Rokok, Dai, Dokter, dan Sentilan Taufiq Ismail
JAKARTA (salam-online.com): Ceritanya, pada setiap 31 Mei ditetapkan sebagai Hari Tanpa Tembakau se-Dunia. Bagi perokok itu tak ngefek. Buktinya pada tanggal itu para perokok asyik-asyik saja merokok, tanpa beban—meskipun samping kanan-kiri, depan-belakangnya yang tak merokok jadi korban sebagai perokok pasif.
Orang merokok di tempat umum semakin banyak dan kian parah, meskipun, di Jakarta, misalnya, Pemerintah DKI, sudah beberapa tahun lalu, persisnya sejak 1 Januari 2006, memberlakukan Peraturan Daerah (Perda) tentang larangan merokok di tempat umum. Berdasarkan Perda yang disahkan pada 4 Februari 2005 itu, maka ruang dan tempat-tempat umum seperti pusat perbelanjaan, bandara, terminal, tempat kerja, perkantoran, rumah ibadah, kendaraan umum (darat, laut, udara), harus bebas dari para perokok. Bagi para pelanggarnya akan mendapat sanksi berupa kurungan enam bulan atau denda Rp 50 juta.
Sebelum tahun 2000 dan setelahnya aturan sejenis pernah dikeluarkan pemerintah pusat, tapi tak pernah ada follow up-nya. Maka, tentu kita berharap—walau cuma larangan merokok di tempat umum, bukan larangan merokok secara umum—Perda ini benar-benar dilaksanakan, sehingga ruang publik bebas dari asap dan polusi yang sangat mengganggu bagi kaum yang selama ini tak merokok. Tapi ternyata, itu semua jauh panggang dari api. Perda itu tumpul. Tak ada tindakan yang benar-benar tegas berkelanjutan terhadap para perokok di tempat umum. Perda Larangan Merokok di tempat umum itu tak jalan.
Sesungguhnya, lahirnya Perda ini, menunjukkan bahwa merokok itu memang tidak sehat. Sayangnya, meski diakui merokok mendatangkan penyakit, tapi iklan-iklan rokok tetap diizinkan. Artinya, di satu sisi kita mengakui merokok itu membawa penyakit, di sisi lain kita disuguhkan dengan ajakan tak sehat lewat iklan rokok yang makin menjamur. Bahkan, dalam iklan dan bungkus rokok itu juga diselipkan peringatan: merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin. Tapi, sudah tahu berbahaya bagi kesehatan, ironisnya orang tetap diajak untuk merokok. Siapa yang bodoh?
Kita tentu sudah banyak yang tahu bahayanya merokok, tapi tetap saja orang ketagihan merokok. Yayasan Jantung Indonesia mencatat, selama tahun 2001 saja, dari 3.320 kematian penduduk, 9,2%-nya lantaran racun yang terkandung dalam rokok (Kompas, 4/2/2005). Sebuah penelitian di Amerika Serikat mengungkapkan, sekitar 440.000 warga AS meninggal setiap tahun disebabkan efek samping zat atau racun dan kimia lain yang terkandung dalam rokok. Bahkan disinyalir menjadi faktor utama penyebab kematian di negara ini (Sinar Harapan, 12/4/2005).
Mengutip tulisan Zainab Umar (Sinar Harapan, 12/4/2005), penyebab meningkatnya penyakit jantung (infarkmiokard) dan stroke—yang menurut data WHO menempati urutan pertama penyebab kematian penduduk dunia—di samping faktor makanan dan pola hidup yang tak sehat, di antaranya adalah merokok. Bukan saja menurut WHO, tak kurang dari 70 ribu artikel ilmiah membuktikan bahayanya merokok.
Tulus Abadi, penerima Tobacco Control Fellowship Program, Bangkok 2003, menulis, dalam kepulan asap rokok terkandung 4000 racun kimia berbahaya, dan 43 di antaranya bersifat karsinogenik (merangsang tumbuhnya kanker). Di antara zat berbahaya itu adalah tar, karbon monoksida (CO) dan nikotin. Karenanya, berbagai penyakit kanker mengintai, sebut misalnya kanker paru—90% kanker paru pada pria disebabkan rokok dan 70% untuk perempuan. Berikutnya, kanker mulut, kanker bibir, asma, kanker leher rahim, jantung koroner, darah tinggi, stroke, kanker darah, kanker hati, bronchitis, kematian mendadak pada bayi, rusaknya kesuburan wanita dan impotensi bagi kaum pria, disebabkan rokok.
