SALAM-ONLINE: Memiliki ayah yang Muslim dan ibu Katolik membuat Schwannedgard belajar banyak mengenai agama. Sejak kecil ia memang memeluk Katolik, namun ia juga diajarkan tentang Islam oleh ayahnya.
“Saya dibesarkan dalam kultur 2 agama, Islam dan Katolik. Waktu kecil saya sering ke gereja bersama Mama, karena Mama adalah seorang penganut agama Katolik yang taat. Saya rajin hadir di Sekolah Minggu. Tapi saya juga sering pergi ke masjid bersama Papa, terlebih pada hari Jumat saat Papa melaksanakan ibadah shalat Jumat. Kalau sedang pulang ke Indonesia saya kadang-kadang ikut ngaji di TPA masjid-masjid terdekat, ya walaupun waktu itu saya hanya ikut bermain kejar-kejaran dan petak-umpet bersama anak-anak kecil seusia saya yang lain. Keluarga Papa berasal dari kalangan persyarikatan Muhammadiyah di Yogyakarta. Kakek saya aktif di persyarikatan tersebut. Nenek saya juga cukup aktif di organisasi Aisyiyah, yang merupakan organisasi otonom di bawah persyarikatan Muhammadiyah. Saya dikhitan saat berusia 11 tahun,” ujarnya.
Schwannedgard kecil yang beragama Katolik tumbuh sebagai anak cerdas. Hal itu dibuktikan dengan kemampuannya belajar membaca Al-Qur’an. Pada usia 6 tahun ia sudah bisa membaca Al-Qur’an setelah diajari oleh tantenya secara privat selama 9 hari. Dua tahun kemudian ia telah mengkhatamkan Al-Qur’an meskipun belum mempelajari arti, tafsir, dan juga azbabun-nuzul dari bacaan-bacaan Al-Qur’an tersebut.
Pria yang lahir di Sydney ini menemukan cahaya kebenaran Islam pasca terjadinya peristiwa peledakan WTC di Amerika Serikat pada September 2001. Schwannedgard yang kala itu masih ‘ABG’ mencoba memikirkan alasan-alasan tentang mengapa gedung WTC di Amerika itu diserang sehingga menimbulkan banyak korban jiwa. Ia berdiskusi dengan ayahnya dan mendapatkan jawaban bahwa orang Islam yang dituduh melakukan aksi “terorisme” tersebut berusaha untuk membela dan menegakkan prinsip-prinsip tauhid alias mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Prinsip tauhid yang didengar oleh Schwannedgard kecil melalui ayahnya kemudian membuatnya belajar dan memperdalam lagi mengenai konsep ketuhanan menurut ajaran Katolik. Akhirnya Schwannedgard menemukan kontradiksi antara konsep trinitas dengan beberapa ayat yang lain. Ia kemudian bertanya kepada para pastor tentang kepercayaan trinitas.
“Saya bertanya tentang alasan kenapa di dalam Katolikisme harus ada Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Namun mereka hanya bisa memberikan jawaban-jawaban yang menurut saya cenderung dogmatis,” kata Schwannedgard.
Ketidakpuasan terhadap jawaban para pastor mengantarkan Schwannedgard untuk membaca Al-Qur’an terjemahan Arab-Inggris. “Dulu saya membuka Al-Qur’an terjemahan dari halaman yang paling belakang, karena Surat Al-Baqarah itu panjang sekali sehingga saya malas untuk membaca Al-Qur’an dari depan. Alhamdulillah Allah langsung menunjukkan saya untuk menuju ke Surat Al-Ikhlas, dan akhirnya saya membaca Surat Al-Ikhlas,” begitu ujar pria yang kini berusia 26 tahun itu.
Terjemahan Surat Al-Ikhlas memberikan jawaban tegas atas pertanyaan Schwannedgard terhadap konsep trinitas. Akhirnya pada 25 Oktober 2002 ia memutuskan untuk menjadi seorang Muallaf, memeluk Islam, di Masjid At-Taqorub Yogyakarta dengan didampingi oleh keluarga ayahnya. Ibunya juga menjadi Muallaf sebulan kemudian. Setelah itu ia sekeluarga menjalankan ibadah umroh ke Makkah Al-Mukarromah.
