Rapor Hilang, Anak Kelas IV SD Kembali ke Kelas I: “Itu Kebodohan Sekolah dan Pelanggaran Atas Hak Anak”

Ilustrasi

MAKASSAR (salam-online.com): Muhammad Reynaldi (12), mungkin menjadi salah satu potret buruknya pengelolaan administrasi pendidikan di Indonesia. Cuma gara-gara rapornya hilang, Reynaldi yang sudah duduk di kelas IV SD, tak bisa melanjutkan sekolahnya. Dia terpaksa pindah sekolah. Namun karena tak ada bukti Reynaldi pernah bersekolah, dia terpaksa mengulang kembali dari kelas 1 SD.

Awalnya Reynaldi bersekolah di SD 1 KIP Barabarayya, Makassar. Prestasi di sekolahnya cukup baik. Reynadi beberapa kali masuk 10 besar di kelasnya. Tahun 2009 lalu, saat Reynaldi akan naik kelas V SD, tiba-tiba pihak sekolah meminta rapornya. Reynaldi heran karena dia yakin sudah menyerahkan rapor pada wali kelasnya.

“Jadi rapor hilang itu bukan di rumah. Tapi di sekolah. Reynaldi sudah menyerahkan rapor itu pada wali kelasnya,” kata Ani, orang tua Reynaldi saat berbincang dengan merdeka.com, Kamis (12/7/2012).

Masalah timbul karena pihak sekolah mengaku tidak memiliki data cadangan soal nilai-nilai Reynaldi selama bersekolah. Kepala Sekolah beralasan data-data milik Reynaldi ada di Dinas Pendidikan Kota Makassar dan Balaikota. Tapi mereka menolak memberikan pengantar bagi orang tua Reynaldi.

“Karena tidak ada surat pengantar dari sekolah, saya tidak diterima di Dinas Pendidikan. Di Balaikota pun tidak ada jawaban. Anak saya jadi tidak bisa bersekolah. Masak dia harus mengulang dari kelas 1 SD karena tidak ada catatan nilainya,” kata Ani.

Ani pun menanyakan apakah Reynaldi mau mengulang? Reynaldi mengangguk. “Biar saja mengulang, asalkan bersekolah,” kata Ani menirukan ucapan anaknya.

Agar tak malu, Ani membawa Reynaldi pindah sekolah. Lagi-lagi karena alasan tak ada data siswa dan rapor, Reynaldi pun tak bisa langsung duduk di kelas V SD. Dia harus mengulang dari kelas I SD. Tapi semua dijalani bocah kelahiran 26 Juni 2000 ini dengan tabah.

“Tahun ini dia baru naik ke kelas III SD. Padahal usianya sudah 12 tahun. Teman-temannya di sekolah lama sudah lulus SD dan masuk SMP semua,” isak Ani sedih.

Ani menyesalkan pejabat dinas pendidikan yang tidak mau menolong anaknya. Dia berharap mereka mau membantu anaknya yang harus terhambat gara-gara persoalan sepele.

Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait

“Saya sudah coba kemana-mana. Tapi tidak ada yang mau bantu,” keluhnya. Tragis.

Kasus Reynaldi ini, mendapat kecaman banyak pihak. Hal ini dianggap sebagai kebodohan pihak sekolah yang tidak tertib administrasi dan tidak peka terhadap kondisi siswa didiknya.

“Bodoh. Tidak perlu mengulang. Sekolah harusnya lihat saja track recordnya. Apalagi dia (Reynaldi) sudah sekolah di sana bertahun-tahun,” ujar anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Sulawesi, Ferry FX Tinggogoy di Jakarta, Kamis (12/7/2012).

Ferry menambahkan, tidak ada alasan bagi pihak sekolah untuk tidak menyimpan data cadangan soal nilai siswa. Seharusnya, saat rapor hilang, pihak sekolah punya rekapan semua datanya.

