Pasca Gempa Aceh: Saatnya, Kembalilah ke Jalan Allah

Jakarta (salam-online.com): Gempa di Samudera Hindia yang berpusat di Aceh  (11/4/2012) Rabu sore, mestinya makin membuka mata dan hati kita. Lepas dari teori pergerakan lempeng yang mengakibatkan gempa, yang jelas semua itu mustahil terjadi jika tak ada  yang menggerakkannya. Allah SWT, penggerak dan pengendali kehidupan ini,   tentu punya tujuan-tujuan tertentu, sehingga gempa yang menimpa Aceh dan sekitarnya, terjadi.

Ada beberapa sebab ketika Allah menurunkan bencana kepada hamba-Nya. Pertama, sebagai ujian bagi orang-orang beriman. Ujian ini untuk menyeleksi keimanan orang-orang yang mengaku beriman.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: ‘Kami telah beriman’, sedang mereka tidak diuji lagi? Dan sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan sesungguhnya Dia mengetahui orang-orang yang dusta (imannya). Ataukah orang-orang yang mengerjakan kejahatan itu mengira bahwa mereka akan luput dari (azab) Kami? Amatlah buruk apa yang mereka tetapkan itu,” (QS al-Ankabut: 2-4).

Kedua, sebagai peringatan dan teguran bagi para pembangkang. Astaghfirulllah,  bagaimana bangsa ini bebas dari bencana? Perilaku sebagian anak bangsa ini kepada Rabb-Nya boleh dibilang sudah keterlaluan. Segala peringatan dan teguran bagi para pelaku syirik, maksiat dan kejahatan lainnya, tetap saja dianggap angin lalu. Berbagai bencana, seperti banjir, longsor, kecelakaan pesawat, kereta api, gempa dan tsunami, masih juga belum menyadarkan sebagian anak bangsa ini, untuk kembali kepada Penciptanya, Allah SWT.

Ketika Gunung Merapi menyemburkan lahar pijarnya, orang-orang sekitar Merapi, dan pejabat di Kraton yang dipimpin Sri Sultan, mestinya sadar, jangan lagi melakukan perbuatan syirik, mempraktikkan upacara-upacara ritual yang sangat bertentangan dengan akidah. Upacara ritual berbau takhayul, bid’ah dan khurafat, tetap saja dipraktikkan.

Tak hanya Sri Sultan dan pengikutnya.  Semua kita. Dari presiden sampai rakyat jelata. Marilah saling manasihati, agar semua kembali kepada-Nya. Para ulama, dalam arti sesungguhnya, punya tanggung jawab besar untuk memulai mengajak bangsa ini, supaya melakukan gerakan taubat nasuha. Taubat dengan syarat-syaratnya sebagaimana tuntunan Qur’an dan Sunnah. Kembali kepada-Nya (taubat), tak mengulangi lagi perilaku syirik dan maksiat, menjalankan perintah-Nya, sesungguhnya merupakan fokus ajakan (dakwah), agar bangsa ini selamat dari azab seperti terjadi pada kaum Nabi Hud, Luth, Syu’aib, dan lainnya.

Allah berfirman: “Dan (ingatlah) ketika suatu umat di antara mereka berkata, ‘Mengapa kamu menasihati kaum yang Allah akan membinasakan mereka atau mengazab mereka dengan azab yang amat keras?’ Mereka menjawab, ‘Agar kami mempunyai alasan (pelepas tanggung jawab) kepada Tuhanmu, dan supaya mereka bertakwa. Maka tatkala mereka melupakan apa yang diperingatkan kepada mereka, Kami selamatkan orang-orang yang melarang dari perbuatan jahat dan Kami timpakan kepada orang-orang yang zalim siksaan yang keras, disebabkan mereka selalu berbuat fasik. Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, ‘Jadilah kalian kera yang hina’,” (QS al-A’raf: 164-166).

Ayat-ayat di atas jelas menceritakan, bahwa ada orang-orang shalih yang mengajak kaum yang ingkar kepada Allah, agar beriman kepada-Nya, sebagai bentuk tanggung jawab kepada Rabbnya. Ini sekaligus untuk menunjukkan bahwa seorang dai yang Muslih, tak hanya ingin baik (shalih) sendiri, tanpa peduli dengan orang sekitarnya. Tetapi seorang Muslim adalah mereka yang peduli dengan sekelilingnya, supaya juga seperti dirinya yang berada di jalan Allah.

Baca Juga

Kita yakin, masih ada orang-orang shalih di negeri ini. Karenanya, kita minta mereka jangan hanya shalih sendirian atau dengan kelompoknya saja. Marilah bersama dengan kelompok-kelompok yang selama ini menyerukan amar ma’ruf nahi munkar, untuk mengajak penguasa negeri agar mendekat kepada Allah, melaksanakan titah-Nya, menjauhi larangan-Nya. Setelah itu, adalah kewajiban penguasa untuk mengajak rakyatnya agar kembali di Jalan-Nya. Jangan lupa stop tayangan-tayangan musyrik dan porno di televisi. Sungguh-sungguh menertibkan dan melarang media-media porno, prostitusi dan peredaran narkoba yang berkedok tempat-tempat hiburan.

Kepada mereka yang selama ini mendukung pornografi dan pornoaksi, kembalilah bersama masyarakat dan kaum ibu yang ingin anak-anak mereka selamat dari bahaya pornorafi dan pornoaksi. Orang tua mana yang tak was-was, manakala Yayasan Kita dan Buah Hati  baru-baru ini menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa 35% anak-anak SD melihat gambar-gambar porno melalui internet di warnet?

Itu baru lewat warnet. Selebihnya mereka dapatkan dari internet di rumah teman, VCD-DVD, tabloid dan tayangan televisi. Ini hanya contoh sederhana untuk menggambarkan betapa pentingnya sebuah undang-undang yang mengatur, memberantas dan menyelamatkan anak-anak bangsa ini dari bahaya pornografi dan pornoaksi. Undang-Undang Antipornografi-Pornoaksi (yang tidak pakai kata “anti”) yang berlaku saat ini bisa disebut kurang tegas.

Harus ada keinginan baik (goodwill) dari semua pihak untuk menyelamatkan bangsa ini, baik di bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya dan moral. Dosa-dosa akibat perilaku syirik dan maksiat,  serta dosa-dosa politik, ekonomi, hukum, budaya, moral, dan lainnya, bisa jadi telah mengundang malapetaka negeri ini.

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu mengatakan, “Tidak akan turun bencana kecuali diundang oleh dosa, dan tidak akan dicabut suatu bencana, kecuali dengan taubat.”

Gempa, khususnya di Aceh, Rabu sore (11/4/2012), sekali lagi, sudah seharusnya kita jadikan refleksi untuk melakukan perubahan ke arah yang baik, menjauhi dan meninggalkan perilaku syirik, mungkar dan maksiat. Dan, ini perlu teladan dari para pemimpin.

 

    

 

Baca Juga