CIIA: “Surat Edaran Ujaran Kebencian Tafsirnya Sangat Subyektif, Tergantung Kepentingan”

Harits Abu Ulya-7-jpeg.imageJAKARTA (SALAM-ONLINE): Terkait Surat Edaran (SE) tentang ‘Ujaran Kebencian’ yang dikeluarkan Kapolri, Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya mengatakan, masyarakat perlu kritis, karena substansi SE tersebut potensial melahirkan masalah dalam kehidupan sosial politik masyarakat. Kenapa demikian?

Pertama, menurutnya, masyarakat yang bermoral dan beradab adalah dambaan semua orang di Indonesia. Dan tatanan beradab membutuhkan piranti berupa norma-norma adat atau dalam wujud regulasi.

”Namun demikian sebuah ketentuan regulasi tidak boleh kemudian mengebiri hak-hak dasar masyarakat untuk melakukan kritik atau amar ma’ruf nahi mungkar kepada penguasa atau sesama anggota masyarakat,” ujar Harits Abu Ulya dalam rilis yang diterima redaksi, Kamis (5/11).

Kedua, kata Harits, sementara SE Kapolri itu bukan regulasi atau norma hukum, namun itu tuntunan teknis bagi pihak aparat keamanan untuk menghadapi persoalan terkait ‘ujaran kebencian’. Justru di sinilah, ujarnya, titik krusialnya SE itu potensial melahirkan blunder hukum dalam kehidupan sosial politik masyarakat, karena SE bukan regulasi dan norma.

“Di samping soal substansi SE terkait diksi ‘ujaran kebencian’ atau diksi ‘kebencian’ dan ‘menyebarkan kebencian’ itu sangat ambigu, Tafsirnya bisa sangat subyektif, tergantung kepentingan,” tegas Harits.

Baca Juga

“Terlebih lagi obyek jangkauannya yang begitu luas, semisal untuk para khatib/pengkhutbah, pengajian, ceramah agama, dakwah di media cetak maupun media online, tentu ini akan melahirkan problem baru,” terangnya.

Ketiga, ia melanjutkan, kalau melihat munculnya SE dalam konteks konstalasi politik kenegaraan yang lagi didera banyak masalah dan bisa dibilang kondisi status quo cukup kritis, maka SE ini tampak sekali motif kepentingan politik status quonya membonceng di situ.

“Status quo bernafsu menjelma menjadi rezim otoriter dengan alasan membangun keadaban,” ungkapnya.

Keempat, ujar Harits, jika benar motifnya adalah membangun keadaban kehidupan sosial politik bermasyarakat, maka tidak cukup dengan soal ‘ujaran kebencian’ yang harus dibereskan. “Tapi juga ‘ujaran kebohongan’, ‘ujaran penipuan’, ‘ujaran penyesatan publik’ dan lainnya perlu disasar, baik aktornya adalah penguasa, politikus, kelompok maupun individu,” pungkasnya. (EZ/salam-online)

Baca Juga