Rahasia Penutup Amal, Saat Kematian Tiba

Catatan Abu Harits, Lc –غفر الله له ولواديه-

SALAM-ONLINE.COM: Suatu ketika Imam Abdul ‘Aziz bin Abi Rowwad—salah seorang ulama dari generasi tabi’in—bergegas mendatangi seseorang yang sedang mengalami sakaratul maut. Beliau pun berusaha membantu talqin (menuntun bacaan kalimat tauhid) kepada laki-laki yang sakaratul maut tersebut.

Namun di akhir hidupnya laki-laki tersebut kesulitan untuk mengucapkan kalimat tauhid. Ucapan terakhir yang keluar justru perkataan kufur. Imam Abdul ‘Aziz bin Abu Rowwad pun sedih dan heran mengapa orang ini menutup hidupnya dengan ucapan yang tidak sepantasnya untuk diucapkan. Beliau pun bertanya kepada salah seorang dari kerabatnya.

Jawabannya adalah orang tersebut dahulunya ketika masih hidup kecanduan minuman khamer. Setelah mengetahui penyebabnya maka beliau berkata, “Takutlah kalian semua terhadap dosa-dosa, karena dosa-dosa itulah yang menjatuhkan diri kita ke dalam kematian yang buruk.”

Tidak dipungkiri, bahwa kematian adalah perkara misterius yang niscaya terjadi pada setiap makhluk bernyawa, tak terkecuali manusia. Kematian adalah salah satu proses yang akan dilewati oleh setiap manusia siapa pun dia. Dari Raja yang kaya raya hingga rakyat jelata semua pasti mati.

Tidak berhenti pada kematian saja. Semua manusia pun akan dikembalikan dan dihadapkan kepada Allah untuk mempertanggungjawabkan apa yang telah dilakukan selama hidup di dunia. Allah berfirman:

﴿كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ ثُمَّ إِلَيْنَا تُرْجَعُونَ۝﴾

Artinya: “Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. Kemudian hanyalah kepada Kami kamu dikembalikan,” (QS Al ‘Ankabut: 57).

Bagi orang mukmin, kematian bukan suatu perkara yang harus dibenci ataupun dihindari. Namun, kematian adalah suatu perkara yang harus dipersiapkan “penyambutan”nya. Karena kematian adalah pintu gerbang pertama untuk berjumpa dengan Allah. Sementara pertemuan dengan Allah adalah perkara yang sangat dinantikan oleh setiap mukmin dan mukminah. Dalam hadits, Nabi ﷺ pernah menyampaikan:

عن عُبادة بن الصامت، عن النبي صلى الله عليه وآله وسلم قال: ((مَنْ أحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، أحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، ومَنْ كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، كَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ))، قَالَتْ عَائِشَةُ رضي الله عنها، أو بَعْضُ أَزْوَا,,جِهِ رضي الله عنهن: إنَّا لنَكْرَهُ الموتَ، قَالَ: ((لَيْسَ ذَاكِ، وَلَكِنَّ المؤمِنَ إذَا حَضَرَهُ الموتُ بُشِّرَ برِضوانِ اللهِ وَكَرَامتِهِ، فَلَيْسَ شَيءٌ أحَبَّ إلَيْهِ مِمَّا أمَامَهُ، فَأحَبَّ لِقَاءَ اللهِ، وَأَحَبَّ اللهُ لِقَاءَهُ، وإنَّ الكافِرَ إذَا حُضِرَ بُشِّرَ بِعَذَابِ اللهِ وَعُقُوبَتِهِ، فَلَيْسَ شَيءٌ أكرَهَ إليْهِ مِمَّا أمَامَهُ، كَرِهَ لِقَاءَ اللهِ، وَكَرِهَ اللهُ لِقَاءَهُ(( -رواه البخاري ومسلم-

