JAKARTA (salam-online.com): Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) mengenai uji materi Pasal 115 UU No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan menuai kritik. MK menghapus kata ‘dapat’ tentang ‘penyediaan ruangan merokok’. Jadi, sekarang isi pasal itu berbunyi: tempat kerja, tempat umum dan tempat lainnya menyediakan ruang khusus untuk merokok.
Artinya, dengan penghapusan kata ‘dapat’ itu, maka tempat umum harus menyediakan ruangan untuk merokok. Itu sama saja mendukung orang untuk merokok dengan “memanjakan’ dan ‘mengkhususkan’nya menyediakan tempat bagi perokok.
Menurut Ketua MK Mahfud MD, merokok merupakan hak asasi. Mahfud memahami rokok itu memang berbahaya tapi tidak dilarang. Janggal juga ya, berbahaya tapi tidak dilarang melakoninya.
Ketus Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ifdhal Kasim tak sependapat. Menurutnya, merokok bukanlah hak dasar yag dilindungi undang-undang. “Merokok bukan hak asasi, bukan hak yang harus dilindungi,” kata Ifdhal saat ditanya wartawan mengenai hak asasi tentang rokok, di kantornya, di Jalan Latuharhary, Menteng, Jakarta pusat, Jumat (20/4/2012).
Kata Ifdhal, hak untuk merokok bukanlah hak dasar manusia. Karenanya, larangan merokok tidak akan membuat seseorang kehilangan martabat sebagai seorang manusia. Tanpa merokok malahan kesehatan manusia terjaga dengan baik. Dan, bukankah ajaran Islam meminta kita untuk hidup sehat?
MK juga dinilai tak menghayati filosofi tren manusia masa kini yang mengutamakan keselamatan. Menghirup udara sehat, faktor keselamatan itu, adalah bagian dari hak asasi manusia (HAM). “Waktu saya dulu menyusun undang-undang ini, filosofinya yang kita hormati adalah yang menjadi hak asasi manusia. Kalau merokok itu bukan bagian dari HAM,” tegas mantan legislator Komisi IX yang menyusun UU Kesehatan, dr Hakim Sorimuda Pohan, SpOG (detikcom, 18/4/2012)..
Hakim mempertanyakan, “Yang dihargai orang yang merokok atau HAM?” Menurutnya, HAM itu mengatur menghirup udara bersih. Yang kita dahulukan tergolong HAM. “Kita yang membuat UU yakin betul merokok itu bukan bagian dari HAM,” tandasnya.
Merokok, imbuhnya, bukan merupakan HAM. Merokok justru penyimpangan perilaku yang sebagian besar disebabkan oleh adiksi /ketergantungan pada nikotin. “Kalau yang tidak merokok, dia mempunyai hak menghirup udara dan lingkungan bersih. Merokok tidak dijamin konstitusi,” tegasnya.
Karena itu, prinsip UU Kesehatan, keselamatan manusia harus didahulukan daripada kepuasan diri. Karenanya, Hakim menilai, MK juga belum menghayati filosofi hidup manusia kini.
“Mereka (MK) anggap hobi atau lifestyle harus dipenuhi walaupun lifestyle itu misalnya, menyakiti diri sendiri (yang dalam Islam dilarang keras, red), itu mesti dipenuhi dan dihormati,” lanjutnya. Menurutnya, di seluruh dunia, dalam hal apa saja, manusia masa kini mempunyai 3 pandangan. Pertama, keselamatan atau safety. Kedua, seberapa efektif kalau itu dibuat. Ketiga, seberapa besar biaya yang diperlukan.
“Orang yang kurang menghayati, masing-masing menganggap ketiga hal di atas mendapatkan porsi sepertiganya. Padahal di dunia ini, keselamatan itu porsinya 50 persen, dan lain-lain itu sisanya. UU kita itu menjamin keselamatan manusia,” ujar Hakim.
Dengan demikian, filosofi hidup manusia kini yang tidak merokok itu jauh berpikir ke depan. Itulah manusia modern. Artinya, mereka yang tak merokok itu modern.
