JAKARTA (salam-online.com): Sungguh, jika boleh mengatakan ngerinya republik ini hari ini dan ke depannya lantaran dikelola asal-asalan. Jika tak segera dilakukan perubahan secara fundamental, maka jangan salahkan jika banyak pihak yang khawatir negeri ini makin berantakan.
Sejumlah isu dan persoalan yang mewarnai republik ini sudah lebih dari cukup untuk menyatakan bahwa Negara diurus oleh orang yang tidak mengerti masalah dan di bawah kendali mafia, sehingga banyak kasus dan persoalan tak pernah clear. Menggantung dan mengambang.
Banyak ketidakjelasan. Dari penanganan kasus korupsi yang bertele-tele hingga kebijakan pembatasan dan rencana penaikan BBM yang mengambang. Dari protes rendahnya gaji hakim hingga mafia Banggar DPR yang bak benang kusut. Dari mulai tawuran warga, tawuran antar ormas, kekerasan dan arogansi aparat hingga pelesiran dan video mesum yang diduga melibatkan anggota DPR—yang sekarang tak terdengar lagi ceritanya. Mulai konflik aparat polisi dengan TNI sampai masalah INAFIS (Indonesia Autofinger Identification System) yang berujung distop oleh Mabes Polri sendiri. Mau memberlakukan INAFIS yang akhirnya banyak medapat kritikan, yang namanya E-KTP saja masih belum jelas.
Dari leletnya pengusutan kasus-kasus hukum seperti dugaan korupsi di Kemenpora, Kemdikbud, Kemenakertrans, Kemeskes, Hambalang, dan lainnya, hingga kasus KLBI (Kredit Likuiditas Bank Indonesia)—BLBI lebih dari 600 trilyun rupiah yang sampai sekarang tak lagi diusut. Jangankan diusut, diomongin di media pun sudah tidak lagi, karena bagaimana mau diberitakan, wong aparat penegak hukum negeri ini saja tak lagi peduli dengan kasus ini. Seakan kasus KLBI-BLBI itu sudah selesai, padahal inilah kerugian Negara paling besar, gila, 600 trilyun lebih itu teramat sangat besar. Yang puluhan juta, ratusan juta dan milyaran saja kita kejar, kenapa yang ratusan trilyun tak dicolek? Negeri aneh! Katanya anggaran defisit, kenapa 600 trilyun lebih tidak dikejar?
Kita beralih pada keanehan lainnya. Wakil Menteri (Wamen) ESDM Widjajono meninggal saat menyalurkan hobi pribadinya bergeowisata dan mendaki Gunung Tambora di Sumba, NTB. Di tengah ketidakpastian soal policy BBM bersubsidi, memang, terasa aneh, Wamen yang diharapkan berperan penting dalam mengusir ketidakjelasan soal BBM ini, justru punya waktu naik gunung. Sementara pemerintah sedang galau kalau tak boleh dibilang kebingungan untuk memutuskan pembatasan atau kenaikan BBM bersubsidi.
Dalam hal policy BBM ini saja kentara sekali, bagaimana republik ini dikelola. Dari rencana menaikkan sampai pembatasan BBM subsidi serba tak jelas. Belum lama Presiden SBY berapat kabinet untuk membahas rencana pembatasan BBM subsidi. Padahal DPR sudah memutuskan pemerintah bisa menaikkan BBM subsidi dengan syarat harga minyak dunia naik 15 persen dari harga yang dipatok sebesar 115 dolar AS perbarel. Lalu, kenapa ada bahasan pembatasan lagi?
Yang menggelikan, rapat kabinet untuk membahas pembatasan BBM subsidi itu, tak jua membuahkan keputusan. Seperti biasa…ngambang, menggantung alias tak jelas. Wacana atau usulan bahwa pengguna kendaraan dari 1300 cc, 1500 cc atau 2000 cc ke atas dilarang ‘minum’ BBM subsidi, mentah di tengah jalan. Yaah terang saja… mau membatasi kendaraan dengan kapasitas (cc) tersebut, jelas tak masuk akal. Mana ada di STNK angka-angka 1300 cc, 1500 cc, 2000 cc. Sebab, misalnya, untuk cc 1500, angka yang tertera di STNK adalah 1490-1498 cc, tak sampai 1500. Jika pemilik kendaraan 1500 cc dilarang mengonsumsi BBM subsidi, mereka bisa protes saat ingin mengisi premium, karena kendaraan mereka tak sampai 1500 cc.