Pasca menjadi Muallaf, Schwannedgard dan ibunya sempat mendapatkan penolakan dari keluarga besar ibunya. “Orangtua Mama saya sempat mendiamkan kami selama kurang lebih setahun. Namun karena kasih sayang Allah begitu besar kepada saya dan Mama saya, akhirnya Kakek dan Nenek tidak lagi marah kepada kami setelah saya mengajak mereka untuk bernyanyi lagu romantis berbahasa Jerman dengan judul ‘Du’ yang dinyanyikan oleh Peter Maffay. Orangtua Mama sangat menyukai lagu tersebut,” tuturnya. Saat ini keluarga besar Schwannedgard sudah tidak pernah mempermasalahkan mengenai perbedaan keyakinan, dan bahkan beberapa dari mereka ada pula yang menjadi Muallaf.
Islam dan Gaya Hidup
Sebagai seorang Muallaf, Schwannedgard berusaha untuk menerapkan gaya hidup/lifestyle yang sesuai dengan ajaran dan aturan Islam. Dibesarkan di Sydney dan Jakarta telah membuatnya akrab dengan gaya hidup barat dan juga multikulturalisme. Ia mengaku sering dianggap kolot, cupu, norak, dan kampungan oleh teman-temannya karena tidak mau makan daging anjing dan babi, tidak pernah mau diajak pergi ke night club, tidak merokok dan tidak minum alkohol, dan tidak pula pacaran (karena hanya ingin menjalankan proses ta’aruf saja sebelum masuk jenjang pernikahan).
“Alhamdulillah sejauh ini tidak ada teman-teman yang meninggalkan saya. Malahan saya mendapat teman dari berbagai kalangan. Ada yang non-Islam taat, non-Islam tidak taat, Islam taat, dan orang Islam yang tidak taat juga ada. Bahkan banyak gadis-gadis Muslimah maupun non-Muslimah yang justru memuji saya karena saya tidak merokok dan tidak minum alkohol. Di Sydney kadang ada juga teman yang mengajak saya untuk pergi ke tempat prostitusi, tapi alhamdulillah saya tidak pernah tergoda. Saya pernah berkuliah di Berlin dan insya Allah hingga saat ini belum pernah mencoba minum beer,” ujarnya.
Schwannedgard mencoba untuk tetap menjalin silaturahim dengan teman-temannya yang belum masuk Islam. Menurutnya, dakwah akan semakin mudah untuk dilakukan jika kita dikenal baik dan ramah kepada non-Muslim. Keinginannya untuk tetap membina hubungan baik dengan teman-temannya yang non-Muslim pernah menimbulkan praduga kurang tepat terhadapnya. Ia pernah dikira kembali memeluk agama Katolik hanya karena makan bersama keluarganya di restoran yang terletak di dekat sebuah gereja.
Belajar Bisnis dari Rasulullah
Berprofesi sebagai seorang wirausahawan di bidang energi dan properti sejak 2010, Schwannedgard berusaha belajar dan mencontoh manajemen bisnis ala Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Menurutnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah uswatun hasanah (teladan terbaik) yang sebenar-benarnya karena punya kemampuan manajerial yang sangat baik. Hal yang paling mengesankan dari Rasulullah adalah karena hasil bisnis beliau dipergunakan untuk membantu orang-orang lemah, menolong mereka yang membutuhkan, dan melindungi fakir-miskin.
Akhir tahun 2011 Direktur Utama JR Energy ini mengajak karyawan-karyawannya di Jakarta, Jambi, dan Barito, untuk mencari fakir-miskin di jalanan dan kemudian mengajak mereka makan di warung/restoran/kafe terdekat. Perusahaannya juga memberikan beasiswa pendidikan bagi anak-anak yatim/piatu. Tanpa disangka pendapatan perusahaan meningkat hingga hampir 7 kali lipat dari tahun sebelumnya.
Ia mengatakan, “Saat itu harga batubara sedang jelek. Tapi entah kenapa tahun berikutnya ada beberapa perusahaan dari Jepang yang malah membeli batubara dari saya dengan harga sangat tinggi, setelah saya mengajak karyawan-karyawan JR Energy untuk memberi makanan kepada orang-orang yang membutuhkan.”