Artinya: Dari Ubadah bin Shamit, dari Nabi beliau telah bersabda: “Barang siapa yang cinta pertemuan dengan Allah niscaya Allah cinta pertemuan dengannya, dan barang siapa yang benci pertemuan dengan Allah maka Allah juga benci pertemuan dengannya.” Ibunda ‘Aisyah atau salah satu dari istri-istri Nabi –semoga Allah meridhai semuanya—berkata, “Sesungguhnya kita semua benci kematian.” Beliau bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi seorang mukmin jika kematian mendatanginya maka dirinya akan diberikan kabar gembira dengan keridhaan dan kemuliaan dari Allah, maka tidak ada sesuatu yang lebih ia cintai dari apa yang telah dijanjikan di depannya, maka dirinya pun mencintai pertemuan dengan Allah dan Allah pun cinta pertemuan dengannya. Dan sesungguhnya seorang kafir apabila datang kepadanya kematian, maka akan diberikan kabar gembira berupa siksaan dan sanksi hukuman dari Allah . Maka tidak ada sesuatu yang lebih ia benci daripada apa yang sudah dijanjikan untuknya, maka ia pun membenci pertemuan dengan Allah dan Allah pun benci pertemuan dengannya,” (HR Bukhori dan Muslim).

Dari hadits ini, seorang mukmin haruslah berupaya fokus untuk mempersiapkan sebab-sebab kematian yang dicintai dan diridhai oleh Allah. Pertanyaan besarnya kapan kita harus mempersiapkannya dan bagaimana? Jawabannya adalah saat ini juga ketika masih diberikan kesempatan hidup oleh Allah dan memperbaiki segala keburukan di masa lalu. Mengingat penutup amal saat kematian tiba sangat tergantung dengan ketetapan-ketetapan amal sebelumnya.

Peristiwa kematian yang disaksikan oleh Imam Abdul ‘Aziz bin Rowwad menjadi pelajaran penting bagi seluruh manusia bahwa akhir kehidupan di dunia ini ditentukan oleh apa yang menjadi kebiasaan hidupnya. Jangan pernah meremehkan setiap kebiasaan buruk ataupun maksiat yang berulang. Karena tumpukan dan kerak dosa maksiat itulah yang membuat seseorang kesulitan mendapatkan husnul khatimah (kematian yang baik). Para ulama mengambil kesimpulan terkait dengan penutup amal:

الخَوَاتِيْمُ مِيْرَاثُ السَّوَابِقُ

Artinya: “Seluruh penutup amal adalah warisan dari amalan-amalan sebelumnya.”

Baca Juga

Semua amal telah ditetapkan oleh Allah dalam kitab-Nya (Lauh Mahfudz). Dari sinilah para ulama salaf sangat takut dan khawatir tentang apa yang terjadi pada diri mereka di akhir hayat. Banyak dari mereka yang menangis karena sangat takut dan khawatir kalau akhir dari hayatnya adalah su’ul khotimah—kematian yang buruk.

Hati orang-orang yang senantiasa berbakti kepada Allah (Al-Abraar) selalu memikirkan dengan apa akhir hayatnya akan ditutup. Sementara hati orang-orang muqorrobin (orang-orang yang senantiasa mendekat kepada Allah) selalu berpikir tentang apa yang telah ditetapkan untuk mereka di akhir hayatnya.

Sufyan al-Tsauri –رحمه الله- suatu ketika pernah mengalami gundah dan gelisah karena memikirkan tentang apa yang telah ditetapkan untuknya dan apa yang menjadi penutup bagi dirinya sehingga beliau menangis dan berkata, “Sungguh aku takut kalau aku telah ditetapkan dalam Ummul Kitab (Kitab induk amalan) sebagai orang yang celaka dan aku takut kalau aku kehilangan iman di saat kematian.”

Malik bin Dinar –رحمه الله- pernah berdiri tegak sepanjang malamnya sembari memegang jenggot beliau dan berkata: “Wahai Rabbku, sungguh Engkau telah mengetahui siapa penduduk surga dan siapa penduduk neraka, lalu di tempat manakah tempat kembali bagi Malik?”

