JAKARTA (SALAM-ONLINE): Operasi perburuan Santoso cs yang dilabeli sebagai kelompok “teroris” kembali digelar mulai pekan ini di Poso. Aparat gabungan Polisi dan TNI dikerahkan. Mencermati dengan teliti jalan penyelesaian Poso seperti melihat jalan tidak berujung. Artinya tidak ada solusi tuntas terukur yang digelar.
“Kita semua berharap Semoga Poso segera damai, tidak ada lagi Operasi Maleo-Maleo berikutnya. Ini operasi Camar Maleo yang ke-4, dan menurut saya kemampuan pemerintah melalui aparat Polisi dan TNI untuk menormalisasi keamanan Poso diuji, dan operasi kali ini menjadi parameter keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan problem yang menahun ini,” ujar Pemerhati Kontra-Terorisme dan Direktur The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya kepada salam-online, Sabtu (7/11).
Ia berharap Poso tidak lagi menjadi panggung permainan untuk kepentingan-kepentingan opurtunis, baik oleh orang lokal Poso maupun dari luar Poso.
“Analisa saya, sejak awal, baik intelijen Polri maupun organ intelijen militer dan BIN mengetahui peta dan kekuatan kelompok sipil bersenjata yang ada di Poso. Namun operasi demi operasi juga tidak berujung tuntasnya masalah, bahkan justru melahirkan masalah baru,” tambah Harits.
Saat sekarang dengan digelarnya operasi Camar Maleo hingga ke-4 justru menunjukkan adanya tarik ulur kepentingan para aktor penentu kebijakan di pihak pemerintah.
Seharusnya, menurutnya, tidak perlu berlarut-larut dengan menggelar operasi ke sekian kalinya yang berdampak lahirnya sikon yang tidak kondusif bagi kehidupan beragama, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat Poso.
Kata Harits, dari awal jika mau serius, bisa saja presiden bersama parlemen membuat keputusan politik yang relevan. Misalnya mengirim pasukan Raider TNI atau yang punya kemampuan gerilya, karena yang mereka hadapi adalah orang sipil bersenjata dengan taktik gerilya. Dan perlu dicatat, bahwa kekuatan real kelompok Santoso cs tidaklah sebesar seperti diberitakan oleh media.
“Poso butuh sentuhan kebijakan yang komprehensif dari pemerintah pusat, mengedepankan persuasif dan humanisme daripada pendekatan senjata untuk menyelesaikannya,” ungkapnya.
Jangan lupa, ujar Harits, bahwa mereka yang diburu adalah WNI. Sikap perlawanan yang mereka lakukan dilatarbelakangi kompleksitas persoalan, termasuk residu konflik masa lalu yang tidak tuntas sampai sekarang.
Karena itu, Harits berharap, agar berhentilah menjadikan Poso sebagai Panggung Sandiwara “Terorisme”.
“Poso jangan lagi jadi panggung sandiwara dengan judul ‘Terorisme Poso’. Masyarakat Poso sudah sangat lelah didera persoalan yang tidak kunjung beres mendapatkan solusi tuntas dan manusiawi,” tegasnya. (EZ/salam-online)