Schwannedgard mencoba untuk mengutamakan kejujuran dalam berbisnis. Menurut pria yang sejak Desember 2014 bermukim di California Amerika Serikat ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat mengutamakan kejujuran. Kalau diibaratkan seperti mata uang, maka kejujuran lebih berharga daripada mata uang dollar. Kejujuran akan selalu berlaku di mana saja.
Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutamakan profesionalitas. Hal itu juga coba diterapkan oleh Schwannedgard yang saat ini sedang bekerjasama dalam bidang bisnis properti dengan Jeffrey Jonathon Hyland dan Richard Hilton. Ia tetap berusaha untuk profesional meskipun usianya terpaut jauh dan pengalamannya belum sebanyak rekan-rekan bisnisnya.
Schwannedgard pernah secara iseng-iseng bertanya kepada Jeffrey Hyland (Chief Executive Officer dari Hilton&Hyland Real-Estate Company) tentang mengapa Jeffrey mau berbisnis dengan seorang pemuda Indonesia yang belum berpengalaman seperti dirinya.
“Jeff bilang bahwa dia melihat ada banyak semangat dan kejujuran di dalam diri saya. Ia juga mengatakan kepada saya bahwa dia suka dengan kepribadian orang-orang Muslim Indonesia, karena Indonesia adalah negara dengan populasi Muslim yang besar dan taat,” begitu ujarnya sambil berharap agar tingkat Islamofobia di Amerika Serikat berkurang.
Harapan Schwannedgard
Salah satu harapan yang dimiliki oleh Schwannedgard adalah agar kakek dan neneknya (orangtua ibunya) bisa sesegera mungkin memeluk Islam. Ia sadar bahwa hidayah akan diberikan oleh Allah kepada siapapun yang Dia kehendaki, namun ia sangat mengharapkan agar kakek dan neneknya masuk Islam.
“Tugas saya sebagai seorang cucu untuk mencintai dan menghormati mereka sebagai leluhur, serta untuk tabligh/menyampaikan ayat-ayat Al-Qur’an tentang tauhid sudah sering saya lakukan. Saya ingin seluruh keluarga saya nantinya meninggal dunia dalam keadaan Muslim. Saya sangat cinta kepada orangtua dan keluarga besar Mama saya. Namun semuanya saya serahkan kepada kehendak dan kekuasaan Allah Subhanahu wa Ta’ala,” kata Schwannedgard dengan penuh harap.
“Khusus untuk saudara-saudara yang non-Muslim, yang atheis, maupun yang agnostik, saya hanya dapat berpesan agar kita tidak terjebak pada dogma-dogma. Kebenaran mungkin akan datang dengan sendirinya, namun kebenaran bisa jadi akan datang dengan lebih cepat apabila kita juga berusaha untuk mencari kebenaran tersebut,” lanjutnya.
Pria yang memiliki hobi olahraga dan berwisata alam ini memiliki harapan agar dakwah Islam di Indonesia maupun di seluruh dunia dilakukan dengan cara-cara yang lebih kreatif.
Menurutnya, dakwah dapat diibaratkan seperti sebuah batu berlian yang sangat besar. Jika kita melemparkan batu berlian besar tersebut kepada saudara-saudara non-Muslim dengan keras, maka mereka akan terluka, emosi, dan bahkan nantinya akan membenci kita.
Namun jika kita mengantarkan batu berlian besar tersebut dengan lembut dan penuh cinta, maka kecil kemungkinan seseorang akan menolak untuk menerima batu berlian besar/dakwah dari kita.
BIODATA SCHWANNEDGARD
Nama Schwannedgard.
Tempat, Tanggal Lahir Sydney, 28 April 1989.
Usia 26 tahun.
Agama Islam (terlahir Katolik, kemudian menjadi Muslim pada 2002).
Kewarganegaraan Indonesia
Domisili Amerika Serikat
Pekerjaan Pebisnis/Wirausahawan
(Kiriman: Ahmad Zaky Prayoga)