JAKARTA (SALAM-ONLINE): Benarkah Indonesia Negara Demokrasi? Pertanyaan itu dilontarkan Ketua Umum Front Pembela Islam (FPI) Habib Muhammad Rizieq Syihab dalam acara bertajuk NKRI Bersyariah, di Jakarta, Jumat (22/2/2013).
Secara singkat Habib Rizieq menguraikan, bahwa ketika perdebatan tentang Dasar Negara sebelum kemerdekaan diproklamirkan, Muhammad Yamin, Soepomo dan Soekarno mengajukan usulannya.
Pada tanggal 29 Mei 1945 dalam sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) Muhammad Yamin mengusulkan Lima Dasar Negara tanpa menggunakan istilah Pancasila. Lima Dasar Negara usulan M. Yamin adalah: 1. Peri Kebangsaan, 2. Peri Kemanusiaan, 3. Peri Ketuhanan, 4. Peri Kerakyatan, 5. Kesejahteraan Sosial.
Pada sidang terakhir BPUPKI 1 Juni 1945 Soekarno mengajukan Lima Dasar: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan, 3. Mufakat atau Demokrasi, 4. Keadilan Sosial, 5. Ketuhanan.
“Baik usulan Soepomo, Yamin maupun ‘Pancasilanya Soekarno’, itu tidak pernah menjadi kesepakatan maupun keputusan BPUPKI,” kata Habib Rizieq.
Kata Habib Rizieq, sidang berjalan alot. BPUPKI terbelah antara kelompok sekuler dengan kelompok Islam. Kelompok Islam sudah tentu menginginkan Negara berdasarkan Islam, dan ditentang kelompok sekuler.
Akhirnya sidang membentuk Panitia Sembilan. “Ada empat ulama dalam Panitia Sembilan ini, yaitu KH Abdul Wahid Hasyim (NU), KH Abdul Qohar Muzakkir (Muhammadiyah), KH Agus Salim dan Abikoesno Tjokrosoejoso, keduanya dari Syarikat Islam,” ujar Rizieq. Sementara golongan sekuler diwakili Soekarno, M. Hatta, M. Yamin dan Ahmad Soebardjo. Dan, kalangan Kristen diwakili A.A Maramis.
Habib Rizieq menegaskan, justru Panitia Sembilan yang berhasil menetapkan Dasar Negara yang dibingkai dalam Piagam Jakarta pada 22 Juni 1945. Lima Dasar Negara itu adalah: 1. Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, 2. Kemanusiaan yang adil dan beradab, 3. Persatuan Indonesia, 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, 5. Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Malah sebelumnya, bunyi sila pertama versi Piagam Jakarta itu adalah: ‘Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam’, tanpa diikuti kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’. Tetapi kemudian muncul kompromi dengan menambah kalimat ‘bagi pemeluk-pemeluknya’.
Disepakati pula saat proklamasi kemerdekaan, Piagam Jakarta ini secara resmi akan dibacakan. Tapi, kata Habib Rizieq, terjadi penelikungan. Pada 17 Agustus 1945 itu bukan Piagam Jakarta yang secara resmi dibacakan, melainkan secara dadakan Soekarno membuat teks proklamasi dengan singkat lewat tulisan tangan. Teks proklamasi dadakan dan singkat inilah yang dibacakan untuk proklamasi kemerdekaan sebagaimana dikenal sampai sekarang.
Parahnya lagi, pada keesokan harinya, 18 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) bersidang, dan terjadilah pengkhianatan. Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam sebagaimana dalam sidang BPUPKI sebelumnya, terjadilah pencoretan tujuh kata dalam sila pertama yang berbunyi: ‘kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya’.
Dalih bahwa kalangan Kristen Indonesia Timur akan menarik diri dari NKRI jika Piagam Jakarta dideklarasikan seperti disampaikan Hatta yang, katanya, mendapat informasi dari opsir Jepang, menurut sejarawan dan budayawan Ridwan Saidi, itu dusta belaka. Tak ada faktanya.