Dalam kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim dari periwayatan sahabat yang mulia Sahl bin Sa’ad—semoga Allah merihainya—beliau pernah berkisah bahwa suatu ketika Nabi Muhammad ﷺ berperang melawan orang-orang musyrik, ada seseorang di antara pasukan kaum muslimin yang maju gagah berani menerjang pasukan musuh. Orang tersebut tidak meninggalkan celah dalam peperangan melainkan dia berhasil menaklukkan tentara pasukan musyrik.

Keberaniannya membuat kagum seluruh pasukan kaum muslimin hingga mereka berkata, “Sungguh tidak ada hari ini yang pahalanya mengungguli si fulan karena keberanian dan ketangguhannya melawan musuh.” Namun hal mengejutkan terjadi, saat itu justru Nabi ﷺ bersabda: “Orang tersebut termasuk menjadi penduduk neraka.” Lalu salah seorang sahabat mengikuti orang pemberani tadi. Dia mendapatkannya dalam kondisi terluka parah. Dia tidak bersabar atas luka yang diderita. Dia pun akhirnya bunuh diri dengan meletakkan ujung pedangnya ke dada. Gagangnya ada di atas tanah. Akhirnya dia jatuhkan badannya sehingga ujung pedangnya menembus tubuhnya.

Kejadian tersebut disaksikan oleh seorang sahabat yang mengikutinya. Bergegaslah orang itu menemui Rasulullah ﷺ. Dia pun langsung berucap, “Aku bersaksi bahwa engkau adalah Rasulullah ﷺ!” Lalu ia pun menceritakan apa yang dia lihat terkait sosok pemberani di medan tempur tersebut. Kemudian Rasulullah ﷺ bersabda:

((إِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ الْجَنَّةِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ النَّارِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَعْمَلُ عَمَلَ أَهْلِ النَّارِ فِيْمَا يَبْدُو لِلنَّاسِ وَهُوَ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ)) –رواه البخاري ومسلم-

Artinya: “Sesungguhnya seseorang melakukan amalan penduduk surga dalam pandangan manusia, namun sesungguhnya dia bagian dari penduduk neraka. Dan sesungguhnya seseorang melakukan amalan penduduk neraka dalam pandangan manusia, namun sejatinya dirinya bagian dari penduduk surga,” (HR Bukhari dan Muslim).

Inilah pelajaran besar dan penting bagi kaum beriman, agar jangan mudah tertipu dengan amalan zhahirnya. Amalan batin yang tidak nampak oleh sorotan pandangan manusia ternyata memiliki pengaruh besar dalam penutup amal.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali –رحمه الله-berkata, “Sabda Nabi yang menyebutkan bahwa amalan yang nampak dalam pandangan manusia memberikan sebuah isyarat tentang amalan batin yang tidak nampak ternyata berbeda dengan zhahirnya. Sesungguhnya buruknya penutup amal disebabkan oleh perilaku buruk seorang hamba yang tidak nampak dalam pandangan manusia. Boleh jadi dari sisi amalan rahasia yang disembunyikan atau sejenisnya inilah yang mengakibatkan su’ul khatimah ketika kematian. Begitu pula sebaliknya, boleh jadi seseorang melakukan amalan penduduk neraka, namun di dalam dirinya ada perkara kebaikan atau amalan kebaikan tersembunyi sehingga amalan kebaikan yang tersembunyi itu mendominasi dalam dirinya. Dengan sebab itulah seseorang mendapatkan husnul khatimah saat kematian.”

Sudahkah kita memiliki amalan kebaikan yang dirahasiakan? Semoga Allah ﷻ menganugerahkan kepada kita amal shalih dalam kondisi tersembunyi maupun dalam kondisi di keramaian. Sebagaimana kita juga mengharap dan memohon kepada Allah ﷻ untuk mendapatkan husnul khatimah, akhir penutup amal yang baik dan diridhai oleh-Nya. Aamiin. والله أعلم بالصواب.

Sumber: Imam Ibnu Rajab al-Hanbali, Jaami’ al ‘Ulum wa al Hikam (Kairo: Daar al ‘Aqidah, cetakan I, tahun 1422 H)

Baca Juga