SALAM-ONLINE: Setelah hari-hari penuh tipuan, jebakan dan perangkap demokrasi yang diikuti kekerasan terhadap Ikhwanul Muslimin dan rakyat pendukungnya, Perdana Menteri interim produk kudeta Hazem Al-Beblawi, mengajukan usulan pembubaran gerakan ini. Lalu, akan menyusul pada pembubaran Partai Kebebasan dan Keadilan (FJP) bentukan Ikhwan.
Setelah itu semua aset mereka akan disita dan mereka dilarang melakukan kegiatan. Demikian rencana Hazem Al-Beblawi seperti dikutip Al-Akhbar (21/8/2013).
“Kami tidak berusaha untuk membubarkan siapapun–atau mencegah seseorang untuk aktif dalam ranah publik, tapi kami mencoba untuk memastikan bahwa aktivitas setiap orang adalah sah berdasarkan hukum Mesir…,” kata Mostafa Hegazy, juru bicara presiden rezim kudeta Mesir.
Sebagian pengamat mengatakan jika Ikhwanul Muslimin dibubarkan mereka akan terpaksa bergerak di bawah tanah dan kemungkinan akan kembali pada jalur perlawanan bersenjata.
Setelah pemilu 2011 lalu Partai Kebebasan dan Keadailan (FJP) yang didirikan oleh Ikhwanul Muslimin memenangkan pemilu yang pertama kali dilaksanakan secara demokratis. Bagi pendukung Mursi, juga bagi Ikhwanul Muslimin, hal ini hampir tak terbayangkan beberapa tahun lalu. Gerakan yang didirikan pada 1928 oleh Hassan Al-Banna ini bertujuan mendirikan sistem politik berdasarkan syariat Islam.
Pada 1952, Ikhwan mendukung kudeta militer oleh Gerakan Opsir Merdeka pimpinan Gamal Abdel Nasser. Tapi hubungan dengan pihak militer kemudian memburuk akibat kecurigaan Gamal Abdel Nasser bahwa Ikhwan berada di balik peristiwa percobaan pembunuhan dirinya. Maka ribuan anggota Ikhwanul Muslimin ditangkap serta dihukum mati oleh rezim Nasser.
Gerakan ini dipaksa untuk bergerak di bawah tanah, dikejar-kejar dan disiksa. Beberapa anggota Ikhwan mendorong penggunaan senjata untuk melawan rezim. Walau demikian di tahun 1980 Ikhwan mulai bangkit dari bayangan dan ambil bagian dalam pemilu.
Pada 2005, Ikhwan memenangkan 20 persen kursi parlemen. Pencapaian politik ini merupakan alarm bagi Presiden Hosni Laa Mubarak, yang kemudian meluncurkan tekanan terhadap kelompok Ikhwan. Namun Diktator Laa Mubarak digulingkan dalam revolusi rakyat tahun 2011, yang membawa era baru bagi Ikhwanul Muslimin.
Mereka kemudian membentuk Partai Kebebasan dan Keadlilan (FJP). Setelah itu, bersama partai ultra konservatif Salafi An-Nur, FJP memenangkan 70 kursi di Dewan Rakyat. Namun tidak lama kemudian kelompok ini dituduh mengkhianati demokrasi dan bahkan rekan mereka partai Salafi pun meninggalkannya.
Pada 3 Juli 2013, militer mengudeta Presiden Mursi. Walaupun demikian Ikhwanul Muslimin tetap bertahan dan mengerahkan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut Mursi dikembalikan posisinya sebagai presiden sah yang terpilih secara demokratis. Para pendukung mereka menggelar protes di Nahda Square dan di luar Masjid Rabia Al-Adawiya, dimana ribuan orang menentang kudeta militer.
Ulama Mesir dan pemimpin agama bersama Ikhwan, sementara kalangan liberal dan sekuler mendukung militer. Hal ini menciptakan pemisahan di jalanan, menigkatkan ketakutan dan kekerasan lanjutan. Dan ketika pihak keamanan membubarkan aksi duduk Ikhwanul Muslimin, ribuan orang terbunuh dan ribuan lainnya ditahan.
Terlepas dari kecaman dunia internasional, rezim kudeta Mesir memutuskan membasmi apa yang mereka sebut “terorisme”. Namun Ikhwanul Muslimin belum merasakan siksaan lainnya. Lalu apakah Ikhwanul Muslimin dipaksa kembali bergerak di bawah tanah? Lalu bagaimana dengan masa depan demokrasi Mesir? Apakah ini saat untuk memulai perlawanan bersenjata? Semua ini menimbulkan pertanyaan untuk masa depan Ikhwanul Muslimin di Mesir.