Tanpa melibatkan wakil-wakil Islam dalam pengesahan Dasar Negara Pancasila yang berbeda dengan Piagam Jakarta, sesungguhnya sidang PPKI 18 Agustus 1945 itu tidak sah. Jadi, sebenarnya sampai sekarang jika umat Islam menegakkan syariat Islam di republik ini adalah sah. Tak ada alasan untuk menentang keputusan yang telah disepakati para pendiri bangsa ini.
Toh, meskipun demikian, kata Habib Rizieq, sila pertama yang diganti (tanpa melibatkan wakil-wakil Islam) menjadi ‘Ketuhanan Yang Maha Esa”, itu pun jelas maksudnya Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Esa itu hanya ada dalam Islam. Ditambah lagi ditegaskan dalam Muqaddimah UUD 1945 pada alenia ketiga: “Atas berkat rahmat Allah yang Maha Kuasa”, ini jelas merujuk kepada Islam.
Dengan pengkhianatan ini, sesungguhnya sidang PPKI yang tak melibatkan wakil-wakil Islam yang sudah menyepakati Piagam Jakarta bersama kelompok sekuler dan satu orang wakil dari golongan Kristen, adalah tidak sah. Dasar Negara yang sah adalah yang disepakati dan ditandatangani pada 22 Juni 1945 yang terdapat dalam Piagam Jakarta.
“Historisnya, Pancasilanya Soekarno ditolak. Yang disepakati adalah Dasar Negara yang terdapat dalam Piagam Jakarta,” ungkap Habib Rizieq.
Lantas, kata Habib Rizieq, bagaimana ceritanya ujuk-ujuk Indonesia disebut sebagai Negara Demokrasi? Pancasila yang dijadikan sebagai Dasar Negara (lewat pengkhianatan) itu tidak menyebut republik ini sebagai Negara Demokrasi.
Tapi, lucunya, ungkap Habib Rizieq, Soekarno pernah mendeklarasikan Demokrasi Liberal dan Demokrasi terpimpin untuk tujuan melindungi Komunisme. Sementara Soeharto mendeklare Demokrasi Pancasila untuk melindungi Kebatinan.
Da, sekarang, yang katanya era ‘reformasi’ lebih kebablasan lagi. Penyelewengan dengan menggunakan demokrasi lebih gila lagi. Jadi, jangankan untuk “bertaubat” mengembalikan syariat Islam sesuai kesepakatan dalam Piagam Jakarta, Pancasila sendiri diselewengkan dengan menyelenggarakan pemilihan langsung (presiden dan kepala daerah)–yang mengeluarkan banyak uang, sehingga pada nekat korupsi mencari uang haram agar terpilih dalam “pesta demokrasi”, yang kalau sudah terpilih muncul lagi aksi untuk mengembalikan modal plus keuntungannya dengan cara-cara yang tak halal, sehingga jadilah demokrasi melahirkan para koruptor!
Habib Rizieq menceritakan, ia pernah mendapat kunjungan dari beberapa jenderal membahas soal ini. Menurut para jenderal itu, Indonesia adalah Negara Demokrasi. Lalu, ujar Habib Rizieq, tidak ada kata-kata atau kalimat dalam Pancasila atau UUD 45 yang menunjukkan Indonesia sebagai Negara Demokrasi.
“Ada,” jawab para jenderal itu, “Dalam Pancasila sila ke-4, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan itu maksudnya adalah demokrasi.”
“Itu Musyawarah. Musyawarah itu berbeda dengan Demokrasi,” kata Habib Rizieq kepada para jenderal itu. Kemudian Habib Rizieq menguraikan beda Musyawarah dengan Demokrasi.
Akhirnya, cerita Habib Rizieq, jenderal-jenderal itu mengangguk bahwa Indonesia bukan Negara Demokrasi, melainkan, semestinya disebut Negara Musyawarah.
