3 TKI Dibunuh Polisi Malaysia, Negara Kembali Gagal Lindungi Warganya!

JAKARTA (salam-online.com): Ini bagaimana ceritanya… Sebagaimana keterangan keluarga dan Migrant Care, sehari sebelumnya (26/4/2012) diberitakan, hasil otopsi terhadap jenazah Herman, TKI asal Lombok, NTB, yang dilakukan tim dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda NTB mendapatkan sejumlah organ tubuh salah seorang TKI yang dibunuh polisi Malaysia ini, hilang. Organ tubuh yang hilang adalah mata, otak, jantung dan ginjal.

Eh, esoknya, Jumat (27/4/2012) Polri dan Kemenlu mengumumkan bahwa organ tubuh ketiga TKI yang diberondong 5 polisi Malaysia pada 24 Maret 2012 lalu itu tak ada yang hilang alias lengkap. Otopsi ulang terhadap tiga jenazah Tenaga Kerja Indonesia asal Nusa Tenggara Barat yang tewas di Malaysia seluruhnya telah rampung dilaksanakan, Jumat 27 April 2012. Hasilnya, Mabes Polri bersama Kementerian Luar Negeri mengumumkan: organ tubuh ketiga TKI dalam kondisi lengkap.

“Seluruh organ vital—tubuh, otak, mata, jantung, hati, ginjal, dan lain-lain –dalam keadaan lengkap. Semua jahitan pada jenazah adalah luka irisan dari dokter otopsi untuk melihat kelainan pada jenazah,” kata Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri, Brigjen Pol. Musaddeq Ishaq, dalam konferensi pers bersama Polri dan Kemlu di kantor Kemlu, Jakarta, Jumat sore (27/42012).

Sayangnya, Kabid Humas Polda NTB AKBP Sukarman Husein menolak memberi keterangan perihal hasil otopsi tim dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda NTB. Alasannya, akan ada otopsi lanjutan esok, Jumat (27/4/2012).

Kenapa mereka dibunuh?
“Malaysia telah menjelaskan, berdasarkan laporan warga setempat, ketiga TKI akan merampok. Penembakan (oleh polisi Malaysia) merupakan pembelaan diri karena ada penyerangan,” ungkap Menlu Marty Natalegawa. Namun, imbuhnya, penjelasan itu tentu masih harus diverifikasi kebenarannya sehingga Kepolisian Diraja Malaysia pun telah membentuk tim investigasi di sana.

Dalam penelusurannya ke Malaysia, Direktur Badan Pengamanan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BPNP2TKI), Brigjen Pol Bambang Purwanto menyampaikan keterangan di lapangan mengarah pada fakta bahwa ketiga TKI asal NTB itu ditembak secara keji oleh lima polisi Malaysia.

Hal ini disampaikan Bambang di Jakarta, Jumat (27/4/2012) terkait kematian tiga TKI yang terhitung sadis, yakni Herman (34) dan Abdul Kadir (25) asal Dusun Pancor Kopong, Desa Pringgasela Selatan, Pringgasela, Lombok Timur, serta Mad Noor (28) yang beralamat di Dusun Gubuk Timur, Desa Pengadangan, Pringgasela, Lombok Timur.

Untuk menelusuri prosedur penembakan TKI yang tidak wajar itu, Bambang sempat mendatangi kepolisian di Malaysia dan mendapatkan keterangan bahwa pihak berwenang Malaysia akan segera mengeluarkan pernyataan mengenai hal itu meskipun waktu persisnya tidak disampaikan.

Penembakan ketiga TKI terjadi di area Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia, pada 24 Maret 2012 sekitar pukul 05.00 waktu setempat. Jasad para TKI lantas dibawa ke Rumah Sakit Port Dickson, tetapi tidak langsung dilakukan tindakan otopsi karena ketiadaan data diri. Otopsi baru dilakukan pada 26 dan 27 Maret 2012 setelah ada penyataan oleh Wildan selaku keluarga dekat para korban, di samping penegasan seorang majikan bernama Lim Kok Wee, yang juga mengenal Abdul Kadir sebagai pekerjanya. Keduanya bertandang ke rumah sakit dengan diantar  polisi pada 25 Maret 2012.

Otopsi pertama dilakukan pada 26 Maret terhadap dua jenazah, yaitu Abdul Kadir Jaelani dan Herman. Jasad Abdul Kadir ditangani dokter Mohd Khairul Izzati Omar, sedangkan dokter Muhammad Huzaifah Rahim mengotopsi jasad Herman. Selanjutnya, keesokan harinya, giliran jasad Mad Noor yang diotopsi dokter Safooraf. “Hasil otopsi menyimpulkan, mereka tewas oleh tembakan berkali-kali di bagian kepala atau tubuh korban,” kata Bambang.

Dari kejadian awal saja sudah janggal. Pembantaian atas 3 TKI itu terjadi pada 24 maret 2012, lalu diotopsi oleh pihak Malaysia pada 26 dan 27 Maret 2012, dan baru diproses pemulangannya ke pihak keluarga tanggal 5 April. Lama sekali!

