Rusuh Sampang: Benarkah ‘Proyek’ Saling Menguntungkan dengan Pihak Asing?

ANALISA (salam-online.com): Presiden SBY mengritik kinerja intelijen, sehingga Sampang kembali meledak. Bagaimana sesungguhnya konflik Syiah dengan umat mayoritas negeri ini lepas dari pantauan intelijen, baik BIN ataupun kepolisian?

Lantas, apakah betul apa yang dikatakan anggota DPR Nasir Jamil bahwa ada keterlibatan asing dalam rusuh Sampang? Dan benarkah rusuh Sampang merupakan ‘proyek’ saling menguntugkan dengan pihak asing?

Apa yang diungkap Nasir Jamil bahwa ada keterlibatan asing dalam rusuh Sampang, bisa ditelusuri lebih dalam.

Kita mulai dari konflik yang memang sudah mengakar antara Syiah dengan Kaum Muslimin yang mayoritas. Sponsor utamanya adalah Zionis Yahudi laknatullah. Operatornya adalah negara-negara yang menjadi pendukung Zionis Yahudi.

Di atas permukaan, Negara Syiah seperti Iran tampak bermusuhan dengan AS dan sekutunya. Sementara kelompok anti Syiah menyebut mereka sebagai “satu jamaah” yang “beda jalur” tapi di bawah kendali Yahudi. Benarkah?

Lalu, bagaimana “jalur-jalur” dalam “jamaah” Zionis Yahudi dengan gerakan rahasia dan bawah tanah Freemasonry dan Illuminati-nya ini bergerak? Tulisan ini membatasi sorotannya dengan skenario memanfaatkan konflik Syiah dan umat Islam yang mayoritas di berbagai negeri. Contoh kasus adalah Indonesia.

Syiah dipilih karena kalangan mayoritas Muslim menyebutnya sudah keluar dari rel Islam. Jadi, seperti halnya Ahmadiyah, umat Islam lebih mudah disulut. Umat Islam yang mayoritas selama ini menilai Syiah sudah mengubah ayat-ayat dalam Qur’an, mencaci para sahabat Rasulullah seraya mengagungkan Ali bin Abi Thalib dan keturunannya. Jadi, sangat “seksi” jika terus dihadapkan dengan umat mayoritas Islam.

Karenanya, menurut kelompok yang anti Syiah, salah satu cara Zionis Yahudi untuk melemahkan musuh utamanya, umat Islam, adalah dengan “mengeksiskan” Syiah di sejumlah negara mayoritas Muslim. Komunitas Syiah akan menjadi bom waktu di  kalangan mayoritas Muslim untuk diskenariokan memelihara konflik yang jika dibutuhkan akan siap “diledakkan”.

Lama, memang, tak lagi terdengar konflik Syiah dengan umat mayoritas di negeri ini. Pada era 1980-an sampai awal 1990-an, Syiah dan kaum mayoritas di Indonesia terlibat dalam “perang kata” dan saling hujat. Bahkan dalam sebuah seminar yang diselenggarakan MUI Pusat pada 1987, Syiah sudah disebut sesat. Belakangan “saling serang” itu reda.

Pada awal dan akhir 1990-an, lalu masuk ke tahun 2000-an praktis di republik ini tak terdengar lagi konflik Syiah dengan kaum mayoritas Muslim yang sering diasosiasikan sebagai Ahlus-Sunnah itu. Hingga pada 2010, ketika Presiden AS Barack Obama dan Presiden Iran Mahmud Ahmadinejad dikabarkan akan mengunjungi Indonesia, maka dimulailah skenario ini.

Tadi sudah disebutkan oleh kelompok anti Syiah bahwa di atas permukaan antara AS dan Iran diskenariokan “bermusuhan”. Dalam peta “ satu jamaah” yang “beda jalur”, gerakan Freemasonry dan Illuminati Zionis Yahudi “menugaskan” salah satu Negara pendukung utamanya sebagai operator dalam memicu dan memacu konflik ini.

Rencana memanfaatkan umat Islam yang anti Syiah untuk berunjukrasa menolak kedatangan Ahmadinejad batal dilakukan, lantaran urungnya kunjungan Presiden Iran itu. Sementara kunjungan Obama terlaksana meskipun mengalami penundaan beberapa kali.

Tapi “proyek” ini sudah kadung berjalan. Aksi penolakan Ahmadinejad yang batal mengunjungi Indonesia dialihkan pada skenario lain, sehingga adalah tak aneh jika di beberapa daerah di Jawa Timur muncul konflik fisik.

Skenario berlanjut. Pada 2011 etnis Madura “terpilih” sebagai salah satu “pemeran utama” dalam konflik yang di antaranya bertujuan untuk melemahkan umat dan bangsa Indonesia.

Pilihan konflik di daerah kepulauan Madura, tentu bukan tanpa alasan yang kuat. Madura dianggap etnis yang mudah disulut, apalagi kalau dibangkitkan semangat pembelaan terhadap Islam—seraya menyebut Syiah sebagai kelompok sesat, sebagaimana juga dikatakan oleh Ketua PBNU Said Aqil Siradj. Menurut Aqil Siradj, di dunia Islam, Syiah dinilai sesat.