Memang, efek bagi perokok tidak serta merta. Dampaknya akan terasa setelah 10-20 tahun. Tapi, gawatnya lagi, yang kena tak hanya si perokok, orang di sekitarnya (yang tak merokok) ternyata menerima efek lebih dari perokok. Mengapa? Orang yang tidak merokok (di tengah mereka yang merokok) akan menghirup dua kali lipat racun yang dihembuskan pada asap rokok oleh si perokok. Karena itu, dalam rangka untuk membatasi perilaku merokok di sembarang tempat, WHO membuat program “Kawasan Tanpa Rokok” (KTR). Sejumlah negara seperti Singapura, Malaysia, bahkan Vietnam, sudah menerapkan program ini. Di Malaysia, orang merokok di tempat umum didenda 500 ringgit, di Bangkok kena 2.000 baht.
Di India, tahun lalu DPR-nya mengeluarkan UU Anti Merokok. Negeri Bollywood ini, bukan saja menerapkan larangan merokok di tempat umum, tapi juga melarang iklan rokok. Selain itu, menjual produk rokok di dekat lembaga pendidikan, di India terlarang (ABC News Online, 2/5/04). Sungguh, Indonesia ketinggalan. Pasalnya, negeri mayoritas Muslim ini, seperti tersebut dalam goresan pena Taufiq Ismail yang berjudul “Indonesia Keranjang Sampah Nikotin”, merupakan “surga luar biasa ramah bagi perokok”.
Sebagai “surga” bagi perokok, peluang ini tak disia-siakan para konglomerat rokok. Dari anak kecil (SD) sampai orang tua, lelaki-perempuan, dari beragam status, ketagihan dengan racun ini. Taufiq Ismail mengungkap keprihatinan dalam puisinya: Di balik sekolah, murid-murid mencuri rokok/di ruang kepala sekolah ada guru merokok/di kampus mahasiswa merokok/di kafe dan diskotik pengunjung merokok/di gelanggang olahraga, atlet, pemain sepakbola dan bulutangkis juga merokok/dan ada juga dokter-dokter merokok.
Tak hanya dokter—yang mestinya jadi contoh—yang kedapatan merokok. Dalam acara HUT sebuah harian nasional di salah satu hotel di Jakarta, beberapa tahun lalu, Taufiq Ismail yang membacakan puisi “Indonesia Keranjang Sampah Rokok” menyatakan kesedihannya, berkenaan dengan banyaknya “ahli hisab”. Banyak kiai di pesantren yang dikenal sebagai “ahli hisab”. “Ahli hisab” yang dimaksud bukan pakar di bidang perhitungan penetapan awal dan akhir Ramadhan, melainkan “ahli hisab (p)” rokok. Padahal para ustadz dan kiai mestinya menjadi teladan. Jika para kiai dan pimpinan setiap pesantren yang memiliki ratusan dan ribuan santri, yang tersebar di segenap penjuru negeri ini, memberi contoh untuk tidak merokok—dan diikuti para santrinya—berapa miliar atau triliun rupiah dalam setahun yang dapat diselamatkan untuk kemaslahatan umat. Jika setiap pesantren di republik ini jadi contoh bebas rokok, kita tinggal menunggu masyarakat sekitar akan mengikuti.
Persoalannya, tak mudah meminta orang untuk berhenti merokok, sekalipun kiai atau ustadz. Tapi, kiai atau ustadz, yang notabene adalah dai, juru dakwah yang mengajak masyarakatnya untuk meninggalkan yang buruk menuju yang baik, mestinya harus lebih dahulu sadar untuk menjauhi yang tidak baik. Allah berfirman, “… Dan janganlah kamu membunuh dirimu…,” (QS an-Nisaa’: 29). “Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan…,” (QS al-Baqarah: 195). Rasulullah saw bersabda, “Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri atau orang lain,” (HR Ahmad & Ibnu Majah). “Setiap yang beracun adalah khamr (arak) dan setiap arak adalah haram,” (HR Muslim)
Dalam kaitan dengan rokok, kita tak perlu lagi membahas apakah haram atau makruh. Sejumlah ulama dengan tegas menyebutnya haram. Lihat juga dalam “Halal & Haram dalam Islam” dan “Fatwa-fatwa Kontemporer” (Dr Yusuf Qaradhawi). Kalau kita beranggapan makruh, dan perbuatan makruh itu kita lakukan terus, berulang-ulang, apa hukumnya? Para kiai, ustadz dan dai, tentu mengerti maksudnya.
Karenanya, adalah sangat ironis, manakala acara dakwah yang digelar sebuah stasiun televisi pada suatu malam Idul Fitri, diiringi dengan iklan rokok. Seorang presenter di tayangan dakwah itu memandu kuis yang meminta seorang hadirin untuk mengucapkan password berupa jargon dari merek rokok terkenal. Bagaimana bisa, program dakwah yang mestinya mengajak umat untuk meninggalkan yang buruk, justru mengiklankan racun?