Jakarta (salam-online.com): Menikah adalah ibadah. Dilakukan tanpa beban dan paksaan. Kedua mempelai melaksanakannya dengan penuh kebahagiaan dan keikhlasan. Wajah mempelai, keluarga dan sanak kerabat, ‘hadir’ dalam rona cerah. Semua yang hadir gembira. Tak ada yang sedih. Karenanya, kagembiraan dan kebahagiaan itu, patut diketahui orang banyak.
Sejatinya, pernikahan dalam Islam, memang, tak boleh ditutup-tutupi. Ia harus dipublikasikan. Segenap orang yang mengenal mempelai dan keluarganya, seyogianya tahu perihal pernikahan tersebut. Rasulullah saw bahkan merekomendir agar acara pernikahan disertai ‘hiburan’ yang membuat semua pihak yang hadir di acara tersebut turut bergembira. Tentu saja ‘hiburan’ yang sesuai dengan tuntunan Qur’an dan Sunnah.
Demikianlah sekilas, bagaimana sesungguhnya Islam memandang acara pernikahan. Sayangnya, belakangan di sebagian kita makin menguat kecenderungan untuk menutup-nutupi atau membuat misterius sebuah pernikahan, terutama di kalangan seleb. Biasanya ‘dalil’ yang dikemukakan adalah, “Ini kan acara sakral, buat keluarga dan kerabat terdekat saja.”
Rencana dan prosesi pernikahan mestinya jangan dibuat “misterius”. Nikah itu sendiri penuh hikmah. Menutupi rencana pernikahan dan saat berlangsungnya ijab-qabul, mengurangi kandungan hikmah yang terdapat di dalamnya. Karenanya, Islam mengajarkan, supaya pernikahan itu dipublikasikan. Rasulullah saw bersabda, “A’linuu haadzan-nikaaha waj-‘aluuhu fi’l-masaajidi wadh-ribuu ‘alaihid-dufuufa (umumkanlah pernikahan, selenggarakanlah di masjid dan bunyikanlah tetabuhan),” (HR Ahmad dan Tirmidzi).
Dalam riwayat lain, Rasulullah saw menyatakan, “Kumandangkanlah pernikahan… dan rahasiakanlah peminangan,” (HR Ummu Salamah ra). Dengan berbagai pertimbangan, Islam mengajarkan agar sebisa mungkin merahasiakan peminangan. Ia hanya diketahui sebatas keluarga terdekat. Mengapa? Untuk mengantisipasi gagalnya pernikahan, hal ini penting dan sangat berarti bagi keluarga wanita. Jika pernikahan itu urung, padahal orang banyak sudah tahu wanita tersebut sudah dilamar, bagaimanakah perasaan dan kehormatan yang bersangkutan? Bisa jadi sangat menyakitkan dan merugikan nama baik pihak perempuan. Boleh jadi pula orang lain akan ragu mengajukan lamaran, lantaran pihak sebelumnya telah mengundurkan diri. Bisa saja orang berpikiran negatif terhadap pihak perempuan dan keluarganya.
Jika peminangan dirahasiakan, andai pun tak berlanjut ke pernikahan, diharapkan nama baik (kehormatan) wanita dan keluarganya lebih terjaga—karena hanya diketahui oleh keluarga yang sangat terbatas. Yang umum terjadi hari ini, jauh sebelum pernikahan—bahkan meminang pun belum—sudah gembar-gembor. Di kalangan orang-orang terkenal lebih dahsyat lagi, karena sikap dan perilaku mereka sendiri yang membuat para wartawan gosip memburu dan memberitakan sepak terjang keduanya. Belum apa-apa, mereka sudah sering terlihat berjalan berduaan (pacaran), kelihatan mesra—meski belum diikat dengan tali pernikahan, astaghfirullaah! Tapi kalau ditanya, kapan menikah, jawabannya tak jelas dan klise alias basi! Tak jarang, melamar saja belum, keduanya tak lagi melanjutkan ke arah pernikahan. Perbuatan dosa dilalui, pindah lagi ke perempuan atau lelaki lain—untuk memperbarui dosa, begitulah seterusnya. Kalaupun mengarah ke jenjang pernikahan, tak jarang publik dan khususnya wartawan, dibuat penasaran. Sampai puncaknya, keduanya menikah dan dihadiri terbatas keluarga dan teman-teman terdekat, para wartawan protes—karena tak boleh mengikuti proses berlangsungnya akad nikah. Padahal semakin banyak (ramai) yang hadir, makin baik. Banyak hikmah yang terkandung atas kehadiran dan kesaksian orang lain di seputar pernikahan kita.
