JAKARTA (SALAM-ONLINE): Pada acara bedah buku ‘Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam” karya Mohamad Fadhilah Zein, terungkap kisah ‘aneh’ bin ‘lucu’ dari Pengamat “Terorisme” Mustofa B Nahrawardaya.
Aktivis muda Muhammadiyah ini mengisahkan saat peristiwa bom Marriott yang pertama, pada Selasa, 5 Agustus 2003. Ledakan di hotel JW Marriott di kawasan Mega Kuningan, Jakarta, pada pukul 12:45 dan 12:55 WIB itu berasal dari bom mobil dengan menggunakan Toyota Kijang nomor polisi B 7462 ZN yang dikendarai oleh Asmar Latin Sani. Sebanyak 12 orang meninggal dan tewas dalam ledakan tersebut, termasuk Asmar Latin sani, dan mencederai 150 orang lainnya.
‘Aneh’nya, kata Mustofa, badan si pembawa bom dari dalam mobil kijang di depan lobi hotel itu hancur, tapi ‘lucu’nya, kepalanya (Asmar Latin Sani, red) ada di lantai 4 JW Marriott. Kok bisa terpisah? “Nah, …bagaimana mungkin itu?” tanyanya saat menjadi salah seorang pembicara bedah buku ‘Kezaliman Media Massa terhadap Umat Islam’ di Aula Buya Hamka, Masjid Agung Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Ahad (21/7/2013) .
“Karena itulah, itu yang saya maksud fakta-fakta, termasuk kasus-kasus ‘terorisme’ itu bisa dibuat sedemikian rupa,” imbuh Mustofa. Dan, lebih parah lagi fakta-fakta ‘aneh’ dan ‘lucu’ itu tak diungkap media massa. Artinya, media massa mainstream membiarkan kejanggalan dan kezaliman itu terjadi.
Mustofa menggambarkan contoh lain, bagaimana fakta-fakta (yang merugikan umat Islam) itu dibuat, yaitu dalam kasus pelatihan Mujahidin di Aceh pada 2010 yang dalam pemberitaan media massa disebut sebagai pelatihan militer untuk aksi terorisme di Aceh.
Mustofa mengungkapkan, sebenarnya pelatihan di Aceh itu informasinya adalah untuk rencana pengiriman Mujahidin perang ke Palestina, bukan untuk aksi “terorisme”. “Banyak yang daftar, termasuk dari FPI banyak yang ikut, karena yang mengajak itu mantan Brimob, namanya Sofyan Tsauri,” papar Mustofa.
“Sudah mantan Brimob, senjatanya dari Brimob juga, resmi ya, dengan pembelian ilegal, dipakai latihan di Aceh, dishooting. Ketika latihan dishooting. Coba kau nembak ya, ow kayak di Timur Tengah, dor dor dor…Allahu Akbar…Allahu Akbar. Persis di video, itu lho kalau Ayman Zawahiri atau Usamah bin Ladin saat menembak dengan AK-47 itu, dibikin persis,” ungkap Mustofa.
“Tetapi di video itu tidak tahu kalau mereka akan diberitakan sebagai latihan militer oleh sipil. Mereka tahunya akan (dikirim, red) ke Palestina,” kata Mustofa lagi. “Banyak anak-anak FPI dijebak di acara itu.”
Bahkan, kata Mustofa, sebagian dari mereka itu diajak latihan ke Brimob juga. “Ini saya dengar di fakta persidangan lho. Jadi, sebagian mereka dilatih di Mako Brimob, dilatih oleh polisi juga, karena tahunya akan ke Palestina, jadi mereka semangat.”
Termasuk, yang peristiwa di Temanggung itu, kata Mustofa. Dia mengaku tahu persis, karena rumah yang dijadikan untuk menyerbu “teroris” itu milik pengurus Muhammadiyah di Temanggung, namanya Mujahri.
“Jadi peristiwa pengepungan 21 jam di Temanggung itu saya tahu persis. Saksinya masih ada, dari pengurus Muhammadiyah. Anda tahu, berapa orang yang meninggal dalam penyerbuan 21 jam dengan seribuan peluru yang melibatkan sekitar 600 polisi itu?” tanya Mustofa.
“Yang meninggal cuma satu, namanya Ibrahim. Berapa kali kena tembakan? Satu juga (satu kali tembakan, red). Janggal nggak?” ujar Mustofa. “Kalau dibilang janggal, ya wajar, karena Anda orang Islam,” Mustofa menambahkan.
Ya iyalah, penyerbuan hampir 24 jam, melibatkan sekian banyak media, dalam dan luar negeri, kata Mustofa, mengeluarkan sekian ribu peluru, tapi nyatanya cuma satu peluru yang ditembakkan untuk sang “terduga teroris” bernama Boim (Ibrahim).
“Tapi peristiwa itu menjadi momen berita nasional, betapa berbahayanya ‘terorisme’. Jadi, ada modus dari media-media mainstream itu untuk membuat ini terjadi, pertama, dengan cara tidak memberitakan atau meliput peristiwa itu jika menguntungkan umat Islam. Dan, kemungkinan kedua, memberitakan, jika peristiwa itu merugikan umat Islam. Kalau tidak ada peristiwa, maka peristiwa juga bisa dibuat supaya menjadi berita. Itu yang saya maksud fakta bisa dibuat.”
Dalam hal ini, lanjut Mustofa, termasuk berita yang berkaitan dengan tuduhan “Rohis Teroris”, itu adalah fakta yang dibuat, berangkat dari penelitian yang dibikin, yang kemudian diberitakan di sebuah stasiun televisi.
Kata Mustofa, penelitinya, Prof Bambang Pranowo dari Universitas Islam Negeri (UIN) Ciputat dia datangi, kenapa menyebut Rohis “sarang teroris’, dari mana, maunya apa. Prof Bambang akhirnya mengakui bahwa yang dia paparkan boleh salah, tapi tidak boleh bohong.
“Dia sampaikan, bahwa penelitian ini boleh salah, tapi tidak boleh bohong,” ungkap Mustofa menirukan ucapan Bambang. Masalahnya, kata Mustofa, Prof Bambang itu mewawancarai anak-anak SMP dan SMA dengan pertanyaan yang sangat resisten, misalnya apakah kamu setuju kalau lurah atau kepala desa itu non-Muslim, sementara mayoritas warga adalah Muslim.
“Ya, kalau lurahnya non-Muslim, sementara warganya mayoritas Muslim, Muslim mana yang setuju? Ditanya juga, apakah setuju dengan penggerebekan di sebuah hotel terhadap pasangan yang bukan suami istri, pasangan kumpul kebo, ya jawabnya setuju, itu kan bentuk nahi mungkar! Nah, jawaban-jawaban itu dipakai untuk kesimpulan survei bahwa ternyata anak-anak SMP-SMA yang masuk Rohis itu radikal,” urainya.
Jadi, fakta bisa dibuat peristiwanya dengan cara: melakukan survei, memunculkan peristiwanya, menyiapkan media dan nara sumbernya. “Dicari narasumber yang merugikan umat Islam,” demikian paparan Mustofa. (salam-online)