“Datanya harusnya ada toh. Ini pasti karena ada unsur sentimen,” kata Ferry.

Ferry menilai sekolah sangat bersalah dalam hal ini. Harusnya saat rapor Reynaldi hilang, pihak sekolah menyelesaikannya secara internal. Reynaldi tidak perlu mengulang dari kelas I, apalagi sampai pindah sekolah.

Pakar Pendidikan Prof Dr Arif Rahman

“Sekolah yang salah. Masak anak-anak dikorbankan,” tegas dia.

Pengamat pendidikan Arif Rahman menyayangkan hal ini. Menurutnya guru harus memiliki back up data nilai semua siswanya. Dia mempertanyakan seorang anak didik yang terhambat pendidikannya, cuma gara-gara masalah sepele.

“Tidak benar itu. Nilai siswa itu dipegang di setiap guru. Bohong kalau sekolah bilang tidak ada back up nilai atau data murid,” kata Arif Rahman di Jakarta, Kamis (12/7/2012).

Arif juga mempertanyakan sekolah yang tidak punya itikad baik. Seharusnya, sekolah mau memberikan pengantar, agar anak itu bisa melanjutkan sekolah. Apalagi sampai membiarkan anak sekolah mengulang dari kelas I lagi.

“Ini aneh. Salah semua,” kata pria bergelar profesor tersebut.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Mohammad Nuh mempertanyakan pengelolaan administrasi SD 1 KIP Barabarayya, Makassar, Sulawesi Selatan itu.

“Kalau rapornya hilang, mestinya tinggal buka buku induknya. Sehingga tidak logis ini, jika harus mengulang ke kelas I,” kata Nuh di sela rapat dengan komisi X DPR di gedung Parlemen, Senayan Jakarta, Kamis (12/7/2012).

Menurut Nuh, harusnya Reynaldi tidak mengulang kembali ke kelas I. Sebab di setiap sekolahan, pasti memiliki buku induk yang merekap seluruh data siswa. Termasuk rapor atau data penting lainnya.

“Ya gak mungkin. Di setiap sekolah kan punya buku induk. Dari rapor dipindahkan ke buku tebal,” lanjutnya.

Mendiknas Prof Dr Muhammad Nuh

Nuh menepis munculnya kasus Reynaldi sebagai bentuk gagalnya program pendidikan, yang telah dicanangkan pemerintah pusat. Menurutnya, justru pemerintah kabupaten kota yang harus bertanggung jawab. “Ya tidak, itu urusan kabupaten kota,” ujarnya.

“Itu pelanggaran hak anak atas pendidikan dan Diknas harus bertanggungjawab,” ujar Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, Kamis (12/7/2012).

Arist menambahkan, guru dan kepala sekolah sangat tidak bijak ketika menangani masalah Reynaldi. Seharusnya, masalah pihak sekolah yang mengaku tidak memiliki data-data cadangan soal nilai-nilai Reynaldi selama bersekolah, jangan dijadikan alasan.

“Kelalaian sistem sekolah jangan dijadikan alasan untuk menghambat pendidikan,” katanya.

Jika sudah demikian, bagaimana penyelesaiannya? Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sudah merespon. Pakar pendidikan Prof Dr Arif Rahman sudah bicara. Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait sudah menyatakan itu pelanggaran atas hak anak. Mendiknas pun sudah menegaskan kelirunya pihak sekolah. Lantas, apa solusinya?

Jika  menterinya sudah ikut menanggapi, ya tunggu apa lagi, selesaikanlah segera! Siapa yang bertanggungjawab atas kasus ini harus mempertanggungjawabkannya dan mendapatkan sanksi, karena sudah mengabaikan masa depan anak.

Dan, jangan hanya berhenti di ranah bicara. Jika bisanya cuma bicara, itu namanya membuang air liur basi! (merdeka/salam-online)

Baca Juga
Baca Juga