JAKARTA (SALAM-ONLINE): Rencana dialog yang menampilkan Abdurrahman Ayyub, mantan aktivis Jamaah Islamiyah (JI) yang sekarang berbalik membantu Badan Nasional Penanggulangan ‘Terorisme’ (BNPT), gagal.
Pasalnya, diskusi bertema ‘Siapakah yang Pantas Disebut Ulil Amri’ dengan undangan terbatas yang digelar media Islam Kiblat.net, pada Rabu (25/12/2013) itu tak dihadiri Abdurrahman Ayyub.
Padahal, menurut Ketua Panitia, Agus Abdullah, semula Ayyub bersedia hadir. Namun yang bersangkutan berubah pikiran.
Pembatalan sepihak dari sosok yang kini bersinergi dengan BNPT itu menyebabkan kandidat doktor Ustadz Anung Al Hamat, Lc, MPd.I, yang semula disandingkan dengan Ayyub, tampil sendiri sebagai pemakalah, dengan moderator Ustadz Lukman Syuhada, Lc.
Tentu pembatalan sepihak dari Abdurrahmah Ayyub itu sangat disayangkan. Padahal dialog itu sangat penting dalam “beradu hujjah” terkait alasan dia berbalik membela pihak otoritas yang selama ini menekuni pekerjaannya menangkapi dan mengurusi orang-orang yang dituding sebagai “teroris”.
Tak hanya itu, Ayyub juga menggiring opininya dan berusaha meyakinkan pendapatnya tentang ketaatan terhadap rezim yang semula dimusuhinya. meski tak berhukum kepada hukum Allah. Dan, mereka yang menentang rezim adalah khawarij. Orang-orang seperti Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah khawarij, karena menentang penguasa yang sah.
Padahal, dulu cap khawarij ditempelkan kepada kelompok yang menentang kepemimpinan Ali, kepemimpinan yang menjalankan hukum Allah dan Rasul-Nya. Maka, apakah pantas jika kepemimpinan dan sistem pemerintahan yang tidak berjalan di atas ketentuan Allah dan Rasul-Nya, kemudian dikritik dan ditentang, lalu para penentangnya disebut khawarij? Khawarij itu adalah kaum yang menentang kepemimpinan Islam yang disebut sebagai ulil amri yang harus ditaati, bukan kepemimpinan di bawah sistem kufur.
Itulah yang disebut oleh kandidat doktor Ustadz Anung Al Hamat, alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, bahwa sebagian kalangan di antara umat Islam ada yang menggunakan konsep ulil amri untuk mendukung pemimpin yang sedang berkuasa, meskipun pemimpin tersebut sekuler dan pluralis, dimana kepemimpinan dan sistem negara yang dipimpinnya tidak sesuai dengan tuntunan Allah dan Rasul-Nya.
Anung menyorot kasus di Mesir. Ketika Presiden Mesir Husni Mubarak didemo oleh masyarakat, ada tiga kelompok di Mesir yang melarang demonstrasi dengan dalih bahwa Mubarak adalah seorang ulil amri. Ketiganya adalah Ahmad Thayyib (dari Al Azhar), Paus Tawadrus dan kalangan minoritas Salafi.
“Bahkan sosok yang bernama Mahmud Luthfi Amir yang merupakan dai salafi dan alumni Madinah University menyatakan bahwa Husni Mubarak adalah amirul mukminin,” ungkap Anung.
Uniknya, kata Anung, saat Muhammad Mursi yang berasal dari Ikhwanul Muslimin dipilih rakyat menjadi presiden dan kemudian didemo oleh kalangan Liberal yang didukung oleh militer, tak satu pun dari tiga kelompok di atas yang melarang demonstrasi. Ketiganya malah mendukung penggulingan Mursi.
“Tidak ada satupun dari mereka yang berfatwa bahwa yang mendemo (menentang) Mursi adalah Khawarij dan anjing-anjing neraka (kilabunnar). Kemudian ketika Mursi sudah digulingan baru terdengar lagi lantunan ayat dan hadits yang seolah-olah wajib mendengar dan mentaati ulil amri,” ujar lulusan ilmu hadits Universitas Al Azhar Kairo ini. (salam-online)