Soal Klaim Ical, Pengamat: Politik Tipu-tipu, Khianati Rakyat!

JAKARTA (salam-online.com): Trik Golkar yang dikira serius menolak naiknya harga BBM itu pun terkuak. Publik kecele. Salah satu artikel analisis berita di salam-online.com sebelumnya  dengan judul bertanya ‘Golkar Tolak Naiknya Harga BBM, Bohong atawa Kenyataan?’ terjawab sudah. Di tengah situasi galau dan unjuk rasa di mana-mana Golkar melakukan manuver dengan pernyataan ‘tidak sepakat’ dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Pernyataan ini disampaikan Golkar melalui jumpa pers Sekjen Golkar Idrus Marham, Kamis malam (29/3/12).

Pernyataan mengejutkan tersebut sebenarnya boleh disebut sebagai bentuk perbaikan imej (citra) di hadapan publik, lantaran sebelumnya Ketua Fraksi Partai Demokrat (PD) DPR Jafar Hafsah mengungkap bahwa Ketum Golkar Aburizal Bakri mengusulkan BBM naik Rp 2000 menjadi Rp 6500. Bagi Golkar, pengungkapan Jafar ini sangat berbahaya dan bisa membuat publik yang sedang marah bertambah murka. Karena itulah, Golkar “marah” dengan Partai Demokrat, lalu—untuk menjaga citra dan kemarahan rakyat—Golkar mengeluarkan pernyataan ‘tidak sepakat’ dengan pemerintah yang berencana menaikkan harga BBM pada 1 April lalu. ‘Kemarahan’ Golkar itu pun memakan ‘korban’. Malam itu juga Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum ‘menon-aktifkan’ Jafar Hafsar sebagai Ketua Fraksi PD DPR, dan menyatakan untuk sementara fraksi PD DPR langsung di bawah kendalinya bersama Sekjen.

Jika pernyataan Jafar itu dusta, kenapa pula hal yang sama dikatakan Politisi Golkar Harry Azhar Aziz? Publik mesti tahu, pernyataan bahwa Aburizal Bakri mengusulkan penaikan harga BBM berkisar Rp 2000  itu bukan hanya keluar dari Jafar Hafsah. Politisi Golkar Harry Azhar Aziz pun sebelumnya sudah menyatakan hal serupa. Sejumlah media, detik.com (24/3/12) misalnya, merilis:

Meskipun Bambang Soesatyo sebagai kader Golkar menyatakan menolak kenaikan harga BBM subsidi, namun Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie tegas menyetujui kenaikan harga BBM. Demikian disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi XI Harry Azhar Azis yang juga politisi Golkar kepada detikFinance, Sabtu (24/3/2012).

“Saya kira Ical (Aburizal Bakrie) dengan tegas menyatakan bahwa Golkar setuju harga BBM naik. Bahkan agar tidak dinaik-naikkan lagi dalam waktu yang cukup lama. Golkar usulkan Rp 2.000 kenaikannya,” jelas Harry.

Memang, banyak yang ragu akan ‘penolakan’ Golkar atas rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Sebab, sebelumnya Ketum Golkar Aburizal Bakri tidak pernah menunjukkan penolakan—‘penolakan’ keluar dari Ical pada Kamis petang (29/3/12) jelang jumpa pers Sekjen Golkar Idrus Marham yang menyatakan Golkar ‘tidak sepakat’ dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM 1 April.

Satu-satunya politisi Senayan dari Golkar yang tegas-tegas menolak penaikan harga BBM adalah Bambang Soesatyo. Alasan Bambang, masih banyak opsi dan solusi sehingga pemerintah tak perlu menaikkan harga BBM,  karena akan menambah sengsara rakyat. Untuk itu pemerintah harus melakukan, antara lain, penghematan anggaran (jangan boros), peningkatan pemasukan pajak, dan lainnya.

Bambang juga menyatakan bahwa jika Golkar mendukung penaikan harga BBM, maka slogan Golkar ‘Suara Golkar Suara Rakyat’ menjadi tidak bermakna. Menurutnya, para kader Golkar di daerah tak menghendaki Golkar menyetujui penaikan harga BBM, karena menyebabkan ‘Suara Golkar Suara Rakyat’ sia-sia.

