Lima Pria yang Ditembak di Bali itu Siapa?

-Foto: Ilustrasi-

Jakarta (salam-online.com): Peristiwa penggerebekan di Hotel Laksmi dan Jalan Gunung Soputan, Denpasar, Bali, Ahad malam (19/3/12) menyimpan pertanyaan. Jika Polda Bali melalui Kabid Humas Kombes Pol Hariyadi dengan yakin menyebut lima pria yang ditembak mati itu adalah perampok yang sudah diintai selama 1 tahun, lain lagi pernyataan Mabes Polri  dan Kepala BNPT Ansyaad Mbai.

Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Saud Usman Nasution dalam keterangan persnya (20/3/12) menyebut adanya bukti-bukti berupa buku-buku jihad dan denah rencana aksi. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai lebih yakin lagi menyebut para pelaku punya kaitan dengan Jamaah Anshorut Tauhid (JAT) yang didirikan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir–sesuatu yang sudah sering dibantah oleh pimpinan JAT. Tapi Ansyaad tetap keukeuh dan dengan pede-nya mengaitkan itu yang, dalam hal ini, menurutnya, punya mata rantai dengan kasus perampokan CIMB Niaga, Medan, Agustus 2010 silam.

Kelima pelaku disebut-sebut akan melakukan perampokan di toko emas dan money changer di Bali. Ceritanya, hasil rampokan itu akan digunakan untuk mendanai peledakan sebuah cafe di kawasan wisata pulau ini. Tak jelas. Karena sampai saat ini serba samar jika tak mau disebut tertutup.

“Jadi begini, memang ini kan terus berkembang, baik dari sisi alat bukti di TKP, kemudian fakta-fakta lain yang berkaitan, siapa ini sebenarnya…,” kata Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (21/3/12).

Jadi, siapa sebenarnya 5 pria yang ditembak di Bali itu? Apa benar mereka teroris versi polisi dan BNPT? Sampai sekarang masih simpang siur. Apalagi kemudian muncul kabar, sebelum digerebek para pelaku memesan perempuan (PSK), sebagaimana kesaksian petugas hotel dan seseorang yang mengantar beberapa PSK itu menuju kamar hotel.

Kesaksian (mem-booking perempuan) itulah yang membuat Pengamat Terorisme Al Chaidar tak yakin  5 pelaku yang ditembak mati ini adalah kelompok “teroris”. Bagi Al Chaidar, adalah hal yang mustahil, Mujahidin yang biasa mendapat label “teroris” itu memesan PSK. Dalam penelitiannya tentang terorisme, soal main perempuan itu tak ada dalam kamus “teroris”. Karenanya,  Al Chaidar yakin mereka adalah para pelaku kriminal yang tak ada kaitannya dengan aksi jihad.

Seakan ingin meyakinkan bahwa lima pria yang ditembak mati itu benar-benar “teroris”, Mabes Polri melalui Kadiv Humas Saud Nasution, membantah ada cerita tentang beberapa perempuan bookingan yang dipesan para pelaku. “Jangan dikarang-karang, gak ada itu,” bantah Saud.

Baca Juga

Betul, memang, jika para pelaku memesan perempuan sebelum melakukan aksinya, maka publik, khususnya kalangan Islam, bisa tak percaya bahwa mereka yang ditembak mati ini adalah “teroris”. “Iya, masak ‘teroris’ yang dikaitkan dengan keinginan menegakkan Islam, pesan perempuan,  itu gak logis!” kata seorang perempuan muda, aktivis Islam.

Masih belum jelasnya, siapa sebenarnya mereka yang digerebek dan ditembak mati itu, wajar saja memunculkan dugaan-dugaan yang dikaitkan dengan situasi politik dan ekonomi di republik ini. Tertutupnya pihak aparat dan tiadanya kejelasan siapa sebenarnya kelompok yang ditembak di Bali itu, di satu sisi sebagian masyarakat tak peduli–karena tak yakin mereka adalah ‘teroris’ yang sebenarnya. Di sisi lain, sebagian publik bertanya-tanya dan berharap polisi terbuka dan jujur siapa sebenarnya mereka.

Jangan sampai publik akhirnya makin yakin bahwa cerita penyergapan dan penembakan hingga mati 5 pria di Bali itu hanyalah sekadar pengalihan isu sehubungan dengan akan naiknya BBM mulai 1 April mendatang. Rencana kenaikan BBM yang mengundang unjuk rasa di mana-mana, memang kebijakan yang tak popular.   Tapi, ingin menutupi berita-berita  demo dan policy  yang tak popular itu dengan cara mengangkat isu “terorisme” sekarang sudah tak laku lagi.

Publik sudah bosan dan jenuh dengan berita “terorisme”. Artinya, sebagaimana diungkapkan seorang staf pengajar Ilmu Komunikasi sebuah universitas swasta di Jakarta, pengungkapan kasus “terorisme”–apalagi dalam rangka pengalihan isu–itu akan membuat publik muak. Lihat di jejaring sosial macam Face Book dan Twitter, juga milis-milis, rata-rata berpendapat seragam bahwa penyergapan di Bali hanyalah sekadar pengalihan isu–di tengah gonjang-ganjing politik dan ekonomi yang tak kondusif bagi pemerintahan SBY.

“Yang namanya pengalihan isu–apalagi isu ‘terorisme’–dengan mudah bisa kebaca publik. Isu ‘terorisme’ saat ini boleh dibilang sudah mengalami puncak titik jenuh. Itu bukan berarti publik merekomendasi untuk mencari isu lain yang seksi dalam rangka pengalihan isu. Pendek kata, publik tak suka dengan pengalihan isu, isu apapun itu. Sebab, yang namanya pengalihan isu, biasanya lebih banyak unsur dustanya, sudah pasti rekayasanya!”  ujar dosen mata kuliah Public Opinion ini.

Jadi? “Aparat dituntut bekerja profesional, jujur dan transparan. Jangan mau ditumpangi kepentingan tertentu yang sebenarnya merugikan dan mengorbankan pihak lain yang tak bersalah,” tutupnya.

Keterangan Foto: Kapolri Jenderal Pol Timur Pradopo (SINDO).

Baca Juga