Nah, bingung? Mengapa persoalan seperti ini saja para pemimpin itu lamban mengambil keputusan? Benarkah BBM subsidi kita akan terkuras lantaran paling banyak dikonsumsi? Banyak pihak yang geleng-geleng, lantaran tak habis pikir, sementara pemerintah menyatakan persediaan BBM subsidi menipis, tapi sinyalemen dijualnya minyak kita ke pasar luar, tak pernah mendapat jawaban clear. Itu belum lagi isu mafia minyak yang juga menggerogoti persediaan minyak dalam negeri. Jadi, susah untuk memungkiri adanya “permainan”, sehingga minyak kita lebih banyak mengalir ke luar ketimbang untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri alias untuk rakyat sendiri.
Makanya, tak usah heran, dalam hal BBM ini, di berbagai daerah, rakyat kesulitan mendapatkan BBM. Di sana-sini yang namanya jalan di setiap ada SPBU mengalami kemacetan sampai berkilo-kilo meter. Di Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Tengah, dan di sejumlah daerah lainnya, pasokan BBM berkurang.
Maka, jika banyak pihak yang menyebut negeri ini salah pilih orang sehingga banyak salah urus dalam mengelola Negara dan pemerintahan, itu sesuatu yang susah dibantah.
Dari persoalan BBM yang tak jelas, kita beralih ke isu lain. Cerita tiga menteri (Menakertrans, Menteri ESDM, Meneg Pembangunan Desa Tertinggal) yang ketawa-ketiwi di lapangan golf sambil diapit dan berpotret dengan 10 caddy seksi dengan rok mini dan baju lengan pendek ketat, tak usah dibahas. Tak penting. Meskipun aneh, di tengah negeri perlu extra keseriusan, sempat-sempatnya berdempetan dengan perempuan yang bukan mahramnya.
Yang lebih penting, kenapa kasus dugaan Wamen Kumham Denny Indrayana memukul petugas Lapas Riau lenyap dari bahasan? Sampai di mana penyelesaiannya? Apakah cukup sampai di sini? Bagaimana pula pemberantasan narkoba di berbagai Lapas? Apakah ikut selesai juga?
Negeri aneh. Ini kadung menyinggung soal narkoba. Di berbagai tempat hiburan umumnya, sebut saja di banyak diskotik, bar, kafe, hotel, dan lainnya, jelas-jelas adalah pasarnya narkoba, tapi justru tempat-tempat itu tak begitu disentuh. Kenapa? Jawabannya klise. Padahal, kalau mau jujur, tempat-tempat hiburan semacam diskotik inilah sarangnya narkoba yang terbesar. Mereka, para pengunjung bebas mengonsumsi di tempat-tempat ini karena justru merasa aman. Jika diskotik-diskotik itu digerebek, marahlah para pengusaha hiburan itu, sebab akan berakibat tempat dan bisnis mereka sepi dari pengunjung, dan otomatis mereka—para pengusaha hiburan itu—punya alasan untuk tidak memenuhi “setoran”!
Ini lingkaran setan. Kalau ingin memberantas narkoba sampai ke akarnya, lingkaran ini harus dipotong, lalu dikuliti. Niscaya setannya akan kabur!
Lantas, bagaimana dengan plat nomor palsu mobil Ketum Partai Demokrat Anas Urbaningrum? Publik tak habis pikir. Lalu muncullah omongan: dari hal kecil saja sudah palsu, bagaimana dengan kasus-kasus yang besar atau lebih besar semisal menjarah uang Negara, apakah akan bisa jujur?
Amboi…! Kejujuran itu kian mahal di negeri ini, manakala kita tak pernah sungguh-sungguh mengurus warga kita sendiri yang bernama TKI. Dalam catatan Migrant Care TKI yang dibunuh di Malaysia sudah berlangsung lama. Tapi pemimpin dan pemerintah negeri ini tak pernah mau serius melindungi warganya di negeri orang. Kalau pemerintah membantah akan hal ini, kenapa kejadian demi kejadian terus berulang? Sebegitu murahkah nyawa warga kita?
Selain Kementerian Nakertrans, dibentuk pula Badan Nasional Penempatan & Perlindungan Tenaka Kerja Indonesia (BNP2TKI), tapi tak juga menyelesaikan banyak persoalan tenaga kerja kita di luar negeri. Lantas buat apa BNP2TKI? Bagaimana pula kinerja Kemenakertrans di bawah Muhaimin Iskandar?
