Miskin Calon Pemimpin: Belajar dari Kegagalan Fauzi Bowo dan SBY

Jakarta (salam-online.com):  Memprihatinkan. Mengkhawatirkan. Dua kata ini pas untuk menunjukkan betapa mirisnya melihat bursa kandidat pemimpin bangsa ini—baik di tingkat pemilihan gubernur, walikota, bupati maupun di level nasional.

Memprihatinkan, karena tak ada kandidat yang meyakinkan memiliki kemampuan memimpin dan menyejahterakan yang dipimpinnya. Mengkhawatirkan, lantaran  pemimpin yang jelas-jelas sudah gagal dalam memimpin, tapi kembali dicalonkan.

Contoh kasus dalam hal ini adalah Pemilu Kada DKI Jakarta 11 Juli mendatang. Aneh tapi nyata, Gubernur DKI saat ini, Fauzi Bowo, kembali jadi calon. Wadah tempat Bowo dicalonkan adalah Partai Demokrat. Publik sudah sama-sama tahu, bahwa Bowo yang saat kampanye Pilkada DKI tahun 2007 mengusung tema kampanye “Serahkan kepada Ahlinya” dalam perjalanan memimpin Jakarta ternyata ‘babak belur’—lantaran tak sesuai dengan slogan yang dia buat.

Tak ada konsep Bowo yang sukses sehubungan dengan “Serahkan kepada Ahlinya”. Justru cibiran sinis diterima Fauzi Bowo, karena dua masalah yang dijanjikan akan tuntas ditangani Bowo tak jua kunjung beres. Macet dan banjir makin tak terbendung. “Serahkan kepada Ahlinya”, nyata-nyata tak ada apa-apanya. Ia hanya slogan kosong, tak punya nilai apa-apa. Dalam perjalanannya Bowo terkesan tak memiliki Visi dan Konsep.

Macet dan banjir di Jakarta tetap tak bisa diatasi. Tak hanya dua problem itu. Program lainnya, misalnya Perda Larangan Merokok di ranah publik, juga tak jalan. Di perkantoran, mall, halte, stasiun, mobil angkutan umum, dan tempat-tempat umum lainnya, orang tetap merokok, mengotori lingkungan dan mengganggu orang lain di sekitarnya. Proyek ini nyata-nyata gagal total!

Dalam beberapa tahun terakhir, di setiap bulan Ramadhan, Pemerintah DKI bilang, bahwa mulai Ramadhan ini Jakarta bebas dari gelandangan dan pengemis. Nyatanya, itu cuma omong doang alias omdo!   Faktanya gelandangan dan pengemis bahkan di bulan Ramadhan tambah ramai dan berlanjut pasca Ramadhan. Tak ada yang sesuai antara ucapan dan perbuatan. Parah.

Dalam hal mengatasi kemacetan, sudah berapa kali Pemda dan Dinas Perhubungan DKI menyatakan akan segera menutup sejumlah putaran yang menyebabkan kemacetan, misalnya putaran di kawasan Pasar Minggu. Tapi, itu hanya omdo! Faktanya, itu tak ada actionnya. Tak ada upaya yang jelas dalam mengatasi kemacetan seperti halnya tidak ada konsep yang tokcer untuk membendung banjir.

Baca Juga

Jadi, dari gubernur sampai pejabat-pejabat di bawahnya, apa saja sebenarnya yang mereka kerjakan untuk melayani kepentingan rakyat, memberikan kenyamanan, rasa aman dan sejahtera? Ini terpulang ke pemimpin puncaknya, gubernur. Jika Fauzi Bowo berhasil menuntaskan dua saja permasalahan, macet dan banjir, dalam masa 5 tahun kepemimpinnya—saat mana pada masa kampanye Pilkada DKI tahun 2007 dia menjual tagline “Serahkan kepada Ahlinya”—sesuai dengan janjinya, itu sudah cukup. Tapi nyatanya, itu jauh panggang dari api. Tak ada greget selama Bowo memimpin Jakarta.

Tapi, sungguh memprihatinkan, Bowo kembali dicalonkan. Padahal, logikanya orang yang kembali dicalonkan, itu lantaran dia sukses. Nah, apa kesuksesan yang ditelurkan Bowo? Yang kita dengar publik Jakarta umumnya  jengkel dengan sosok yang satu ini. Kritikan dan cemoohan kerap kita dengar. Partai-partai politik yang mencalonkan kembali Bowo sama sekali “menulikan” telinga dan “membutakan” matanya  akan kenyataan bahwa sesungguhnya publik sudah jenuh dan bosan melihat kepemimpinan Fauzi Bowo yang ternyata tak memiliki Visi, Konsep, Program yang jelas dan clear!

Lantas, bagaimana kandidat lainnya? Kita belum tahu, siapa, apa dan bagaimana Visi, Konsep dan Program mereka. Apakah mereka benar-benar sosok yang akseptabel (diterima) publik, kapabel (memiliki kemampuan) dan Kridibel? Tapi, ketimbang mencalonkan kembali Fauzi Bowo yang kita sudah sama-sama tahu pola dan polah kerjanya, dan terbukti gagal dengan tagline “serahkan kepada ahlinya, lebih baik DKI Jakarta memberi kesempatan dan menghadirkan pemimpin yang baru.

Itu kasus kepemimpinan di DKI Jakarta.  Bagaimana di level nasional? Kita sudah sama-sama tahu. Presiden SBY dinilai gagal. Korupsi yang dia janjikan akan diperangi. Bahkan dia bertekad untuk berjihad melawan korupsi, sebagaimana Gubernur DKI Fauzi Bowo, juga hanya mimpi dan slogan kosong. Bahkan justru di partai SBY sendiri korupsi melanda. Slogan “Katakan tidak!” pada korupsi di partainya saat kampanye pemilu 2009 lalu, menjadi bumerang.  Itu hanya satu contoh.

Maka, berkaca dari pengalaman, dalam memilih pemimpin yang akan datang, termasuk untuk Jakarta, jangan sampai kita terjebak lagi seperti beli kucing dalam karung! Jika memang tak ada yang layak, buat apa memilih? Jika kita tak memilih karena tak ada yang layak, anggap saja itu sebagai hukuman mereka yang mencalonkan dan yang dicalonkan! Agar orang jangan seenaknya saja ingin jadi pemimpin, padahal tak memenuhi syarat.

Akhirnya, kita ingin yang tampil dan ditampilkan adalah mereka yang benar-benar memenuhi syarat dan kriteria. Yang merasa tak memenuhi syarat, lebih baik tahu diri dan minggir! Terlebih lagi yang sudah pernah memimpin, tapi gagal!  Apa tak malu, jika maju lagi? Ataukah rakyat selalu digiring dan dikerahkan  untuk memilih sosok yang sesungguhnya tak layak?

 

Baca Juga