JAKARTA (SALAM-ONLINE): Setelah Wali Kota Bogor menerbitkan surat bernomor 300/1321-Kesbangpol tanggal 22 Oktober 2015 tentang Pelarangan Perayaan Asyura Syiah di Kota Bogor, saat ini Surat Edaran Kapolri Nomor SE/06/X/2015 tentang Penanganan ‘Ujaran Kebencian’ (Hate Speech) menjadi buah bibir di masyarakat, terutama di jejaring sosial, twitter, facebook, dan lain-lain.
Menanggapi Surat Edaran Kapolri tersebut, Direktur Eksekutif SNH Advocacy Center Sylviani Abdul Hamid menilai, terbitnya Surat Edaran Kapolri itu memperlihatkan rezim saat ini telah kembali ke zaman orde-orde sebelum reformasi. Pasalnya Surat Edaran ini mirip dengan Undang-Undang Nomor 11/PNPS/Tahun 1963 tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi yang telah dicabut pada masa awal reformasi.
“Mirip dengan Undang-Undang Subversi, tetapi berbeda order. Kalau Undang-Undang Subversi jelas ordernya dari pemerintah, kalau ini (Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech, red) ada dugaan didorong kelompok tertentu, karena di dalamnya tidak membahas tentang garis vertikal (masyarakat dan pemerintah), akan tetapi menerangkan tentang pencegahan konflik horizontal,” ujar Sylviani dalam rilis yang diterima redaksi, Kamis (5/11) pagi.
Menurutnya, Surat tersebut diduga ditujukan lebih khusus kepada para Pemuka Agama, Khatib dan penceramah-penceramah, khususnya dari kelompok Islam, serta netizen yang cenderung berbeda pandangan dan ingin membendung kelompok yang mereka duga telah menyebarkan ajaran/aliran yang sudah keluar (menyimpang, red) dari pokok-pokok ajaran Islam.
“Hipotesa ini sudah melalui kajian yang kita lakukan terhadap Surat Edaran tersebut dan juga dari pengamatan atas peristiwa sebelum keluarnya Surat Edaran ini,” jelas aktivis yang juga pengacara ini.
“Dari poin-poin yang disampaikan dalam Surat Edaran itu, kita menduga ada kelompok yang dituju oleh Surat Edaran dan ada kelompok yang ‘merasa’ terlindungi,” terang Sylvi.
Karenanya, ia menduga Surat Edaran ini merupakan pesanan kelompok tertentu untuk membungkam aktivitas netizen dan para penceramah untuk tidak menyudutkan kelompok yang dinilai menyimpang dari ajaran Islam.
Ia mengingatkan, peristiwa penutupan/pemblokiran situs-situs dan website-website Islam yang pernah dilakukan oleh Menkominfo beberapa waktu lalu. Pemblokiran tersebut, menurutnya, tidak ujug-ujug dilakukan, walaupun pada akhirnya dilakukan kembali atas pemblokiran tersebut.
“Jelas web-web Islam tidak menyudutkan pemerintah, akan tetapi memang ada kelompok tertentu yang berusaha dibuka dan dibongkar praktik kesesatannya,” sambung Sylvi di sela-sela diskusi terbatas di bilangan Cilangkap.
Ia meminta kepada Kapolri untuk segera mencabut Surat Edaran tentang Hate Speech itu, karena menurutnya, segala tindak pidana terkait dengan perbuatan pidana yang dimaksud dalam Surat Edaran sudah termaktub dalam KUHP dan Undang-Undang lainnya.
“Buat apa lagi, toh sudah diatur dan tersebar di dalam peraturan perundang-undangan lain. Apa mau menakut-nakuti masyarakat?” tutup Sylvi.
Sampai rilis ini diturunkan Sylvi enggan menyebutkan kelompok yang diduga sebagai pendorong terbitnya Surat Edaran Kapolri tentang Hate Speech tersebut. (EZ/salam-online)