SINGKIL (SALAM-ONLINE): Ada upaya kristenisasi di Aceh Singkil melalui agama, ekonomi, pendidikan dan budaya. Tidak sedikit, para misionaris yang membeli tanah kemudian mendirikan banyak gereja dan undung-undung (tempat ibadah Kristiani berukuran kecil). Program kristenisasi juga dilakukan melalui perkawinan.
“Di pekarangaan rumah mereka, ada yang memelihara babi. Belum lagi praktik rentenir yang diduga didanai gereja. Yang tak kalah meresahkan adalah keberadaan minuman keras (miras) atau tuak yang dianggap budaya masyarakat non-Muslim,” ujar tokoh Islam Aceh Singkil, Tgk Zainal Abidin Tumengger kepada Jurnalis Islam Bersatu (JITU), belum lama ini.
Pertengahan Juni 2012 di Kabupaten Aceh Singkil sempat digemparkan dengan banyaknya buku penghinaan ajaran Islam yang disebar ke tempat-tempat rumah ibadah, seperti masjid, mushalla dan di jalan-jalan. Termasuk menyebarkan bibel atau selebaran terkait propaganda Kristen.
“Salah satu program kristenisasi adalah inflitrasi budaya secara perlahan. Minum tuak, misalnya, dianggap budaya nenek moyang mereka, sehingga masyarakat Muslim mengamini anggapan itu,” tambah Azwar, salah seorang warga Lipat Kajang, Aceh Singkil.
Misionaris di Aceh Singkil
Menurut catatan Aliansi Sumut Bersatu (ASB), Agama Kristen pertama kali masuk ke wilayah Aceh Singkil pada 1930 melalui seorang penginjil yang berasal dari Salak Pakpak Barat, bernama Evangelist I.W Banurea.
Pada 1932 I.W Banurea bekerjasama dengan perkebunan Socfindo mendirikan gereja, kemudian satu demi satu, desa-desa itu dikunjungi dan terbentuklah gereja-gereja. Sampai saat ini sudah sekitar 1.700 kepala keluarga atau sekitar 15.000 jiwa yang menganut agama Kristen di wilayah Aceh Singkil dan Sulubussalam.
Pertambahan jumlah pemeluk agama Kristen yang cukup signifikan ini mendorong pihak gereja untuk melakukan penambahan jumlah rumah ibadahnya sebagai upaya untuk menjawab kebutuhan para jemaatnya dalam melakukan peribadatan.
Dalam penelusuran JITU, hampir di setiap kecamatan di Kabupaten Aceh Singkil didominasi oleh Gereja Kristen Protestan Pakpak Dairi (GKPPD).
Dahulu orang Pakpak tidak punya agama, mereka menganut animisme yang disebut Pelebegu, agama asal suku Batak sebelum kedatangan Islam dan Kristen ke tanah Batak. Agama Pelebegu dianut oleh masyarakat Mandailing, Angkola, Karo dan Pakpak sebelum Islam, kemudian disebarkan ke seluruh Sumatera Utara. Di tanah Karo agama ini disebut Perbegu.
Malah dikatakan agama Pelebegu adalah perintis kepada agama Parmalim yang telah diasaskan oleh Sisingamangaraja XII dengan pelopornya Guru Somalaing. Lalu, muncul aliran kepercayaan yang disebut Pambi.
“Kemudian datang penjajah yang menguasai perkebunan. Kedatangan suku Pakpak dari Bungus dan wilayah Sumut lainnya kemudian membuat komunitas di Aceh Singkil. Masyarakat Pakpak datang ke Aceh Singkil di antaranya bermarga Tumengger dan Bancin. Di Aceh Singkil, mereka bekerja di kebun kelapa sawit, menetap hingga beranak pinak,” papar Tgk Zainal Abidin Tumengger, yang juga anggota Majelis Permuswaratan Ulama (MPU) Aceh Singkil.
Ketika Kristen masuk ke Aceh Singkil, misionaris membangun gereja dan mendatangkan pekerja non-Muslim ke sini. Sejak itulah Gereja GKPPD berkembang di Aceh Singkil. “Sucfindo, sebuah perusahaan kelapa sawit yang sebagian besar sahamnya milik Belgia, punya peran pembangunan gereja di Aceh Singkil ketika itu,” ujar Zainal.
Dikatakan Zainal Abidin, di masa kolonial Belanda, hanya ada satu gereja di Aceh Singkil. Tapi kemudian, sejak Indonesia merdeka, bahkan diberlakukan syariat Islam di Aceh, keberadaan rumah ibadah Kristiani justru berkembang hingga 24 gereja (versi pemerintah), sedangkan masyarakat muslim Aceh mencatat terdapat 27 gereja.
Ingkar Janji Kaum Nasrani
Berdasarkan kesepakatan sebelumnya (tahun 2001), sebagai wujud toleransi umat Islam di Aceh Singkil, diperbolehkan berdiri 1 gereja dan 4 undung-undung (tempat ibadah Kristen berukuran kecil). Tapi kemudian, kaum Nasrani tidak menepati janji. Undung-undung yang awalnya diperuntukkan menampung puluhan orang saja, kemudian merehabilitasi bangunan fisiknya menyerupai gereja.
Yang jelas, sudah beberapa kali dilakukan penyegelan oleh Pemerintah Daerah Aceh Singkil (sejak 1979-2015). Rumah ibadah ilegal yang telah disegel pemerintah, secara diam-diam dibuka kembali oleh pihak Nasrani, dan digunakan untuk beribadah.
“Mereka kembali melakukan pelanggaran yang telah disepakati. Bahkan, secara bertahap, membangun rumah ibadah di tempat yang berbeda. Pelanggaran inilah yang diprotes masyarakat muslim Aceh Singkil,” tandas Zainal.
Yang jadi masalah sesungguhnya, kata Zainal, adalah tidak adanya peraturan yang bersifat permanen. Misalnya, ketika masyarakat meminta Pemkab untuk menertibkan rumah ibadah ilegal, Bupati kerap meremehkan tuntutan masyarakat Muslim.
“Deadline waktu satu minggu untuk eksekusi, yang terjadi justru mengulur-ulur waktu.” (Desastian/JITU)