Celakanya lagi, kata Habib Rizieq, jika Soekarno mendeklare Demokrasi Liberal dan Demokrasi Terpimpin dan Soeharto memaksakan istilah Demokrasi Pancasila, eh di era “reformasi” kian parah. Ada liberalisasi Pancasila. Pancasila diliberalkan.
Sebut misalnya, pemilihan presiden langsung atau kepala daerah yang dipilih langsung, itu justru bertentangan dengan sila keempat Pancasila yang menganut asas musyawarah untuk mufakat.
Dalam konteks ini, menurut Habib Rizieq, ada unsure kesengajaan dengan mengorupsi terminologi (istilah). Kelompok sekuler menafsirkan seenaknya, sehingga kata Musyawarah ditafsirkan sebagai Demokrasi.
Dalam hal ini, Habib Rizieq menambahkan, termasuk, misalnya, penggunaan istilah parlemen, itu juga untuk mengaburkan kata Musyawarah dan Perwakilan. “Jangan sebut parlemen, tapi DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat),” tegasnya.
Ini bermula dari pengkhianatan terhadap islam dan kaum Muslimin yang berkuah darah bermandikan keringat dalam merebut kemerdekaan republik ini.
Umat Islam sebagai pemegang saham mayoritas negeri ini adalah yang berhak menetapkan Dasar Negara dan mengisi pembangunan republik dengan landasan syariat islam.
Jika ada pihak yang mengatakan, ini bukan Negara Islam, kalau ente mau menegakkan syariat Islam di Negara ini, dan tidak suka dengan kondisi Indonesia sekarang, ‘silakan keluar’, maka, kata Habib Rizieq, justru sebaliknya, merekalah yang harus keluar.
Sebab, penetapan Dasar Negara Indonesia yang dibingkai dalam Piagam Jakarta itulah yang sah, karena disepakati dan ditandatangani oleh para pendiri bangsa ini, tapi terjadi penelikungan dan pengkhianatan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah proklamasi kemerdekaan—dimana teks proklamasi yang semestinya adalah pembacaan Piagam Jakarta secara resmi oleh Soekarno, bukan teks proklamasi dadakan hasil dari tulisan tangan presiden pertama RI itu.
Bahkan, tak hanya menyepakati Dasar Negara dalam bingkai Piagam Jakarta, umat Islamlah yang bermandikan darah bercucuran keringat untuk merebut dan memerdekakan republik ini. Jadi, masuk akal jika kaum Muslimin adalah yang paling berhak mengatur negeri ini. Ini historis. Jangan mengingkari sejarah! Ini negeri Islam. Jadi, kata Habib Rizieq, umat Islam harus mengisi negeri ini dengan syariat Islam, bukan malah minggir apalagi keluar dari NKRI.
Jadi, apapun ceritanya, mengungkap historis perjalanan bangsa dan Negara ini, lebih dari itu, Indonesia sebenarnya adalah Negara yang berdasarkan Islam, setidaknya bagi pemeluk-pemeluknya diwajibkan menjalankan dan menegakkan syariat Islam di persada ini. Yang protes dan menghalangi, jutsru menentang kesepakatan ditandatanganinya perumusan Dasar Negara dalam Piagam Jakarta!
Kalaupun tak mengacu pada Piagam Jakarta, Negara ini berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yakni Allah Subhanahu Wata’ala. Sebab, Tuhan Yang Maha Esa itu adalah Allah. Ditambah lagi dalam Muqaddimah UUD 1945 ditegaskan, republik ini merdeka “Atas Berkat Rahmat Allah…”
Bahkan, imbuh Habib Rizieq, dalam batang tubuh UUD 45 pasal 29 ayat 1 dipertegas lagi, ”Negara berdasar Atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Jadi, kata Habib Rizieq, sungguh sangat sah jika Indonesia berada dalam NKRI Bersyariah—Negara Kesatuan yang melaksanakan dan menegakkan syariat Islam. Negara yang berlandaskan Islam, menjalankan syariat Islam, setidaknya bagi para pemeluknya—dan bukan Negara Pancasila, apalagi Negara Demokrasi. (salam-online)