Lantas, di tengah situasi demo di mana-mana, bahkan di Jakarta dan beberapa daerah unjuk rasa menentang rencana penaikan harga BBM berlangsung anarkis dan berdarah-darah. Korban luka-luka berat dan ringan pun tak hanya dialami para pendemo, tapi juga aparat polisi—yang sebenarnya mereka juga terkena dampaknya jika harga BBM bersubsidi dinaikkan. Sementara DPR sampai Jumat siang (30//3/12) tak juga mengambil keputusan—menyetujui atau menolak—rencana pemerintah itu. Padahal unjuk rasa di depan Gedung DPR, Salemba, dan sejumlah daerah, kian memanas. Di Jakarta, jalan tol dalam kota—Gatot Subroto-Slipi—ditutup.

Sebelumnya, Kamis malam (29/3/12), kawasan Salemba-Kramat Raya-Senen mencekam. Massa mahasiswa mengamuk. Kapolsek Senen menjadi korban dikeroyok dan dilarikan ke rumah sakit. Esoknya, Jumat (30/3/12), puluhan ribu massa pendemo—mahasiswa, buruh dan rakyat—meminta ketegasan DPR untuk menolak rencana penaikan BBM bersubsidi itu. Demo jeda sejenak saat pelaksanaan shalat Jumat di depan Gedung DPR. Ba’da Jumat, demo lanjut lagi. Sorenya pintu gerbang DPR pun jebol. Massa menduduki halaman DPR. Tapi,  ba’da magrib, aparat menghalau para pendemo untuk keluar dari halaman Gedung DPR—sementara belum juga ada keputusan dari DPR. Mengapa?

Di tengah kondisi tak menentu itulah, Ical mengklaim, Golkar berinisiatif mengusulkan alternatif—yang bagi sejumlah pengamat sesungguhnya adalah sesuatu yang ditunggu-tunggu  Golkar. Menurut Ical, opsi yang ditawarkan akhirnya diterima anggota koalisi (Demokrat, Golkar, PAN, PPP, PKB, minus PKS). Opsi yang dimaksud adalah penambahan Pasal 7 ayat 6 A di RUU APBN-Perubahan 2012, yakni memberi keleluasaan bagi pemerintah menyesuaikan harga BBM dengan syarat harga minyak mentah dunia dalam kurun waktu enam bulan mengalami kenaikan atau penurunan hingga 15 persen dari asumsi APBN-P 2012 yakni 105 dolar perbarel.

“Polarisasi opini dan pendapat sudah tajam, emosi tersulut dan aksi massa yang lepas kendali, dalam situasi itu tak mungkin terjadi jalan ideal. Hanya politisi yang tangguh yang piawai dan berpengalaman dan berakal yang dapat mencari jalan keluar dan itulah yang dilakukan Fraksi Golkar,” kata Ical disambut tepuk tangan dalam pidato politiknya di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta barat, Sabtu (31/3/12) malam.

“Subsidi BBM adalah persoalan yang pelik, Partai Golkar mampu menyelesaikan polemik tersebut,” ujarnya. Menurutnya, diterimanya opsi alternatif  telah memenuhi tuntutan rakyat yang menolak kenaikan harga BBM. “Dengan rumusan ini tuntutan rakyat terpenuhi, hak pemerintah juga tetap terjaga untuk menyesuaikan harga BBM sesuai harga internasional,”  kata Ical.

Jelas, klaim bangga dari Ical ini dinilai tak sesuai dengan kenyataan. Benarkah opsi alternatif ini telah memenuhi tuntutan rakyat? Bukankah rakyat ingin tak ada penaikan harga BBM? Mengapa Ical dengan pedenya mengingkari kenyataan—yang jelas-jelas ditolak rakyat? Jelas-jelas opsi yang didukung 356 suara (Demokrat, Golkar, PPP, PAN, PKB) itu bertentangan dengan keinginan rakyat yang tak menghendaki penaikan BBM bersubsidi—mengingat efek dominonya yang ke mana-mana, jadi bukan karena subsidinya dinikmati orang mampu.

