JAKARTA (SALAM-ONLINE): Komisioner Komnas HAM RI yang juga Ketua Tim Penyelidikan Komnas HAM untuk Kasus Tolikara, Dr Maneger Nasution, mengungkap seorang tokoh masyarakat Papua, Sabtu (5/9) yang menelponnya berkaitan dengan adanya kabar pertemuan Gereja Injili di Indonesia (GIdI) dengan Kemenkopolhukam sekaligus meminta Komnas HAM memberi perhatian.
Esoknya, Ahad (6/9), ujar Maneger, salah seorang wartawan mengirimkan pertanyaan hal yang sama kepadanya melalui Whatsapp (WA).
“Pertemuan antara GIdI dan Muslim Tolikara di Kemenkopolhukam menghasilkan 3 (tiga) permintaan GIdI, (1) Nama GIdI dibersihkan dari tuduhan separatis, (2) Kasus Tolikara diselesaikan secara adat. Pihak penegak hukum tidak lagi memeriksa pendeta-pendeta GIdI, dan (3) GIdI mengizinkan Shalat Idul Qurban di Tolikara bisa terlaksana bila kedua tersangka kasus intoleransi Tolikara dibebaskan. Bagaimana sikap Bapak sebagai Komisioner Komnas HAM RI?” ungkap Maneger mengutip pertanyaan wartawan yang diajukan kepadanya.
“Sekiranya WA di atas betul adanya, Komnas HAM RI menyampaikan keprihatinan yang mendalam,” ujar Maneger dalam rilis yang dibagikannya kepada wartawan, Senin (7/9).
“Bagi Komnas HAM sekiranya ada permufakatan semacam itu, jelas hal itu bukan hanya soal salah paham, tapi pahamnya yang salah. Itu cacat nalar HAM. Bahkan semakin terang benderang akan adanya ancaman bagi kedaulatan dan kehormatan NKRI,” tandasnya.
Karena itu, Komnas HAM, ujarnya, menegaskan:
Pertama, ada baiknya Kemenkopolhukam menjelaskan secara transparan kepada publik tentang kebenaran kabar tersebut.
Kedua, dikatakan dalam pertemuan di Kemenkopolhukam, Jumat (4/9) antara Kemenkopolhukam, GIdI dan Muslim Tolikara, GIdI menuntut tiga hal, (1) Nama GIdI dibersihkan dari tuduhan separatis, (2) Kasus Tolikara diselesaikan secara adat. Pihak penegak hukum tidak lagi memeriksa pendeta-pendeta GIdI, dan (3) GIdI mengizinkan Shalat Idul Qurban di Tolikara apabila kedua tersangka kasus intoleransi Tolikara dibebaskan.
Dalam pertemuan itu GIdI bersikeras agar dua tersangka dalang kerusuhan intoleransi Tolikara dibebaskan. Namun permintaan GIdI ditolak oleh Kemenkopolhukam. Semuanya harus diproses menurut hukum NKRI.
“Seandainya benar demikian sikap Kemenkopolhukam, Komnas HAM RI sungguh mengapresiasi. Begitulah sejatinya Negara bersikap. Negara tidak boleh bertekuk lutut kepada actor non-state (bukan aparatur negara, red). Negara hanya boleh tunduk pada konstitusi dan UU,” tegasnya.
Ketiga, mendesak Negara untuk menjamin ketidakberulangan (guarantees of non-recurrence) peristiwa intoleransi di Indonesia, khususnya di Tolikara pada masa yang akan datang.
Keempat, mendesak Negara untuk menyelesaikan kasus intoleransi dan kekerasan Tolikara secara profesional, mandiri, terbuka dan berkeadilan, siapa pun pelakunya. Negara tidak boleh bertekuk lutut kepada siapa pun, apalagi kepada actor non-state. Negara hanya tunduk kepada konstitusi dan hukum.
“Kelima, mendesak Negara, utamanya pemerintah (pemerintah pusat, pemerintah daerah, Pemprov Papua dan Pemkab Tolikara) sebagai penanggung jawab utama perlindungan, pemajuan, penegakan dan pemenuhan HAM warga negara (khususnya hak atas rasa aman, hak hidup, dan hak atas kebebasan beragama), untuk menunaikan kewajiban konstitusional dan hukumnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 28I ayat (4) UUD 1945 dan pasal 8 UU nomor 39 tahun 1999 tentang HAM, utamanya menjamin kebebasan beragama di Indonesia khususnya di Tolikara Papua,” demikian Maneger. (EZ/salam-online)