–Catatan FAJAR SHADIQ–
BALIKPAPAN (SALAM-ONLINE): Angin berhembus sepoi-sepoi, menghempas ke arah wajah kami sepanjang perjalanan menuju Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Lamaru Balikpapan, Kalimantan Timur (Kaltim).
Dari pusat kota tempat kami menginap, jarak ke Rudenim cukup jauh. Sekitar 25 kilometer. Kami harus membelah Jalan Mulawarman yang sejajar dengan bibir pantai. Kami sudah membuat janji dengan pak Edu, Kepala Karantina Rudenim Lamaru pukul 16.00 WITA. Kami berjalan lebih awal, supaya dapat menikmati pemandangan Kota Minyak ini.
Tak lama, pemandu kami membelokkan motornya ke kanan jalan. Dari Jalan Mulawarman, yang menjadi jalur utama Balikpapan ke Samarinda, terlihat plang besar bertuliskan Rudenim. Berarti kami sudah dekat. Tiang-tiang cerobong asap pabrik yang mendominasi mata di sepanjang jalan, kini berganti menjadi pucuk-pucuk pohon kelapa yang terlihat berjajar di atas rerimbunan semak belukar. Satu dua rumah panggung nampak terlihat.
Kami menghentikan sepeda motor kami di depan sebuah bangunan kokoh berkelir cokelat muda yang terlihat memanjang ke belakang. Temboknya cukup tinggi dihiasi kawat berduri di atasnya. Agaknya, kami sudah tiba.
Di dalam, rupanya Pak Edu sudah menunggu kami. Ternyata ada wartawan lain di situ yang punya kepentingan sama dengan kami. Memang, sejak isu imigran Syiah di Balikpapan bergulir, kota ini menjadi sorotan media. Saya, sebagai anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU) bersama Ibnu Syafaat, wartawan Hidayatullah—yang juga anggota JITU—diutus ke kota ini untuk menelusuri kasus terkait imigran yang tengah jadi sorotan tersebut.
Saat ditemui di Balikpapan pada Kamis, (11/12) lalu, Kepala Karantina Rudenim Lamaru, Edu Andarius Aria mengatakan bahwa para imigran Syiah ini berbondong-bondong ke Balikpapan karena di sini ada Rudenim yang baru dibuat.
Oktober lalu, Rudenim Balikpapan yang mendapat dukungan finansial secara penuh dari International Organization of Migration (IOM) diresmikan.
“Dia (para imigran) ke sini karena ada Rudenim ini yang baru dibuat. Setelah Australia menerapkan kebijakan menutup pintu pencari suaka, mereka berbondong-bondong ke tempat yang ada Rudenimnya, karena di situ mereka berharap di data oleh UNHCR,” ujar Edu kepada kami.
Edu menjelaskan bahwa para imigran yang berada di Rudenim Balikpapan ini merupakan operan dari Kantor Imigrasi atau Rudenim lain. Selama ini, yang terjadi di Balikpapan, mekanismenya adalah para imigran gelap itu menyerahkan diri ke Kantor Imigrasi dan berharap didata oleh UNHCR. Sebagian sudah diproses dan ditempatkan di Rudenim Balikpapan.
Padahal, saat ini kapasitas di Rudenim Lamaru sudah penuh. Jumlah total imigran gelap di Rudenim Balikpapan ada 147 orang. Tapi itu masih akan ditambah dari Rudenim Medan yang berjumlah 22 orang, sehingga totalnya ada 169 orang. Sementara kapasitasnya hanya untuk 144 orang. Dan jangan lupa, juga masih ada 86 orang lainnya yang masih terlunta-lunta di kantor Imigrasi Balikpapan.
Pak Edu memberi kesempatan kepada kami untuk menengok isi Rudenim Lamaru. Rudenim tersebut dibagi menjadi enam blok. Masing-masing blok terdapat empat sel. Satu blok besar yang berada di tengah Rudenim diisi 131 imigran Afghan ditambah satu orang dari Pakistan. Sementara, satu blok lainnya diperuntukkan sebagai blok keluarga. Saat ini ditempati 3 keluarga yang terdiri dari 15 orang dari Irak.
Idealnya satu sel diperuntukkan bagi enam orang. “Tapi, sekarang itu campur. Ada yang tujuh orang, ada yang delapan orang. Paling sedikit tujuh,” tambah Edu.
Rudenim ini dilengkapi berbagai fasilitas yang sangat nyaman bagi para penghuninya. Di tiap-tiap sel mereka dilengkapi dengan kasur gulung. Di dalamnya juga ada lapangan olahraga, voli, futsal. Bahkan, di tiap bloknya ada satu ruang khusus untuk menonton siaran televisi kabel.
Untuk urusan makanan. Mereka diberi makan sehari tiga kali. Ada jasa katering yang menyiapkan makanan mereka. Meski tak ada menu khusus, agaknya fasilitas di sini jauh lebih mewah ketimbang sel-sel penjara di Rutan atau Lapas-lapas di seluruh Indonesia.