Monna Al-Qazzaz juru bicara Ikhwan kepada Al-Jazeera (19/8/ 2013) mengatakan, “Ini bukan pemerintah, ini bukan juga rezim, ini adalah mafia … mereka gagal dalam setiap tahapan proses demokrasi dan kembali sebagai pemimpin di balik tank… Ini adalah mafia tidak sah dan membajak kekuatan Mesir…Mereka harus membayar kejahatan mereka terhadap kemanusiaan. Mereka adalah orang yang ilegal, kita telah memenangkan dalam setiap tahapan proses demokrasi dan mereka kalah, dan satu-satunya jalan bagi mereka untuk kembali ke arena politik adalah melalui kekuatan senjata dan tank.”
Pengamat Timur Tengah Robert Fisk dari harian The Independent Inggris mengatakan, “Saya tidak yakin bahwa pelarangan partai akan benar-benar berhasil… semua aparat intelijen akan memberitahu bahwa hal pertama yang tidak ingin Anda lakukan jika Anda khawatir tentang sesuatu dari pihak oposisi adalah melarangnya. Jika sekian banyak mayoritas penduduk Mesir menentang Ikhwanul Muslimin, lalu apa yang mereka khawatirkan? Jelas mereka tidak akan mendapat banyak kursi pada pemilu berikutnya… atau mereka mungkin takut ternyata Ikhwan menang lagi?”
Bagaimanapun menghapuskan Ikhwanul Muslimin sebagai kekuatan politik adalah upaya yang sulit. Organisasi ini telah lama mengakar di Mesir dan juga tersebar di 70 negara ditinjau dari perjuangan mereka sejak 80 tahun lalu. Mereka dikenal memiliki disiplin organisasi yang tinggi sebagai hasil akumulasi dari pengalaman berinteraksi dengan rezim lokal dan rezim asing, diktator maupun demokrasi. Mereka akan menggunakan hal ini sebagai modal perlawanan. Namun jenis perlawanan yang bagaimana yang akan mereka pilih dan apakah hal itu cukup? Demikian analisa harian Al-Akhbar, Rabu (21/8/2013) lalu.
Yang jelas saat ini Ikhwanul Muslimin terjepit di antara dua pilihan pahit. Pertama, terus melakukan perlawanan dan konfrontasi dengan negara sementara mesin propaganda akan terus bekerja siang dan malam untuk membangun citra Ikhwan sebagai organisasi yang mengerikan. Ataukah pilihan kedua, bernegosiasi dengan pihak militer yang tentunya ini akan ditentang oleh kaum muda anggota Ikhwanul Muslimin yang sudah mengorbankan darahnya di lapangan.
Banyak pengamat mengatakan jika pilihan pertama dilakukan maka merupakan bunuh diri massal yang memungkinkan pengikut Mubarak untuk membalas dendam atas revolusi 25 Januari 2011 lalu.
Dengan memilih opsi pertama, Ikhwan akan mempertaruhkan beberapa hal, yaitu kesempatan menuntut di Mahkamah Internasional atas represi berdarah dan pembantaian yang dilakukan militer dan kepolisian. Ini bisa digunakan untuk memecah kampanye hitam oleh media Mesir.
Bahaya dari langkah ini adalah jika ikhwan terus menjadi lawan dalam beberapa hari ke depan, perlu dipikirkan bagaimana melindungi anggota yang menggelar demo dari kekejaman tentara bersenjata dan kekerasan yang dilakukan oleh para preman dan kepolisian.
Namun kekerasan yang dilakukan militer akan meningkatkan simpati dari pengikut, rakyat biasa bahkan orang yang tidak setuju dengan ideologi ikhwan sekalipun. Setiap kekerasan yang ditunjukkan oleh militer akan menampakkan jati diri mereka yang tidak memiliki moral.
Sedangkan opsi kedua, Ikhwanul Muslimin dapat mengajukan gencatan senjata dan mengambil langkah negosiasi. Namun alternatif ini akan ditolak oleh mayoritas anggota setelah semua pengorbanan darah yang tertumpah.
Para anggota muda percaya bahwa diam di rumah adalah jalan yang berbahaya. Mereka dapat ditahan atau aksi mereka dikendalikan, terutama ketika beberapa elemen sosial mendukung tindakan ini. Maka langkah ini disebut sebagai mati perlahan-lahan.
Sudah jelas bahwa seruan Ikhwan untuk terus melakukan pawai dan demo menunjukkan bahwa Ikhwan tidak akan mundur sedikit pun. Namun nampaknya rezim As-Sisi tidak memperhitungkan peranan kader ikhwan yang militan, yang nampak pada tindakan keliru rezim militer menangkapi para pemimpin Ikhwan yang dipikirnya jika pemimpinnya ditangkap, akan menghentikan perlawanan para anggota Ikhwan.
Mungkin pada fase berikutnya, Ikhwan akan menghadapi tahapan kemarahan rakyat, yang mendukung rezim ini. Beberapa pengamat melihat bahwa pilihan ini juga bunuh diri jika dilihat dari sudut pandang lawan, yaitu rezim militer Jenderal As-Sisi dan pendukungnya, yang bersikeras menyelesaikan apa yang telah mereka mulai. Namun Ikhwan percaya bahwa konfrontasi mereka adalah perlawanan yang legal. (Abu Akmal/salam-online)