Bencana, Perubahan dan Generasi Baru

Jakarta (salam-online.com): Panik dan takut seperti merata di mana-mana. Sumatera dan Aceh khususnya, kembali dilanda gempa berkekuatan 8,9 SR, 8,5  SR, 8,3 SR, 8,1 SR, 6,1 SR, Rabu sore (11/4/2012).  Gempa disusul tsunami kurang dari satu meter. Warga berbondong-bondong menuju bukit, tempat yang lebih tinggi. Gempa susulan terjadi tak kurang dari 10 kali, dengan kekuatan berkisar  8,3 SR, 8,1 SR dan 6,1 SR.

Tak hanya Aceh yang digoyang. Wilayah Sumut, Sumbar, Bengkulu, Lampung, juga menggempa. Hingga tulisan ini dibuat sekitar pukul 20.00 WIB, belum ada kabar korban. Durasi gempa yang lamanya berkisar 1 menit itu, jelas membuat trauma rakyat Aceh—yang pernah mengalami gempa tsunami pada Ahad,  26 Desember 2004.

Malaysia, Thailand, Srilanka, India, Australia, Emirat Arab pun mengirim pesan peringatan tsunami. Gempa di kawasan Samudera Hindia yang berpusat di Aceh ini, tak pelak—untuk sementara—menutup pemberitaan hiruk pikuk politik. Stasiun berita, radio, dan media online, langsung mengupdate berita gempa dari menit ke menit, waktu ke waktu.

Di tengah kondisi akut dan carut marut, dan situasi politik, ekonomi, sosial, dan lainnya sedang tak ‘ramah’ seperti ini,  bencana demi bencana terus menimpa Indonesia. Mungkin, apa yang disampaikan Simak bin Harb, yang mengutip Abdurrahman Ibnu Abdillah Ibnu Mas’ud, dapat jadi bahan renungan kita. Katanya, “Jika zina dan riba telah tersebar luas di suatu negeri, maka Allah mengizinkan kehancuran negeri tersebut.”

Zina, seks bebas, dan aktivitas ekonomi ribawi, telah menyelimuti kehidupan sebagian besar orang di negeri ini. Pertama, zina (seks bebas). Makin banyak orang yang bangga dengan kehidupan seks bebas. Hamil, meski tanpa diikat dengan tali pernikahan, diekspos berulang kali. Hidup seatap alias kumpul kebo dianggap lazim. Tempat-tempat prostitusi dan rumah-rumah pelacuran kian banyak. Para pelacur melacurkan dirinya dengan dalih ekonomi. Celakanya, para birokrat dan aparat serta sebagian besar media republik ini menyebutnya sebagai PSK (Pekerja Seks Komersial). Amboi, santunnya! Padahal, dari dulu juga, itu namanya Pelacur! Jadi, sebut saja “Pelacur!”—bukan PSK.

Kedua, kecintaan terhadap dunia, makin membuat banyak orang menjalani hidup ini dengan cara haram. Sebagian besar anak bangsa ini menjalankan roda bisnis keluar dari koridor syariah. Menjalani bisnis  dengan melibatkan rentenir dan bank yang tak berlandaskan syariah. Bisnis kehilangan barokah, lantaran terkait dengan pinjam-meminjam dengan bunga (bank). Duhai, betapa banyaknya keluarga yang perutnya diisi dari hasil bisnis haram,  praktik riba dan hasil bunga bank.

Sesungguhnya, murtadnya segelintir kaum Muslimin dari keyakinannya, juga lantaran kedua faktor di atas: urusan perut dan yang di bawah perut. Lantas, harus bagaimana? Kita harus berubah. Kita harus mau mengubah diri dan keadaan. Jika ada manusia yang tak ingin berubah, sesungguhnya ia telah mati sebelum dikubur. Nyatanya banyak manusia yang tak ingin berubah. Statis dan jumud. Kalaupun dikatakan berubah,  ke arah mana perubahan itu?

Jika ada anak manusia yang berubah dari semula baik menjadi buruk, sesungguhnya itu berlawanan dengan fitrahnya sebagai manusia. Jika ada orang mati-matian bertahan dalam keburukan, tak mau mengakui kekeliruan, tak ingin pembaruan, inilah manusia-manusia celaka. Rasulullah saw menyatakan, mereka yang hari ini hidupnya lebih baik daripada kemarin, beruntung. Mereka yang hidupnya hari ini sama dengan kemarin, merugi. Mereka yang hidupnya lebih buruk daripada kemarin, celaka!

Baca Juga

Prof Dr Yusuf Qaradhawi dalam Min Ajli Shahwatin Raasyidah Tujaddiduddiin…wa Tanhadhu bid-Dunya, menyatakan, masyarakat Islam akan menghadapi marabahaya dan bala bencana, disebabkan dua hal. Pertama, jika yang disebut perubahan, perkembangan dan pergerakan jadi jumud (beku). “Kehidupan menjadi mandul seperti genangan air yang membusuk dan menyebabkan tersemainya bakteri dan mikroba,” tulis Qaradhawi. Kreativitas keilmuan berhenti dan moral diabaikan, membuat kehidupan menjadi jumud.

Kedua, tunduk pada perkembangan dan perubahan yang stabil dan langgeng, sebagaimana kita saksikan saat ini. Di kalangan pemuda Muslim, kata Qaradhawi, ada yang melepaskan umat dari keislamannya dan menjauhkan mereka dari warisan masa lalu atas nama ‘perkembangan’. Mereka ingin membuka pintu ateisme ke dalam akidah dan melepaskan diri dari syariat.  Mereka ingin mengembangkan ad-din dan ideologi sendiri, agar sesuai dengan keinginan mereka, sesuai pula dengan Timur dan Barat.

Keduanya, seperti diungkap Syekh Qaradhawi di atas, pada hakikatnya bukanlah perubahan dalam arti sesungguhnya. Perubahan yang kita maksud adalah dari yang buruk menjadi baik. Yang terjadi saat ini, bukannya berubah, tapi mundur (ke belakang).

Mengapa banyak orang yang tak mau berubah? Padahal agen-agen perubah saat ini tak sedikit. Ada ungkapan, “Yughayyir walaa yataghayyar.” Artinya, “mengubah tapi tak berubah”. Banyak sudah dai, mubaligh, ustadz, kiai, pendidik, profesional, yang mengingatkan dan mengajak ke Jalan Allah dan bekerja dengan amanah. Mereka ingin mengubah keadaan buruk. Dari yang  bekerja asal-asalan, maksiat, mungkar dan batil, berubah menjadi ma’ruf, baik dan profesional.

Tapi…, ini harus jadi renungan kita: mengapa banyak nasihat sekadar numpang lewat? Masih lumayan kalau masuk telinga kanan  keluar telinga kiri, tapi jika sama sekali tak pernah masuk? Apanya yang salah? Metode atau kemasan dakwahnya? Atau tiadanya teladan dari dai? Atau pula kurangnya keikhlasan dari sang penyampai?

Jika republik ini terus bertahan tanpa perubahan menuju yang baik, meski sudah mendapat banyak teguran dan peringatan dari sang Khaliq berupa bencana, maka Allah punya cara sendiri untuk mengubah keadaan. Pada saatnya, jika kita tetap bebal dan pekak, kelak Allah akan menggantikan generasi ini dengan generasi baru.

Hai orang-orang yang beriman, barang siapa di antara kamu yang berpaling dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan mereka pun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad di jalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (QS al-Maaidah: 54).

Baca Juga