Selain itu, para imigran asing ini juga meminta fasilitas rekreasi ke pantai. Letak Rudenim Lamaru memang tak jauh dari bibir pantai. Jaraknya mungkin hanya 300 meter. Pihak Rudenim pernah mencoba untuk memberikan mereka rekreasi berenang di laut. Sekitar 20 orang imigran diajak berenang ke tepi pantai. Tapi, belakangan pihak Rudenim merasa keberatan memenuhi tuntutan mereka. Bukan apa-apa, jumlah pegawai rudenim Lamaru memang masih terbatas.
“Di aturan kita memang (rekreasi) diperbolehkan. Cuma kita belum bisa rutin karena jumlah pegawai terbatas. Kita jumlah pegawainya 17 orang sudah termasuk kepala. Jadi untuk staf penjaganya aja cuma lima orang, itu pun harus dibagi tiga shift. jadi ada yang satu shift-nya itu cuma satu orang. Itu yang biasanya kita tambal. Jadi, pegawai strukturalnya kadang juga ikut piket juga,” ujar Edu.
Saat kami masih asyik melakukan interview dengan Pak Edu, tiba-tiba terdengar suara sirene mendengung keras. Kemudian disahuti dengan panggilan melalui pelantang suara kepada dokter yang berjaga bahwa ada situasi darurat. Belakangan kami diberitahu bahwa di Rudenim Lamaru disiapkan dokter jaga yang bertugas selama 3 jam setiap pekannya. Kalau para imigran itu sakit rujukannya bisa dibawa ke RSU Balikpapan atau RS pertamina. “Itu semua ditanggung IOM (International Organization of Migration, red),” tukas Edu.
Latihan fisik yang mencurigakan
“Adakah gerak-gerik mencurigakan dari para imigran ini?” tanya kami. Sebelumnya, memang santer beredar rumor seperti ada latihan perang tanpa senjata oleh para imigran gelap ini. Edu menampik hal itu. Ia mengungkapkan, tidak pernah ada latihan perang tanpa senjata di Rudenim ini.
“Latihan fisik memang iya, olahraga setiap hari. Karena di sini ada tiga atlet olimpiade; seorang atlet karateka, atlet karateka dan kungfu, dan atlet wushu dan muaythai. Mereka punya sertifikatnya. Mereka ini yang melatih teman-temannya. Selagi gak anarkis kan gak bisa kita tolak,” jelasnya.
Kami pun dibawa masuk ke blok yang paling besar yang menampung seluruh imigran Syiah Afghanistan. Saya sempat diberi izin untuk mengambil gambar. Tapi kami tak diperkenankan mewawancarai imigran. Benar saja apa kata Pak Edu, sore itu kami melihat sejumlah imigran berlatih fisik di balik jeruji blok. Ada yang bermain skipping (lompat tali), ada yang berlatih push-up, sebagian lainnya berlari-lari kecil sepanjang lajur di blok tahanan.
Sedikit nakal, saya pun nekat bertanya kepada salah seorang imigran berkaus basket berwarna kuning di situ. Ia mengaku namanya Zaid dan hendak bertujuan ke New Zealand. Di jari manisnya yang sebelah kiri saya melihat ia memakai sebuah cincin batu berwarna ungu. Ini salah satu ciri khas penganut Syiah. Dalam ajaran Syiah, disebutkan ada keutamaan bagi mereka yang memakai cincin berbatu di jari manis sebelah kirinya.
Pak Edu pun tak menampik jika para imigran Afghanistan ini semuanya beragama Syiah. Sebelumnya, pada Hari Asyura pun mereka terang-terangan melaksanakan ritual ibadah mereka. “Kalau yang terjadi ada latihan beladiri, iya. Kalau ditanya Syiah, iya. Tanya aja yang di jalan-jalan (imigran yang ditampung di Kantor Imigrasi, red) kamu agamanya apa? Mereka jawab: Syiah,” tandas Edu.
Hanya saja memang, setelah isu imigran ini semakin mencuat dan banyak tamu yang datang ke Rudenim Lamaru, ada sedikit perubahan pada mereka. Para imigran Syiah ini justru semakin rajin berlatih fisik. Bahkan, jika sebelumnya hanya olahraga ringan dan gerakan-gerakan aerobik saja, belakangan mereka juga ada latihan menginjak-injak tubuh kawannya. Entah apa yang mereka inginkan, tapi meski di dalam Rudenim, mereka tetap bisa memantau dunia luar melalui ponsel dalam genggaman mereka.
Sore itu, angin laut semakin berhembus kencang menerpa tubuh kami. Sementara, bulir-bulir keringat para imigran Syiah itu berjatuhan satu demi satu membasahi lantai di seberang kami. Kami hanya dipisahkan jeruji besi, tapi mereka nampak tak asing dengan kehadiran kami.
Bagaimanapun, gelombang imigran Syiah yang bertumpuk di Balikpapan jelas memberikan ekses sosial yang buruk di tengah masyarakat. Minimal merusak citra baik Kota Balikpapan. Setiap pihak dituntut untuk waspada. Jangan sampai terlambat dulu, baru bertindak.
Fajar Shadiq, Anggota Jurnalis Islam Bersatu (JITU)