Tanpa Khusyu’, Shalat Kehilangan Ruhnya

Barangkali hampir semua orang mengalami masalah dalam kekhusyuan shalat. Dengan kata lain, mayoritas orang yang shalat mengeluhkan tidak bisa khusyu’. Ada yang bisa khusyu’ di awalusaja, namun ketika sudah di pertengahan, hati dan pikiran sudah tidak bisa khusyu’ lagi.

Ada pula yang sejak awal sudah kesulitan menemukan nuansa khusyu’. Begitu banyak persoalan hidup membayangi pikiran dan mengganggu hatinya.

Karenanya, bila seorang Muslim meyakini bahwa khusyu’ adalah ruh dalam shalat dan tanpanya sebuah ibadah kehilangan makna dan bobotnya, maka tugas utamanya adalah terus berusaha mengevaluasi dan berjuang untuk mewujudkan shalat yang khusyu’.

Selain itu, kelezatan ibadah shalat sesungguhnya terletak pada khusyu’nya. Tanpa khusyu’, ibadah shalat akan terasa hambar dan tidak membekas sama sekali. Jika seseorang merasakan lezatnya ibadah, maka dia akan menikmatinya dan akan “ketagihan”.

Ibadah adalah kebutuhan ruh seorang mukmin, sebagaimana fisiknya membutuhkan makanan. Ibarat makanan, jika ibadah tidak “terasa”, maka dia tidak akan menikmatinya. Bahkan, tingkat pahala dan kualitas sebuah ibadah, terutama shalat, ditentukan oleh seberapa jauh khusyu’nya seseorang.

Kata seorang ulama, hakikat khusyu’ adalah ketika hati dekat kepada Allah dengan penuh ketundukan. Artinya, permasalahan utama khusyu’ adalah soal hati, sebelum menjadi persoalan khusyu’ pikiran dan organ fisiknya. Sebab, semua organ fisik dan pikiran mengikut apa kata hati. Jika hatinya khusyu’ dan dekat kepada Allah, maka pikiran dan fisiknya akan mengikutinya.

Karena itu, Ibnu Rajab mengatakan, “Khusyu’ adalah kelembutan, ketundukan dan ketenangan hati. Jika hati khusyu’ maka organ lain akan khusyu’.”

Maka sekali lagi, persoalan khusyu’ adalah persoalan hati yang paling utama sebelum yang lain. Dengan kata lain, meminjam istilah seorang ulama, jika hati seseorang lurus dan bersih, maka itu akan lebih mudah untuk khusyu’.

Hal lain yang sering dilupakan orang, khusyu’ sesungguhnya terkait erat dengan ketundukan seseorang kepada Allah ketika berada di luar shalat. Semakin seseorang komitmen dengan ajaran Allah di luar shalat, dalam kehidupan pribadi dan sosialnya, maka shalat justru menjadi “tumpahan kerinduan” bertemu dengan Allah. Di saat itulah, khusyu’ menjadi hal yang pasti terjadi. Karena itu Allah berfirman:

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

“Dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan,” (QS Al-Ankabut: 45).

Baca Juga

Kelebihan dan Keutamaan Orang Khusyu’ dalam Shalat

Shalat khusyu’ adalah dambaan setiap mukmin. Di sana kelezatan, kenikmatan, mi’raj-Nya jiwa ‘bertemu’ dengan Allah. Dengan khusyu’ dalam shalatnya, seorang mukmin layak mendapatkan surga tingkatan tertinggi, Al-Firdaus. Hal ini mengisyaratkan kaidah umum dalam syariat “al-jaza’ min jinsil ‘amal”; balasan itu setara dengan tingkat amal. Artinya, khusyu’ dalam shalat adalah amal yang sangat agung dan berat, bukan perbuatan enteng sehingga balasannya pun setara dengan tingkat beratnya amal itu.

{ قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ })المؤمنون:1-2(

“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya,” (QS Al-Mukminun: 1-2)

Bahkan sebelum mereka mendapatkan balasan surga Firdaus, di saat situasi paling krusial di hari kiamat, dimana semua makhluk dihadapkan pada panasnya kiamat, Allah justru memberikan “servis” khusus berupa naungan bagi orang-orang yang khusyu’. Saking khusyu’nya, air mata mereka berkaca-kaca saat beribadah dan berdzikir kepada Allah.

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:”سبعة يظلهم الله في ظله ،يوم لا ظل إلا ظله-وذكر منهم- ورجل ذكر الله خالياُ ففاضت عيناه” (متفق عليه)

Rasulullah saw  bersabda, “Tujuh golongan yang akan mendapatkan naungan dari Allah di hari tiada naungan kecuali naungan Allah… satu di antaranya…, seseorang yang mengingat Allah dalam keadaan sepi hingga menangis,” (HR. Muttafaq Alaih).

Karena pangkal utama kekhusyuan adalah dari hati, maka seorang mukmin harus menyadari bahwa penguasa hati sesungguhnya adalah Allah. Jika dia ingin khusyu’ hendaklah senantiasa berdoa kepada-Nya agar dijauhkan dari hati yang tidak khusyu’. Inilah doa yang diajarkan Rasulullah saw:

( اللهم إني أعوذ بك من قلب لا يخشع .. ) رواه الترمذي

Rasulullah berdoa, “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari hati yang tidak khusyu’,” (HR. Tirmidzi). Aamiin. Wallahu a’lam bish-shawab. (atb/spiritislam/salam-online)

Baca Juga