Hikmah pernikahan yang transparan dan diumumkan, di antaranya:
Pertama, menutup pintu fitnah. Dengan transparan, kenalan mempelai dan keluarganya jadi tahu. Jika si pengantin baru itu berduaan, baik di tempat sepi maupun di tengah keramaian, orang yang mengenalnya sudah mafhum, karena memang diketahui sudah menikah. Tapi, kalau tidak, gosip dan api fitnah bisa ke mana-mana. Kedua, semakin banyak orang tahu dan menyaksikan prosesi pernikahan itu, justru makin bagus. Yang mendoakan pun banyak. Lagi pula, upacara pernikahan itu punya nilai ibadah. Sesuatu yang baik, mengapa harus ditutup-tutupi atau tak boleh disaksikan banyak orang? Ketiga, mendorong yang belum nikah supaya (berani) menikah. Keempat, syi’ar. Kehadiran banyak orang di acara pernikahan, akan menambah marak dan syi’ar Islam. Yang tak tahu, bagaimana pernikahan dalam Islam, akan menjadi tahu. Apalagi untuk yang belum pernah menikah, dengan mengikuti proses pernikahan itu, dia jadi belajar.
Cukup banyak orang menikah diam-diam, sehingga jadi gosip, termasuk yang berpoligami. Ini jelas menambah deret dosa orang-orang yang menggosipkannya—apalagi kalau hal ini dilakukan public figur, terang saja jadi makanan empuk media yang doyan gosip. Ini dapat melahirkan fitnah baru. Parahnya lagi, saat diketahui yang bersangkutan hamil—meski mengaku sudah menikah, tapi pernikahannya tak pernah diketahui publik. Fitnah demi fitnah dan omongan yang tak sedap menjalar ke mana-mana. Ironisnya lagi, bohong demi kebohongan (karena usaha untuk menutupi) terus berlanjut. Kebohongan pun beruntun. Pernyataan pertama bohong, yang kedua bohong lagi, begitulah seterusnya. Untuk menutupi kebohongan sebelumnya, berbohong lagi.
Demikianlah sebagian kita hari ini dalam menyikapi dan memasuki institusi pernikahan. Institusi pernikahan yang sesungguhnya bernilai ibadah yang juga kerap dilontarkan sebagai ‘sakral’, telah kehilangan nilai. Ia dicoreng-morengi oleh sikap dan kelakuan para mempelai dan keluarganya yang memaknai pernikahan sebagai sesuatu yang ‘sakral’, tapi dalam pengertian yang sempit.
Islam yang memuliakan nilai pernikahan dan menganjurkannya untuk disyi’arkan (diramaikan dan dipublikasikan) dirusak sendiri oleh sebagian kita yang gemar membuat “misterius” sebuah pernikahan. Bobroknya institusi pernikahan di kalangan public figur, sebagai tamsil, jelas punya dampak ke masyarakat. Namanya juga public figur—sosok yang difigurkan publik—tapi nyatanya tak layak jadi figur, orang yang mestinya jadi contoh.
Apa-apa yang telah diungkap seperti tersebut di atas, semoga jadi perhatian kita bersama. Adalah tugas para dai dan kita semua yang mengaku Muslim dan tahu, untuk memberikan pemahaman dan kesadaran kepada keluarga, sanak kerabat dan lingkungan pergaulan kita, tentang hakikat pernikahan. Dengan demikian, salah satu ibadah yang bernama nikah itu, tidak disalahpahami. Lebih dari itu, “tak dijadikan mainan” buat “sensasi” atau apalah namanya yang bagi kalangan tertentu jadi ajang untuk ngetop.
Ibnu S Al-Banjari