Jero Wacik, Muhaimin Iskandar, Helmy Faishal, Denny Indrayana, Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat, semuanya merupakan figur pilihan Presiden SBY. Jika mereka tidak dipilih oleh presiden, menduduki posisi masing-masing, mereka tidak lebih dari warga negara biasa. Status sosial mereka tidak akan diperhitungkan masyarakat.Tetapi jika setelah menduduki posisi-posisi penting itu mereka lupa tentang tanggung jawab dan kepatutan yang harus mereka jaga, apakah mereka sudah tak menganggap dan tak peduli lagi dengan rakyat?
Perilaku para pengawal Anas Urbaningrum, yang mengejar para pendemo di gedung KPK, agar membubarkan diri, jelas sangat kita sesalkan. Aksi menyebal itu mungkin lepas dari sepengetahuan Anas. Tapi patutkah Anas menggunakan belasan pengawal? Sepanjang sejarah pimpinan partai penguasa, baru Ketua Umum Partai Demokrat yang menyewa pengawal dalam jumlah yang cukup besar.
Sebuah media online mempertanyakan soal kepatutan Anas membawa belasan pengawalnya. PNI, Golkar, PKB dan PDI-P pernah menjadi partai penguasa. Tapi di era kekuasaan mereka, Ketua Umun tidak pernah menggunakan pengawal secara demonstratif seperti dilakukan Anas Urbaningrum. Yang memprihatinkan, para pengawal Anas seperti dlaporkan oleh sejumlah media online, bahkan nyaris baku bantam dengan para jurnalis yang meliput aktivitas di KPK saat itu.
Yang tidak patut bukan hanya soal perilaku para pengawal. Tapi pengerahan belasan pengawal, tatkala Anas mendampingi istrinya diperiksa oleh KPK. Apakah istrinya mau diganggu oleh seseorang atau beberapa orang sehingga memerlukan banyak pengawal? Mengapa ketika tahun lalu Anas datang ke KPK tidak didampingi belasan pengawal?
Di gedung KPK itu sendiri terdapat sejumlah polisi yang ikut menjaga keamanan. Apakah keputusan Anas membawa belasan pengawal berhubung politisi Partai Demokrat itu tidak percaya pada kemampuan polisi memberinya perlindungan keamanan?
Wajar saja kemudian bermunculan komentar. Kalau Anas yang belum menjadi “presiden” saja sudah punya pengawal yang berperilaku seperti itu, bagaimana jadinya kalau bekas anggota Komisi Pemilihan Umum itu benar-benar menjadi Presiden Indonesia?
Banyaknya ketidakpatutan dan kejanggalan di lingkar kekuasaan SBY, membuat kewibawaan presiden ikut turun. Hal itu tambah diperparah dengan ketidaktegasan presiden dalam beragam kasus, membuat Negara seperti tak punya pemimpin.
Konflik antara Polri dan TNI di Gorontalo yang seharusnya diselesaikan dalam skala nasional, tapi persoalan yang jauh lebih destruktif ketimbang hal-hal yang kerap dikeluhkan presiden selama ini, justru lepas dari Presiden SBY.
Begitulah jika sebuah negeri salah urus. Salah urus, lantaran yang menjadi pengurusnya tak memiliki kompetensi. Lihat saja, dalam hal pembahasan rencana pembatasan BBM bersubsidi, mau melarang kendaraan dengan cc tertentu untuk mengonsumsi premium saja, rapat kabinet tak mampu mengambil keputusan. Ya jelaslah, bagaimana mungkin mau memaksakan sesuatu yang tak logis—dimana tak ada satu pun cc itu yang bisa dijadikan pilihan—tapi anehnya jadi wacana dan usulan untuk pembatasan BBM subsidi. Jadi, salahkah jika ada yang mengatakan negeri ini dikelola oleh mereka yang tak memiliki kompetensi, kemampuan dan kapasitas?
Mengkhawatirkan sekaligus mengerikan, memang, keadaan republik ini, jika hal-hal di atas terus melanda. Dari persoalan perlindungan terhadap TKI yang terus dipertanyakan, pelesiran anggota DPR ke luar negeri dengan dalih kunjungan kerja atau studi banding, hal-hal yang tak patut, hingga kasus-kasus korupsi yang tak juga tuntas—karena lelet dan tak menyentuh yang benar-benar kakap semisal bernilai ratusan trilyun—mau ke mana sebenarnya republik ini berlabuh?
Title Foto atas-bawah: kampungtki.com, antarafoto.com, adajendeladunia.com, presidenri.go.id, mochbudiarto.wordpress.com