Beda
Keterangan yang dikemukakan oleh Mabes Polri dan Kementerian Luar Negeri berbeda dengan informasi yang didapat analis politik Migrant Care, Wahyu Susilo, dari pendamping keluarga ketiga TKI. Informasi yang ia peroleh justru menyebutkan, ada organ tubuh TKI yang hilang.

“Kedua mata hilang, kepala terbelah-belah. Ditemukan plastik di kepala, dan beberapa alat operasi tertinggal dalam tubuh,” kata Wahyu, Kamis (26/4/ 2012). Sehari sesudahnya, Jumat (27/4/ 2012), keluarga Mad Noor, TKI terakhir yang diotopsi ulang, syok usai menyaksikan proses otopsi.

“Mereka hanya mengatakan ada jahitan di tubuh Mad Noor,” kata Saleh, salah satu pendamping keluarga ketiga TKI dari tim advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat Koslata. Menurutnya, keluarga dan pendamping berencana membuat informasi pembanding mengenai hasil otopsi berdasarkan hasil penglihatan keluarga.

“Misalnya otopsi di tubuh TKI Herman Kamis kemarin ditemukan ada pinset. Selain itu ada kresek di otak Herman. Kalau pemerintah tidak mengungkap ini, kami yang akan menginformasikan kepada publik,” tegas Saleh. Namun ia mengakui, keterangan pihak keluarga ini tidak bisa dijadikan pegangan medis.

Terkait hal tersebut Mabes Polri menjelaskan, apabila disebut ada benda lain di dalam kepala korban, atau jika dinyatakan ada organ tubuh yang hilang, itu tak lain merupakan bagian dari proses otopsi. “Pelaksanaan otopsi oleh dokter forensik di seluruh dunia itu sama. Ketika otopsi, semua organ tubuh harus dikeluarkan. Tapi ketika otopsi selesai, organ itu kami kembalikan,” kata Kepala Pusat Kedokteran dan Kesehatan Mabes Polri, Brigjen Pol. Musaddeq Ishaq.

Musaddeq melanjutkan, saat mengembalikan organ ke posisi semula, tim forensik menambahkan beberapa benda agar organ-organ itu terlihat lebih tertata. “Demi menjaga kosmetika, kami tambahkan kapas atau apapun agar terlihat rapi. Jadi kami kembalikan jenazah dengan rapi,” terang Musaddeq.

Rumah Sakit Port Dickson, Negeri Sembilan, Malaysia, telah lebih dulu mengotopsi ketiga jenazah TKI pada 26 2012. Otopsi diperlukan karena tiga TKI itu meninggal dengan cara tak wajar, yaitu ditembak. Usai diotopsi pihak Malaysia, tiga jenazah TKI dipulangkan ke Indonesia pada 6 April 2012. Banyaknya jahitan – yang menurut Malaysia dan Mabes Polri adalah hasil otopsi – itulah yang membuat kasus 3 TKI ini menyeruak ke publik.

Tapi bagaimana dengan hasil otopsi yang dilakukan tim dokter forensik Rumah Sakit Bhayangkara Polda NTB terhadap jenazah Herman sehari sebelumnya, Kamis (26/4/2012)? Menurut Migrant Care yang mengutip keterangan keluarga, hasil otopsi itu mendapatkan sejumlah organ tubuh salah seorang TKI yang dibunuh polisi Malaysia ini, hilang. Organ tubuh yang hilang adalah mata, otak, jantung dan ginjal. Jika memang benar, mengapa hasilnya berbeda dengan otopsi yang diumumkan Kemenlu dan Mabes Polri?

Terlepas dari ada atau tidaknya penjualan atau pengambilan organ tubuh ketiga TKI ini, yang jelas nyawa manusia Indonesia begitu murahnya di mata Malaysia. Dan, Indonesia tak berdaya alias kembali gagal melindungi warganya sendiri!

Baca Juga

Ini sudah untuk ke sekian kalinya pemerintah tak memiliki daya berhadapan dengan Malaysia, negara yang wilayahnya jauh lebih kecil dibanding Indonesia. Menurut Ketua DPR Marzuki Alie, Malaysia harus diberi pelajaran! Alih-alih pelajaran, pemimpin negeri ini, manakala warganya sudah jelas-jelas dizalimi dan dianiaya sampai mati di negeri orang, bersuara keras saja takut!

Sebelumnya, LSM perlindungan buruh migran Migrant Care dan Koslata Indonesia datang mengadu ke Kementerian Luar Negeri, Senin (23/4/2012) sore. Mereka mendampingi keluarga tiga TKI asal Nusa Tenggara Barat yang tewas di Malaysia dan dipulangkan dengan bekas jahitan yang mencurigakan. Keluarga korban mencurigai mereka adalah korban perdagangan organ tubuh.

Di sela pengaduan itu, Ketua Migrant Care, Anis Hidayah mengungkapkan bukan kali pertama TKI menjadi korban pencurian organ di luar negeri. Kasus paling terkenal adalah saat seorang TKI dipulangkan dalam keadaan tewas dan perut terjahit. Setelah diotopsi, perut korban diisi dengan kantong kresek. Ini terjadi pada1992.

