 1441 H/15 Mei 2020 M

Baca Juga