Skenarionya, masing-masing kelompok disusupi. Syiah yang minoritas disusupi. Umat Islam yang mayoritas pun diinfiltrasi. Bahkan intelijen pun “dibuat tak berdaya”.

Jadi, jika Presiden SBY mengritik kinerja intelijen dalam rusuh Sampang ini, sesungguhnya bukan intelijen kecolongan. Sebab, “pusaran permainan” ini adalah “proyek” yang saling menguntungkan. Seperti dikatakan pengamat Intelijen Umar Abduh kepada itoday (27/8/2012), ini adalah skenario yang dijalankan Presiden SBY untuk mengalihkan isu korupsi seperti Century.

“Ini konflik horizontal untuk mengalihkan isu seperti Century, korupsinya Demokrat dan buruknya kabinet SBY,” kata Umar Abduh. Maka, bertemulah kepentingan dengan misi asing itu.

Karenanya, Umar mencurigai, kasus Sampang ini sengaja dimunculkan. Terlihat Presiden SBY yang tidak langsung memberikan kecaman ataupun memerintahkan menuntaskan peristiwa berdarah tersebut. “Harusnya bukan mengadakan rapat kabinet tetapi memerintahkan langsung menangkap pelakunya dan segera atasi ungkap semuanya,” jelasnya.

Kata Umar, Badan Intelijen Nasional (BIN) seharusnya mengetahui pergerakan orang-orang Syiah maupun kelompok yang disebut sebagai penyerang. “Konflik Syiah di Sampang itu harusnya intel mengetahui termasuk pergerakan orang-orang  yang menentangnya, kalau sampai terjadi bentrok itu ya bukan intel. Ini disengaja,” papar Umar.

Selain itu, menurut Umar, konflik di wilayah Jawa Timur yang merupakan basis NU tidak bisa dilepaskan dengan Said Aqil Siradj sebagai bagian dari Rezim SBY. “NU terbagi dua, pertama kelompok Said Aqil antek Syiah. Kedua, kelompok Hasyim Muzadi anti Syiah. Said Aqil ini bagian dari SBY. Ini bagian-bagian yang dimainkan pihak-pihak pemerintah,” ungkapnya.

Ia mengatakan, cara mengatasi persoalan ini harus membersihkan Syiah dari Sampang, Madura. “Bersihkan sampang dari Syiah kecuali bertaubat sebagaimana teman-temannya yang lain. Kalau terang-terangan Syiah di Madura ya jelas memunculkan konflik,” ujar Umar.

Dari keteragan Umar Abduh di atas, maka ini bisa disebut “proyek” sekaligus sebagai simbiosis mutualisme, menggusur isu-isu seksi kasus-kasus korupsi yang melibatkan tokoh dan kelompok tertentu.

Baca Juga

Skenario umat Islam yang mayoritas menyerang Syiah yang minoritas, jangan salah, sesungguhnya ini menguntungkan Syiah. Imej yang ingin dibangun adalah bahwa Syiah yang minoritas dikesankan dizalimi dan tertindas. Media membantu memblow-upnya. Itu akan mengundang simpati. Pembentukan opini melalui media sebagai komunitas yang tertindas, menjadi sesuatu yang sangat berarti bagi Syiah. Sebaliknya sebagai imej buruk bagi kelompok yang disebut sebagai penyerang.

Sekali lagi, ini adu domba yang sebenarnya menguntungkan Syiah. Opini pun terbangun. PBNU mengecam tindakan anarkis yang disertai pembakaran “markas” Syiah itu. GP Ansor mengutuk pelaku penyerang Syiah.

Kelompok-kelompok liberal jangan ditanya. Ini adalah kesempatan untuk “menghajar” umat Islam—meskipun kemudian dari kalangan Islam sendiri mencoba melepaskan rusuh ini dari “baju” Islam dan menyebutnya sebagai kasus kriminal. Bahkan Menteri Agama lebih mempersempit lagi dengan menyatakan rusuh  Sampang sebagai konflik keluarga.

Jika konflik Sampang ini, antara lain, jadi alat untuk “menghantam” Islam dan kaum Muslimin dan sebaliknya lebih mengangkat citra Syiah, lebih membuat eksis komunitas Syiah, maka bisakah ini disebut sebagai ‘proyek bersama’ kaum anti Islam sekaligus sebagai jalan agar komunitas Syiah diterima publik–khususnya  umat Islam?

Pertanyaan di atas perlu dilontarkan, karena  ketika warga NU di Jember diserang oleh Syiah beberapa bulan lalu, tak ada kutukan terhadap Syiah. Tak ada kecaman atas serangan yang melukai pengurus di pesantren yang diserang itu. Bahkan media sekular pun tak ada yang mem-blow-upnya. Sepi. Beda halnya jika umat yang mayoritas di negeri ini yang lebih dahulu menyerang, termasuk terhadap  Syiah. Geger. Banyak pihak yang komen. Suara laris diobral.