Ical mengatakan, seakan Golkar jadi pahlawan, menyelamatkan kebuntuan. Pahlawan apa? Ha, yang terjadi sesungguhnya adalah pembelokan—yang semula Golkar menolak penaikan harga BBM—eh ternyata sebenarnya sudah menyiapkan ‘pelor’ baru untuk seakan-akan menjadi ‘penyelamat’ kebuntuan dengan cara “menahan” rencana pemerintah menaikkan BBM pada 1 April. Jadi, Golkar ingin menunjukkan sebagai “penyelamat” Demokrat dan pemerintah, padahal di mata rakyat sesungguhnya Golkar sedang ‘bermain-main’ yang menurut istilah Budayawan Benny Soesetyo dan Direktur Lingkar Madani (LIMA) Ray Rangkuti merupakan bentuk tipu-tipu perwakilan rakyat di DPR (detikcom, 31/3/12 dan inilah.com, 1/4/12) karena mengingkari satu permintaan publik: tolak penaikan harga BBM. “Harusnya jelas, menolak atau melanjutkan. Kalau praktik seperti ini terus dibiarkan yang ada politik tipu-tipu,” ujar Ray.

Apapun yang terjadi, menurut pengamat politik LIPI Siti Zuhro, tak pantas Ical klaim seperti itu. Menurutnya, apa yang terjadi di DPR itu Golkar tidak single fighter, karena ada 9 fraksi.  Menurutnya, apapun yang menjadi keputusan pada rapat paripurna  pada Sabtu (31/3/12) dini hari itu sudah menjadi milik bersama para pengambil keputusan. “Tidak perlu digembor-gemborkan ke publik bahwa ini atas kerja satu partai,” ujarnya (detikcom, 2/4/12).

Jadi, apa yang diungkap Ketum Golkar Aburizal Bakri dalam pidato politiknya itu boleh dibilang jauh panggang dari api, tak sesuai dengan kenyataan. Dia bilang opsi penambahan ayat 6 A pada pasal 7 RUU APBN-P itu memenuhi tuntutan rakyat. Ini bagaimana ceritanya? Jadi, rakyat yang berdemo menolak penaikan harga BBM itu tak dianggap? Sesuatu yang menurut sejumlah kalangan mengingkari kehendak rakyat.

Baca Juga

Itu belum lagi keanehan yang terjadi, lantaran dengan penambahan ayat 6 A pada Pasal 7 RUU APBN-P itu, berarti ada dua ayat yang saling bertentangan—karena pada ayat 6 jelas-jelas  tak memberi peluang pemerintah menaikkan harga BBM. Eh, muncullah, meminjam istilah pengamat,  ayat “siluman” (6 A) yang mengizinkan pemerintah untuk menaikkan harga BBM kapanpun, dalam rentang 6 bulan, jika kenaikan minyak mentah dunia sudah mencapai 15 persen dari kisaran harga 105 dolar perbarel. Dan yang sebenarnya, dalam waktu 1 atau 2 bulan pun jika harga minyak dunia sudah naik 15 persen, pemerintah boleh saja menaikkan harga BBM bersubsidi tanpa persetujuan DPR.

Jadi, sulit untuk memungkiri  adanya pembohongan publik dari apa yang dikatakan Ical—yang menurut Ray Rangkuti sebagai politik tipu-tipu—dan sulit pula untuk menafikan adanya something wrong  di balik pemaksaan penaikan harga BBM bersubsidi ini. Apa itu? Benarkah ada konsesi di balik penambahan Pasal 7 ayat 6 A itu?

Sebelum menjawab pertanyaan di atas, apa yang diungkap  analis politik Charta Politika Indonesia, Arya Fernandes, menarik dicermati. Menurut Arya, manuver politik Golkar berhasil “menyelamatkan” muka Demokrat dari kekalahan voting Paripurna DPR. Jadi, Demokrat berutang budi pada Golkar (detikcom, 1/4/12).  Sebab, “Jika di menit-menit terakhir Golkar berubah sikap dan bergabung dengan PDIP dan PKS, Demokrat akan kalah telak,” kata Arya.  

Karena itu, “manuver” Golkar dengan  “penyelamatan” muka Demokrat dan pemerintahan SBY itu bukan gratisan.  Pengamat politik Yudi Latief menilai, deal  penambahan ayat 6 A pada Pasal 7 UU No 22 Tahun 2011 tentang APBN-P 2012 itu bermuatan politis. Menurutnya, hasil revisi melalui voting dalam Paripurna DPR, Sabtu (31/3/12) dini hari tersebut ada konsesinya.

“Kalau dengan skenario awal sebenarnya Demokrat sudah kalah berkeping-keping, kemudian didorong sisipan klausul pasal. Partai-partai memasukkan klausul aayat ini kan tidak gratis,” ujar pengamat Reform Institute ini dalam konferensi pers Tim Advokasi untuk Kedaulatan Energi (TAKE) di Kalibata, jakarta Selatan, Ahad (1/4/12).

