Politik Dinasti: Ketika Rasa Malu Sudah Hilang, Begini Sabda Nabi…

Catatan M Rizal Fadillah*

SALAM-ONLINE: Kesan memaksakan Gibran putra Presiden untuk maju dalam Pilwalkot semakin kuat. Keterlibatan Presiden sebagai ayah sangat mencolok mata. Terang-terangan “pesaing”nya Achmad Purnomo dipanggil ke Istana. Konon dengan tawaran jabatan sebagai kempensasi. Tetap saja Purnomo merasa kecewa atas “perampasan hak” oleh anak Presiden atas nama otoritas sang ayah.

Argumen awal bahwa ini bukan politik dinasti karena meski anak tapi hak politik sebagai warga negara tak dapat dihalangi. Siap berkompetisi secara sehat. Namun praktiknya belum juga bertarung sudah memanfaatkan fasilitas kepresidenan. Peristiwa ini sebenarnya memalukan. Namun anehnya bagi Presiden hal ini dianggap biasa saja. Gawat juga jika Presiden hilang rasa malu.

Sabda Nabi: “Sesungguhnya Allah tatkala hendak membinasakan seorang hamba, maka Allah mencabut rasa malu darinya. Ketika Allah telah mencabut rasa malu orang itu darinya maka tidak mendapatkan dirinya kecuali dia dibenci dan membenci orang lain. Ketika mendapatkan dirinya dibenci dan membenci orang lain, akan dicabut amanah,” (HR Ibnu Majah).

Sebenarnya Presiden sudah kehilangan amanah ketika membuat Perppu tanpa tingkat “kegentingan memaksa”, melumpuhkan KPK, mengabaikan Putusan MA, memasukkan TKA Cina di tengah PHK dan kesulitan warga mencari kerja, serta membuka peluang penguasaan Cina melalui investasi dan hutang luar negeri. Bagaimana bisa Presiden tidak menjaga martabat rakyat dan bangsanya?

Sabda Nabi berlanjut: “Ketika amanah dicabut darinya, maka dia tidak mendapatkan dirinya kecuali berkhianat dan dikhianati orang lain. Ketika mendapatkan dirinya berkhianat dan dikhianati orang lain, maka dicabutlah darinya rahmat. Ketika rahmat dicabut darinya, dia tidak mendapatkan dirinya selain dikutuk dan dilaknat.”

Yang dikhawatirkan sebagai seorang pemimpin adalah jika rakyat yang dipimpin sudah melecehkan bahkan sudah berani mengutuk dan melaknat. Jika fenomena ini terjadi maka itulah tanda-tanda Allah Subhanahu wa Ta’ala mencabut rahmat darinya.

Memang kasus Gibran dinilai keterlaluan. Orang tahu kualitas, kapasitas dan reputasi Gibran. Akan tetapi dengan modal sosial sebagai anak Presiden yang juga mantan Wali Kota Solo, lalu terang-terangan fasilitas kepresidenan digunakan sebagaimana pemanggilan Purnomo ke Istana, maka di atas kertas Gibran bisa saja mulus menjadi Wali Kota. Dana “rekanan” pun mudah didapat atas titah ayahanda.

Baca Juga

Namun kekuasaan yang didapat bukan dari haknya atau kapasitasnya, maka Islam menegaskan ancaman kehancurannya. Jika ia seorang Muslim, maka statusnya sama dengan orang yang keluar dari Islam.

“Ketika ia mendapatkan dirinya dikutuk dan dilaknat, maka akan dicabut darinya tali Islam,” (HR Ibnu Majah).

Nasihat Nabi berguna bagi orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir.
Bagi yang tidak beriman, maka predikat yang pas adalah:

Shummun bukmun ‘umyun fahum laa yarji’uun

“Mereka itu tuli, bisu dan buta. Maka mereka tak akan bisa kembali,” (QS Al-Baqarah: 18).

*) Pemerhati Politik dan Kebangsaan

Bandung, 29 Dzulqo’dah 1441 H/20 Juli 2020 M

Baca Juga