Saksi Mata di Mesir: ‘Sebagian Besar Demonstran Ditembak di Wajah’
KAIRO (SALAM-ONLINE): Aiman Husseini tersandar di dinding. Khaled Abdul Nasser yang namanya tertulis dengan tinta hitam di kemeja putihnya lunglai di kiri pintu.
Ada 37 mayat di ruangan. Semuanya bersimbah darah. Dokter juga belepotan darah di bajunya. Sepatu pun turut bernoda darah. Rumah sakit dekat Masjid Rabaa dipenuhi dengan pria dan wanita yang menangis. Beberapa di antaranya berkali-kali menyebut Asma Allah. “Orang-orang ini mati syahid,” ujar mereka. Seorang dokter berkata, “Mereka berada di sisi Allah. Kita hanya berada di bayangan-Nya.” Demikian kisah yang dituturkan Robert Fisk kepada Harian The Independent Inggris, 28 Juli 2013 lalu.
Mungkin ini perlu laporan medis. Sebagian besar dari mayat itu ditembak di wajah, beberapa di mata, dan banyak yang di dada. Hanya ada 1 orang saja yang tertembak di punggungnya. Sebagian besar dari mereka semua berjenggot. Pembantaian? Tentu saja ini jelas pembantaian.
Luka ini menunjukkan mereka tidak sempat lari dan ditembak ketika menghadap ke depan. Apa yang dharapkan dari Jenderal Abdul-Fattah Al-Sisi ketika menyerukan agar warga Mesir mendukungnya dengan cara melakukan pembantaian seperti ini?
Pembantaian ini terjadi hanya beberapa jam sebelum maghrib, sebelum rakyat berbuka puasa. Semua orang bilang bahwa Polisi-lah yang memulai tembakan mengarah pada kerumunan massa yang mendukung Presiden Muhammad Mursi. Massa rakyat berpawai di dekat makam Presiden Anwar Sadat yang dulu ditembak oleh pemuda 23 tahun bernama Khalid al-Islambuli, seorang letnan di militer Mesir.
Mengapa pembantaian ini bisa terjadi? Ahmed Habib, seorang dokter mengatakan bahwa selama hidupnya belum pernah melihat demonstran ditembak sekejam ini. “Dan Anda harus ingat bahwa saya sering menangani demonstran yang meninggal sejak demo penggulingan diktator Husni Laa Mubarak yang lalu. Lihat darah yang membasahi baju saya!” teriak Ahmed Hajib. Banyak dokter terbaring di luar kamar mayat, tidur kelelahan di atas lantai yang dipenuhi ceceran darah.
Tak ada yang menyalahkan pihak militer yang membiarkan Jenderal Al-Sisi bertindak brutal namun tidak menganggapnya sebagai pemimpin kudeta. Kini Jenderal kudeta tersebut menyerukan rakyat Mesir agar mendukungnya melawan “terorisme”. Sesuatu yang khas pesanan Barat.
Jenderal Sisi memiliki anak laki-laki dan perempuan, namun ratusan yang ditembak mati itu juga anak-anak Mesir. Dan, mereka bukan “teroris”.
“Kami diberitahu orang-orang bahwa kini kami (aktivis Ikhawanul Muslimin) adalah minoritas sehingga tidak berhak untuk hidup,” ujar seorang pendukung Mursi. “Saya tidak menyukai propaganda tapi ini adalah saat yang dramatis dimana ruangan dipenuhi mayat yang tertembak demikian banyak sehingga petugas medis melangkah di sela-sela mayat.”
Mereka diambil dari kamar mayat ke mobil ambulan di bawah jepretan kamera wartawan yang tidak mau ketinggalan mengabadikan pemandangan martir Ikhwanul Muslimin dan para pendukung Mursi, disambut teriakan Allahu Akbar bersahutan di luar.
Di belakang rumah sakit banyak laki-laki yang terluka tergeletak di pelataran. Beberapa di antaranya mengerang kesakitan. Mereka tidak akan sudi menyerah dan lebih baik mati daripada menuruti kemauan militer. Allah lebih besar dari kehidupan itu sendiri, dan tentu lebih besar daripada Al-Asisi.
Pernyataan banyak orang di atas disetujui oleh dokter Habib seraya menambahkan bahwa ada kehidupan setelah mati. Dengan keyakinan di kubu Ikhwanul Muslimin dan pendukung Mursi itu, bisa jadi tragedi di Mesir ini masih akan menuntut darah para martir lebih banyak lagi. Semoga mereka yang gugur mendapatkan ganjaran mati syahid dan kemuliaan di Allah. (Abu Akmal/salam-online)