TASIKMALAYA (salam-online.com): Serangan kaum anti Islam terhadap rencana Pemkot Tasikmalaya untuk melaksanakan Syariah Islam bagi warganya yang Muslim tak hanya terjadi sekarang. Beberapa tahun lalu saat Perda Syariah digelindingkan di sejumlah daerah, kelompok sekular dan liberal yang notabene adalah kaum minoritas itu ramai-ramai menolaknya.
Sebenarnya Perda yang dulu ramai disosialisasikan di sejumlah daerah secara resminya disebut Perda Anti Maksiat, Perda Anti Minuman Keras, Perda Anti Pelacuran, Perda Anti Judi, dan sebagainya. Perda-perda yang hakikatnya adalah ingin mengajak masyarakat ke jalan yang benar itu, tampaknya sengaja disalahtafsirkan, dengan tujuan masyarakat menjadi alergi dan apriori.
Perda-perda yang bertujuan baik, yakni ingin memberantas penyakit masyarakat ini, sebagaimana sudah lama didengungkan pemerintah, justru disoal.
Jika yang menggugat bukan dari kalangan Islam, itu masih wajar—meskipun sebenarnya patut pula disoal: ajaran mana sih yang menolerir pelacuran, perjudian, mabok-mabokan, dan kemaksiatan lainnya? Kacaunya, yang paling vokal menyoal perda-perda ini adalah dari kelompok yang status di KTPnya adalah: Islam.
Dalam konteks Kota Tasikmalaya, Pemkot secara khusus mengeluarkan Perda Syariah No 12 Tahun 2009. Perda ini memuat tentang Tata Nilai Kehidupan Kemasyarakatan Berlandaskan Ajaran dan Norma Sosial Masyarakat Kota Tasikmalaya. Inti Perda ini berisi tata nilai kehidupan masyarakat yang berlandaskan ajaran Islam dan bertujuan mengendalikan 15 ‘perilaku tidak terpuji’, antara lain korupsi, perzinahan, homoseksualitas, perdukunan dan premanisme.
Perda ini belum dilaksanakan, sudah diributkan. Yang meributkan, siapa lagi kalau bukan kelompok sekular, liberal, LSM dan partai anti syariah. Sementara warga Tasik yang mayoritas (99 persen) adalah Muslim menyambut baik rencana penerapan syariah Islam itu. Ironisnya, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi pun menolak rencana penerapan Perda Syariah di Kota Tasik itu.
Inilah negeri aneh, yang sebagian elitnya menolak keinginan baik—tapi malah membiarkan kemaksiatan dan kemungkaran meraja lela. Beberapa tahun lalu, ketika Perda Anti Maksiat dilaunching di sejumlah daerah, tak pelak kaum anti Islam berusaha menjegal. Sama, sekarang juga begitu. Bahkan dengan beraninya mereka menuding Pemkot Tasikmalaya melakukan tindakan makar, subversif dan inkonstitusional.
Aktivis pegiat Syariah, Fauzan Al-Anshari, dalam pesan singkat yang diterima salam-online.com menyatakan, penolakan Raperda Syariah di Tasik oleh Mendagri menunjukkan kebohongan demokrasi yang katanya “suara rakyat suara Tuhan”. Jika aspirasinya untuk menegakkan hukum Tuhan pasti ditolak, “Tapi jika aspirasinya untuk menegakkan hawa nafsu pasti dibela,” ujarnya.
Maka, menurut Fauzan, demokrasi telah menjadi alat untuk mempertahankan kekuasaan pusat atas daerah walau hal itu jadi aspirasi daerah. Jadi, demokrasi hanya bebas diterapkan untuk selain hukum Islam.
Direktur An Nashr Institute, Munarman, SH, dalam perbincangannya dengan hidayatullah.com kemarin, Jumat (8/6/2012) menganggap tidak logis tudingan beberapa kalangan yang menyebut penerapan Peraturan Daerah (Perda) No 12 /2009 yang rencananya akan diterapkan Pemda Tasikmalaya, itu inkonstitusional.
Mantan Direktur Eksekutif Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) ini justru menilai yang inkonstitusional adalah mereka yang menolak Perda itu.
Menurut Munarman, konstitusi yang sekarang digunakan di Indonesia ini berdasarkan Dekrit Presiden 5 Jul 1959. Konsideran Dekrit tersebut menyatakan, “Undang-Undang Dasar yang dijiwai oleh Piagam Jakarta yang merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari konstitusi.”
“Di dalam Piagam Jakarta isinya sama persis dengan pembukaan UUD 1945, hanya ditambah kalimat, “Dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluknya”, pada bagian negara berketuhanan yang Maha Esa,” ungkapnya.
Jadi, tutur Munarman, penerapan syariat Islam adalah konstitusional. “Justru yang melarang penerapan syariat Islam itu yang inkonstitusional,” serunya.
Sementara pemahaman masyarakat secara sederhana, mereka umumnya tak mengerti Undang-Undang, Peraturan, dan sejenisnya. Umumnya pemahaman masyarakat Islam, yang namanya melaksanakan ajaran Islam itu, jelas sangat baik. Lantas, jika Pemkot Tasik ingin menerapkan syariat Islam bagi para pemeluknya, kenapa harus dilarang? (sal/sol)