Setelah itu, ada beberapa kasus TKI yang juga dipulangkan ke tanah air dengan jahitan yang mencurigakan, sedikitnya ada tiga kasus yang terjadi dalam dua tahun terakhir ini, menurut perwakilan Koslata, Mohammad Soleh. Baru setelah kasus tiga TKI asal NTB inilah, dugaan perdagangan organ mencuat ke publik.

Baru-baru ini kita mendengar tentang pemerintahan China yang akhirnya menghentikan mengambil organ tahanan karena dinilai tidak manusiawi. Tapi benarkah dugaan kasus itu terjadi pada TKI sendiri di negara orang lain? Pemerintah dan aparat Indonesia harus menginvestigasi hal ini.

Lantas,  bagaimana kondisi ratusan jenazah TKI lain yang tewas di luar negeri, khususnya Malaysia, yang memiliki catatan kasus kematian TKI paling banyak?
Pertanyaan itu disampaikan Anis Hidayah, Direktur Eksekutif Migrant Care, dalam diskusi “Pahlawan Devisa yang Tersia-sia” di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (27/4/2012). Anis mengatakan, rata-rata TKI yang tewas di Malaysia mencapai 700 orang per tahun. Masalah selama ini, kata dia, Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) cenderung menerima penjelasan Pemerintah Malaysia terkait penyebab kematian TKI tanpa melakukan penyelidikan. Jenazah juga langsung dikembalikan kepada keluarga tanpa pengecekan tubuh.

“Padahal, di undang-undang sudah jelas, pemerintah harus mengetahui kematian karena apa. Tidak semua TKI yang meninggal diketahui betul penyebab kematiannya. Kami selalu tegaskan pentingnya otopsi ulang untuk pastikan penyebab kematian dan ada tidaknya organ tubuh yang hilang,” kata Anis.

Contoh terakhir terkait kelalaian KBRI Malaysia terlihat dari kasus tewasnya tiga TKI asal NTB di Malaysia. Menurut Anis, KBRI tidak mengecek kondisi jenazah dan tidak mempertanyakan kematian ketiganya ketika disebut tewas ditembak lantaran terlibat perampokan. Padahal, kata dia, jika memang terlibat perampokan, seharusnya kasus itu diproses melalui jalur hukum.

“Yang mengurus pemulangan tiga jenazah itu perusahaan jasa pemakaman Malaysia, bukan KBRI. Keluarga juga harus membayar biaya pemulangan Rp 13 juta per jenazah,” ungkapnya.

Atas kasus kematian TKI selama ini, lanjut Anis, pemerintah daerah yang cenderung aktif mempermasalahkan warganya. Di beberapa kasus, pemda membentuk tim dan mempertanyakan kepada KBRI dan Kementerian Luar Negeri. “Tapi tidak ada respons,” katanya.

Parah! Nyawa manusia Indonesia sebanyak 700-an itu tidak  sedikit. Itu baru di Malaysia. Bagaimana di negara lainnya?

Kenapa kejadian demi kejadian yang terus berulang, tak jua menyadarkan pemerintah republik ini untuk bersikap dan bertindak tegas pada Malaysia? Tak hanya pada kasus TKI, tapi juga dalam hal perbatasan, kekayaan alam—bahkan kekayaan budaya—yang seenaknya dijarah dan dirampas Malaysia?

Dan, pemimpin negeri ini bisanya cuma bereaksi sedikit, setelah itu ciut—padahal rakyatnya sudah dibunuh, yang jika benar data dari Migrant Care, ada 700-an TKI pertahun yang tewas di Malaysia, ini tak bisa dianggap sepele!

Jika pemerintah dan pemimpin negeri ini tetap tak bertindak tegas, maka Malaysia tambah besar kepala! Karenanya, saatnya bersikap dan bertindak tegas! Jangan Nato—No Action Talk Only, kalau tak mau dibilang pengecut—karena memang tak ada yang perlu ditakuti dari negeri jiran ini!

Atau kalau memang masih punya harga diri dan rasa tanggung jawab, bikinlah program, ciptakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya dan tarik semua TKI di luar sana, untuk berkhidmat di negeri sendiri. Bukankah dalam konstitusi republik ini disebutkan adalah hak warganegara mendapatkan pekerjaan? Jika demikian adalah kewajiban pemerintah dan negara menciptakan lapangan pekerjaan bagi warganya!

Apalagi, ini parahnya, tenaga kerja wanita pun malang melintang di negeri orang. Apa kalian tak mau tahu, perempuan tanpa mahramnya dilarang berpergian–terlebih lagi bekerja jauh di negeri orang. Parahnya lagi, perempuan yang sudah bersuami pun menjadi TKW, sementara sang suami enak-enakan, tak bekerja–malah menerima kiriman uang dari sang istri yang menjadi TKW di negeri jauh.

Bagaimana negeri ini? Mana tanggung jawab pemerintah dan para pemimpinnya?

Foto: bbc-indonesia, ahmad subaidi/antara, dpd.go.id, ikhwan yanuar/vivanews

 

Baca Juga