JAKARTA (SALAM-ONLINE): Ketua Umum Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) Beni Pramula menilai pemerintah mulai ketakutan dengan aksi-aksi massa yang akhir-akhir ini marak menuntut Jokowi-JK mundur.
“Mereka takut kalau kekuatan rakyat akan menjatuhkan rezim ini. Pemuda, mahasiswa, pedagang kaki lima dan buruh sudah kerap turun ke jalan menuntut Jokowi-JK mundur. Aksi Mahasiswa dan Pemuda di Istana dan DPR sudah mencapai puluhan ribu massa,” kata Beni Pramula kepada redaksi, Jum’at (6/11).
Penguasa hari ini, ujar Beni, merasa ketakutan dan mulai kelabakan menghadapi tuntutan para demonstran sehingga menggunakan aparatur kepolisian untuk berbuat anarki terhadap para aktivis yang berdemo, termasuk juga membuat surat edaran dan membatasi aksi-aksi massa seperti larangan atau membatasi tempat-tempat aksi tidak boleh di istana dan tempat tertentu.
“Memangnya kenapa kalau aksi massa semakin banyak, itu artinya ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahan ini sudah meluas dan rakyat sudah tidak percaya lagi pada kepemimpinan ini,” tegasnya.
Beni mengritik Surat Edaran Kapolri tentang ‘Ujaran Kebencian’ dan Pergub DKI yang membatasi tempat masyarakat untuk berunjuk rasa.
“Membatasi masyarakat untuk berunjuk rasa melalui Surat Edaran (Kapolri) dan Pergub DKI tersebut hanyalah bertujuan untuk membuat efek jera dan untuk mengebiri demokrasi,” tandasnya.
“Ini rezim yang licik, otoriter dan hipokrit. Kami tidak akan takut, kami akan terus bergerak, akan terus mengkritisi rezim pencitraan ini, akan terus berdemonstrasi mendesak Jokowi-JK mundur,” tegas Beni.
Ia mengatakan memahami, bahwa melontarkan pendapat, maupun kritik yang pedas di media sosial, tentu saja ada aturan hukum yang tidak boleh dilanggar. Namun yang membuatnya tidak sepakat adalah jika nantinya polisi terus melakukan tindakan represif dan terkesan mengada-ada menjerat orang, kelompok atau kooporasi yang dianggap melontarkan ‘Ujaran Kebencian’ seperti yang terjadi ketika aksi Aliansi Tarik Mandat (ATM) Jokowi-JK dan buruh belakangan ini.
“Jangan-jangan ada udang di balik batu, kompromi antara penguasa dan aparatur negara bahwa sikap reaktif aparat hanya untuk melindungi kekuasaan. Persepsi soal penghinaan, provokasi atau menebar fitnah juga sangat bias. Kita mengingatkan, ancaman pidana ‘Ujaran Kebencian’ jangan justru membelenggu demokrasi itu sendiri,” pungkasnya. (EZ/salam-online)