Lantas, bagaimana dengan ruang khusus merokok? Menurut ahli kesehatan masyarakat dari bagian pendataan Jaringan Pengendalian Tembakau (JPT), dr Widyastuti, kewajiban untuk menyediakan ruang merokok di gedung-gedung perkantoran maupun tempat umum, itu tidak efektif. Isolasi asap rokok tidak pernah menjamin udara bersih 100 persen, sehingga tempat khusus merokok harusnya berada jauh di luar gedung. Artinya, tujuan untuk membebaskan gedung-gedung dari asap rokok tidak akan sukses jika masih tersedia ruang khusus merokok di dalam gedung.
“Masalahnya, isolasi asap itu sulit, celah sekecil apapun masih bisa membuat asap rokok merembes bahkan meski sudah diberi system exhaust,” kata dr Wid usai melakukan audiensi dengan Ketua Komnas HAM di kantor Komnas HAM, Jumat seperti dikutip detikcom (20/4/2012).
Diungkap oleh dr Wid, sejak kurang lebih 10 tahun yang lalu, organisasi kesehatan dunia (WHO) telah menyatakan bahwa ruang khusus merokok tidak efektif karena masih berpotensi menyebabkan asap rokok bocor dan mencemari udara di ruangan lain. Pilihan terbaik, sesuai rekomendasi WHO adalah dengan menciptakan lingkungan yang 100 persen bebas asap rokok. Caranya tidak lagi dengan menyediakan ruang khusus merokok di dalam gedung, melainkan sebuah tempat khusus yang lokasinya berada di ruang terbuka yang terpisah dari gedung.
“Dahulu pengetahuan masih terbatas, sehingga asal ada ruang merokok maka merokok dianggap tidak masalah. Tapi ternyata tidak. Selain asapnya masih bisa keluar, juga partikel-partikel dari asap rokok bisa menempel di perabotan yang ada di ruangan tersebut dan menyebabkan dampak bagi yang namanya perokok tersier,” jelas dr Wid.
Istilah perokok tersier atau third hand smoker merujuk pada korban-korban asap rokok yang menghirup racun dari partikel yang tertinggal di perabotan. Anak-anak dan ibu rumah tangga yang tidak merokok secara aktif paling potensial jadi perokok tersier jika suaminya merokok di dalam rumah, meski hanya merokok saat anak dan istrinya tidak di rumah.
Maka, dengan membiarkan orang merokok justru membiarkannya melanggar hak asasi orang lain yang tidak merokok (menjadi perokok tersier dan pasif yang lebih berbahaya lagi dari si perokok aktifnya). Lihat saja, orang-orang yang merokok di tempat-tempat umum, bus, angkutan umum, perkantoran, halte, stasiun, bandara, terminal, mal, pasar, dan sebagainya, sangat mengganggu lingkungan dan orang-orang sekitarnya yang tidak merokok. Bahkan si penerima asap rokok mereka yang tak merokok (disebut perokok pasif) itu lebih dirugikan. Sangat merugikan orang lain dan menambah udara kotor (polusi) lingkungan. Bagaimana bisa disebut sebagai manusia modern, jika di ruang ber-AC saja banyak yang merokok?
Juga, dengan mengharuskan untuk menyediakan ruang khusus merokok, artinya orang tak dilarang merokok asal di tempat khusus. Apa jaminannya asapnya tak masuk ke ruang lain, sebagaimana penjelasan dr Wid di atas? Dan, sudah jelas-jelas WHO tidak merekomendasikan ruang khusus merokok ini berada di dalam gedung.
Karenanya, keputusan MK tentang larangan merokok di tempat umum ini, termasuk pasal tentang keharusan menyediakan tempat khusus bagi perokok di dalam gedung, perlu dikoreksi lagi! Agar hidup dan kesehatan kita berkualitas, dan siap menjadi manusia modern, tanpa asap rokok, tanpa polusi!
Ilustrasi & Foto: gambar humor & rahadi’s blog