Yudi mengatakan, konsesi dimaksud bisa bermacam-macam bentuknya. Salah satunya bisa saja diarahkan pada besaran Parliamentary Threshold IPT) yang pembahasannya belum selesai di DPR.

Konsesi lainnya, seperti dikatakan pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN)  Syarif Hidayatullah Gun Gun Heryanto, diduga terkait dengan pengamanan ‘jatah’ kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi melalui skema bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).

“Golkar sudah berhitung skenario kenaikan. Karena itu, angka Rp 17 trilyun untuk BLSM dan dana kompensasi lain seperti pembangunan infrastruktur desa tentu akan menjadi area bagi-bagi kavling,” papar Heryanto (detikcom, 31/3/12).

Jadi, dengan tawaran mendukung opsi dua, menambah ayat 6 A pada Pasal 7 UU APBN-P 2012, Golkar ingin memastikan mendapat keuntungan dari kompensasi BBM melalui Kementerian Koordinator Kesejahteraan Rakyat yang dipimpin Wakil Ketum Golkar Agung Laksono. “Golkar punya kepentingan dalam penyalurannya yidak dimonopoli oleh democrat atau PKS, misalnya, karena tentu akan mengganggu suara pemilih Golkar di pemilu 2014,” katanya.

Keuntungan ini diambil Golkar, karena PKS dalam Paripurna DPR, Sabtu (31/3/12) dini hari, memutuskan sikap menolak naiknya harga BBM. Padahal sebelumnya berembus isu, PKS akan menyetujui penaikan harga BBM dengan memanfaatkan dana kompensasi BLT melalui Kementerian Sosial yang dipimpin oleh kader PKS, Dr Salim Segaf Al Jufri. Tapi, nyatanya, seperti dikatakan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, PKS tetap menolak penaikan harga BBM, karena ingin bersama rakyat yang juga sangat keberatan jika harga BBM bersubsidi harus naik.  “Bahkan sangat mungkin, ke depan akan ada konstelasi diserahkannya menteri-menteri dari PKS ke partai kuning sebagai kompensasi dukungan Golkar di voting dan pelolosan rencana kenaikan harga BBM,” jelasnya.

Permainan politik Golkar dalam paripurna di DPR, kata Gun Gun, menunjukkan andalnya politikus Golkar memainkan forum lobi sebelum ketuk palu pengesahan RUU APBN-P 2012. “Golkar memainkan strategi ganda, di satu sisi beretorika pro-rakyat dengan tidak setuju kenaikan BBM, di sisi lain mendorong strategi akal-akalan Pasal 7 ayat 6 A yang membuka peluang kenaikan harga BBM,” ujarnya.

Itu namanya andal atau akal-akalan atawa tipu-tipu seperti dikatakan Ray Rangkuti? Jelas, sebagaimana disampaikan Ketum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, kelima parpol itu (Demokrat, Golkar, PPP, PAN, PKB) mengkhianati suara rakyat. Jadi bukan andal atau piawai seperti diklaim sang Ketum Golkar Aburizal Bakri. “Sudah sangat jelas, survey menunjukkan sekitar 90% rakyat menolak kenaikan harga BBM,” kata Din Syamsuddin (detikcom, 1/4/12). Tapi kenapa partai-partai itu berani ingkar dan  berkhianat?

Nah, begitulah jika berpolitik tak sungguh-sungguh berada dalam rel yang benar.  Hanya demi kepentingan kelompok dan partainya, bukan untuk kepentingan umum, maka ngakalin, tipu-tipu dan khianat, no  problem. Parahnya, bangga pula—merasa menjadi pemegang dan pengendali, merasa piawai, dan celakanya, amboi… mengklaim telah memenuhi tuntutan rakyat!  Terasa aneh, memang, jika ada orang bangga dengan kebohongan, bangga dengan ketidakbenaran, bangga dengan ucapan yang tak sesuai dengan kenyataan,  dimana rakyat sebenarnya menginginkan harga BBM bersubsidi tidak naik.

Ya, itulah,  namanya juga berpolitik tanpa nilai (Islam), segala cara halal!

Foto-foto: antaranews, kabar kampus, kompas, inilah.com, muhammadiyah.or.id

 

Baca Juga