Jakarta (salam-online.com): Bencana beruntun yang menimpa Indonesia—bencana politik, ekonomi, sosial, pendidikan, budaya—kini terus ditambah dengan bencana alam, banjir, tabrakan dan kecelakaan di mana-mana masih juga belum menyadarkan bangsa ini untuk kembali ke jalan Allah. Belum selesai kita mengatasi akibat satu bencana, bencana berikutnya melanda lagi. Seakan bangsa ini tak diberi kesempatan untuk ‘bernapas’ sejenak.
Bencana demi bencana terus datang menghampiri. Hari ini, Rabu sore (11/4/2012), Aceh kembali dilanda gempa besar: 8,9 SR, 85 SR, 8,3 SR, 8,1 SR. Gempa susulan tak kurang 10 kali gempa, disusul tsunami kecil kurang dari 1 meter terjadi, misalnya di Meulaboh. Masih juakah bangsa ini, terutama para pemimpinnya, tak mengambil pelajaran?
Di suatu daerah, di masa pemerintahan Khalifah Umar Ibnu Khaththab, pernah terjadi musibah gempa. Sang khalifah datang ke tempat bencana itu, lalu menanyakan kepada rakyatnya, “Dosa apakah yang kalian perbuat?” Pertanyaan Khalifah Umar ini menunjukkan, ada korelasi antara bencana dengan kemaksiatan. Shafiyah binti Ubaid meriwayatkan, bahwa pasca gempa, Umar menyatakan, “Kalian suka melakukan bid’ah yang tak ada dalam al-Qur’an, sunnah Rasul dan ijma (kesepakatan umum) para sahabat Nabi, sehingga kemurkaan dan siksa Allah turun lebih cepat,” (HR al-Baihaqi).
Coba renungkan, itu di zaman Khalifah Umar yang tingkat ketaatan rakyatnya terhadap Allah dan Rasul-Nya sangat jauh melebihi kita. Toh Umar tetap mengaitkan bencana dengan dosa dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Nah, mestinya, apalagi di masa kita sekarang, yang tingkat kesyirikan, kemaksiatan dan kemungkaran sudah sangat merajalela, seraya mencampakkan hukum-hukum Allah. Perlukah pertanyaan “Kemaksiatan apa yang telah kita lakukan?” kita lontarkan untuk umat dan bangsa ini?
Kalaupun pertanyaan itu kita ajukan, ia tak butuh jawaban kata, tapi tindakan. Perlu gerakan bersama untuk kembali ke jalan-Nya. Perlu sebuah kesadaran dan pertaubatan, yang dimulai dari pimpinan dan pengelola negara. Selama para pimpinan negeri ini tak peduli dengan kemaksiatan dan kemungkaran yang terjadi, atau bahkan mendukung dan mengikuti perilaku syirik dalam masyarakat, maka teguran Allah lewat bencana, akan terus menimpa. Selama kemaksiatan didiamkan—malah kelompok yang ingin memberantasnya ditangkap—berarti kita punya ‘masalah’ dengan Sang Khaliq.
Bayangkan, ketika Gunung Merapi ‘batuk-batuk’, yang namanya perbuatan klenik dan syirik tambah subur. Bukannya minta perlindungan kepada Allah, malah percaya kepada Nyai Ratu Kidul, yang dianggap sebagai penguasa Pantai Selatan. Maka, datanglah bencana yang lebih dahsyat lagi, berupa gempa. Masih juga belum sadar. Banyak rumah di sekitar Yogya dan Klaten yang memasang tanda tolak bala. Katanya, supaya si Ratu Kidul, tak lagi murka. Astaghfirullah.
Tak berapa lama, setelah gempa dan tsunami menggoyang Aceh (26/12/2004), penulis berkunjung ke Yogya. Supir taksi yang penulis tumpangi menyatakan bahwa Yogya tak kan kena bencana seperti gempa dan tsunami di Aceh, sebab Sri Sultan memiliki hubungan dekat dengan Nyai Ratu Kidul. Ketika Yogya dan sekitarnya diguncang gempa yang menyebabkan sekitar 6000 jiwa meninggal, sebagian besar masyarakat tak jua terbuka untuk kembali ‘hanya’ kepada Allah. Percaya dan takut kepada yang mereka sebut sebagai penguasa Pantai Selatan, malah kian bertambah. Kalau sudah begini, siapa yang salah?
Ketika tingkat keyakinan dan ketakutan sebagian rakyat terhadap yang namanya Ratu Kidul makin bertambah, jelas perbuatan syirik kian menggila, maka na’uudzubillahi min dzalik, jangan sampai bencana berikutnya datang lagi. Meski kita tak mampu menolak bencana akibat ‘teguran’ Allah atas kemusyrikan dan kemaksiatan yang dilakukan oleh manusia. Maka, ‘teguran’ itu pun berlanjut. Pantai Selatan Jawa mendapat giliran diguncang gempa dan tsunami. Korban jiwa kembali berjatuhan, di samping banyak yang hilang dan luka-luka. Gempa tak hanya menggoyang Pantai Selatan Jawa. Gempa di Selat Sunda berefek ke Lampung, Jakarta dan sekitarnya. Begitu pula NTT, Ambon, dan sejumlah daerah lainnya, gempa dan bencana lainnya terus mengintai.
Tapi, entah mengapa, sebagian besar anak bangsa ini makin tenggelam dalam lumpur kemusyrikan, kemaksiatan dan kemungkaran. Bukannya sadar, malah menambah masalah dengan menolak yang ma’ruf dan menyebarkan kemungkaran. Bukannya taubat, malah makin menantang dengan menolak hukum-hukum Allah. “Tidak akan turun bencana kecuali diundang oleh dosa. Dan tak akan dicabut suatu bencana, kecuali dengan taubat,” kata Ali bin Abi Thalib.
Jika penduduk negeri ini tak berhenti dari perilaku syirik dan perbuatan maksiatnya, maka itu sudah memenuhi syarat untuk menerima bencana demi bencana. Kita masih berharap, segala bencana, termasuk gempa besar yang saat ini baru saja terjadi, khususnya di Aceh, bukan azab. Jika azab, berlakulah firman Allah:
“Seandainya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa, niscaya Kami limpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (mengingkari ayat-ayat Kami) itu, maka Kami azab mereka disebabkan perbuatan mereka,” (QS al-A’raaf: 96).