Skenario seperti tersebut di atas memang sengaja dibuat. Di atas permukaan seakan Syiah yang minoritas adalah korban. Tapi pada hakikatnya, justru umat mayoritas inilah yang jadi korban. Terutama korban dari imej buruk dan pelemahan yang dilakukan gerakan Zionis dengan Negara operator setianya.

Fakta menarik tentang keterlibatan asing dalam konflik Syiah dengan umat mayoritas di Indonesia diceritakan oleh seorang aktivis Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI). Menurut pemimpin redaksi sebuah media Islam ini, ia beberapa kali dihubungi salah satu kedubes asing  di Jakarta untuk mengetahui sekaligus ingin mendapatkan hasil penelitian MIUMI tentang Syiah pasca rusuh Sampang yang pertama.

Aktivis ini menolak, meski dihubungi beberapa kali. Karena, menurutnya, hasil riset itu bisa dikonsumsi publik. Dan yang sebenarnya keinginan kedubes asing itu, ujarnya, lebih dari itu, ialah ingin bertemu dengannya berkaitan dengan hasil riset itu.

Mengapa kedubes asing itu tertarik dengan hasil riset tentang Syiah di Indonesia, terutama setelah rusuh Sampang yang pertama? Ya, itu karena memang ada kepentingan. Mereka sedang ada “proyek” dan “mainan” yang berkaitan dengan meneruskan “konflik” Syiah dan umat mayoritas di negeri ini agar lebih greget. Konflik ini bagi negara-negara “jamaah” Zionis sangat membantu untuk pelemahan dan penguasaan Indonesia.

MIUMI sendiri menyerahkan hasil riset itu kepada Kementerian Agama pada 16 April 2012 seperti diberitakan hidayatullah.com (18/4/2012).

Empat hasil penelitian yang diberikan kepada pihak Kemenag RI tersebut antara lain: (1) buku “Syiah di Sampang,” karya Ustadz Ahmad Rafi’i Damyanti; (2) buku “Himpunan Fatwa dan Pernyataan Tokoh dan Ulama Indonesia” tentang Syiah’; (3) dokumentasi (clipping) buku-buku Syiah Indonesia; dan (4) buku “Himpunan Fatwa DR Yusuf Al Qaradhawi tentang Syiah”.

Setelah rapat koordinasi rusuh Sampang: Kapolri, Mendagri & Menteri Agama (detiknews)

Pihak Kemenag RI sendiri mengakui bahwa mereka masih “meraba dalam gelap” tentang kesesatan Syiah, sehingga dengan hadirnya buku-buku tersebut, mereka menghaturkan sangat terima kasih.

Sebagai tindak lanjut dari laporan pihak MIUMI tentang kesesatan Syiah tersebut, pihak Kemenag RI berjanji akan segera menindaklanjuti dengan mengeluarkan sikap nyata terhadap Syiah.

“Terimakasih (kepada MIUMI), informasi yang semula meraba dalam gelap kian terbuka,” ujar Dirjen Bimas Islam Kemenag RI, Prof DR Abdul Jamil.

Dalam silaturrahim MIUMI dengan Kemenag RI tersebut, Wasekjen MIUMI, Ustadz Fami Salim Zubair juga menyampaikan sedikit rekomendasi tentang bagaimana harus bersikap terhadap Syiah.

Dalam pemaparan Ustadz Fahmi, masih ada sedikit kemungkinan Syiah dan umat mayoritas bisa hidup berdampingan, asalkan Syiah berkenan untuk mengakui kebenaran Al-Qur’an dan menghentikan celaan dan hujatan mereka terhadap para Sahabat Nabi.

“Ada empat syarat agar Syiah bisa berdamai. Pertama, akui secara tegas bahwa Al-Qur’an itu otentik (tidak mengalami tahrif).  Kedua, hentikan caci-maki terhadap sahabat-sahabat dan istri Rasul saw. Ketiga, Syiah tidak boleh menyebarkan pahamnya di tengah komunitas umat Islam.  Keempat, mesti ada pengakuan terhadap hak-hak kaum minoritas baik itu Sunni maupun Syiah,” paparnya mengutip pernyataan Dr. Yusuf Qaradhawi.

SBY kritik kinerja intelijen (?)–(merdeka.com)

Nah, hal-hal yang sangat sensitif inilah yang menarik pihak asing untuk berselancar dalam arus putaran kompor konflik yang lebih jauh. Pilihan Sampang, Madura, sebagai wilayah yang ‘diselancari’ tentu sudah benar-benar diperhitungkan sebagai tempat yang sensitif dan sangat mudah untuk diledakkan.

Jadi, apa yang disampaikan oleh Nasir Jamil tentang keterlibatan asing dalam rusuh Sampang itu, bisa dibilang mengandung kebenaran.

Masalahnya pula, ini bukan sekadar “proyek” asing, tapi juga ada kepentingan saling membantu, termasuk pengalihan isu-isu seksi, utamanya kasus-kasus korupsi yang melibatkan para tokoh dan kelompok tertentu. Jadi, saling menguntungkan beberapa pihak. Korbannya, lagi-lagi umat Islam. (isa/salam-online.com)

Baca Juga