Pembakar Bendera Tauhid Dihukum 10 Hari, Bagaimana Bendera PDIP?

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Perintah Megawati atau petinggi PDIP untuk bergerak dalam kasus “bakar bendera” bisa menjadi boomerang. Sebagai sikap siaga bagus saja. Akan tetapi jika berlebihan justru bisa merugikan PDIP sendiri yang sedang menjadi “tertuduh” dalam kasus RUU HIP.

Stigma PDIP menjadi “sarang” kader PKI akan semakin kuat. AD/ART PDIP memuat semangat memperjuangkan Pancasila 1 Juni 1945,  bukan Pancasila 18 Agustus 1945. Mukadimah dan Pasal 6 Anggaran Dasar PDIP menggambarkan ideologi utama PDIP adalah Pancasila 1 Juni 1945, ditambah dengan sila-sila Trisila dan Ekasila.

Awalnya diperkirakan PDIP akan mengambil langkah yang lebih sabar atau “silent” untuk mencari solusi berimbang. Pernyataan siap untuk memasukkan Tap MPRS No XXV tahun 1966 dan menghapus Pasal 7 RUU HIP sudah bagus. Tinggal satu langkah lagi yakni membatalkan atau menarik kembali RUU gagasannya tersebut.

Situasi pun akan terkendali. Tuntutan tindak lanjut untuk pengusutan apalagi sampai proses hukum bukanlah hal yang mudah.

Namun nyatanya PDIP mengeluarkan “banteng-banteng” yang dinilai terprovokasi oleh pembakaran bendera di arena unjuk rasa di depan Gedung DPR.

Masalahnya, pertama, siapa dan apa latar belakang pembakar perlu diketahui. Tak bisa menuduh organisasi tertentu, FPI misalnya.

Kedua, bendera PDIP sendiri sudah banyak dibakar oleh kadernya sendiri seperti di Kalbar.

Ketiga, pembakaran bendera PDIP bersamaan dengan pembakaran bendera PKI sehingga membelanya dapat dikesankan membela bendera PKI.

Keempat, belum ada aturan pidana untuk pembakaran bendera partai.

Baca Juga

Pembakar bendera tauhid tahun 2018 di Garut saja hanya dihukum 10 hari dan denda cuma 2000 rupiah

PKI dan Komunisme menjadi isu politik yang dikaitkan dengan usulan PDIP soal RUU HIP. Gerakan untuk membatalkan sedang menggelinding.

Jika kader-kader PDIP turun ke jalan-jalan, maka nuansa tahun 1965 akan terasa. Perlawanan terhadap PKI dan Komunisme di kalangan masyarakat cukup tinggi.

Jika kader bertindak brutal maka akan terbangun stigma buruk. Massa (kekuatan) umat Islam juga tidak akan tinggal diam. Di medsos banyak ungkapan “Loe jual, gue beli“, ada juga “loe jual, gue borong“.  Opini yang dapat terbangun adalah “pembakar bendera” versus “pembakar Pancasila“.

Jika Mega marah-marah mengumbar emosi, maka bukan saja RUU HIP itu gagal, PDIP pun semakin porak poranda. Parpol lain “balik badan” meninggalkan PDIP sendirian. Joko Widodo pun lari menjauhi. Akhirnya ya rugi. Isunya juga sangat berat, urusan PKI dan Komunisme.

Dibutuhkan kematangan PDIP untuk bermain cantik. RUU HIP adalah contoh permainan yang buruk. Bila matang dan cerdik, maka dipastikan PDIP tidak akan bisa dibohongi oleh petugas partainya sendiri.

PDIP partai pemenang Pemilu, tetapi tidak berkuasa. Nampaknya ada “pencuri” kekuasaan yang jauh lebih kuat dan menentukan. Akibatnya bu Mega marah-marah.

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 6 Dzulqo’dah 1441 H/27 Juni 2020 M

Baca Juga