Gelar Diskusi, INDRA Institute Minta Kinerja Pemberantasan Teror Diaudit

INDRA INSTITUTE-2
Diskusi Quo Vadis Revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Selasa (16/2) di Jakarta yang dihelat INDRA Institute (dokumentasi salam-online)

JAKARTA (SALAM-ONLINE): Upaya merevisi Undang-Undang Terorisme sudah banyak ditentang sejak diungkapkan empat tahun lalu. Revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, kini seolah mendapat momentum baru dari serangan teror di Sarinah, Jakarta. Ditentang, lantaran dalam implementasinya telah banyak memakan korban salah tangkap bahkan extra judicial killing.

Untuk itu Institute for Development Research and Analysis (INDRA Institute) menghelat sebuah diskusi bertajuk ‘Quo Vadis Revisi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme’ di Jakarta, Selasa (16/2/2016). Tampil sebagai nara sumber: T. Taufiqulhadi (Anggota Komisi III DPR RI), Al A’raf (Direktur Imparsial), Siane Indriani (Komisioner Komnas HAM), Abu Rusydan (mantan tertuduh Amir JI) dan Munarman (An Nashr Institute).

“INDRA Institute meminta seluruh stakeholder bersikap kritis dan menolak Revisi UU Terorisme tersebut, sebab ini disinyalir merupakan jalan pintas bagi pihak keamanan yang tidak mampu memberikan rasa aman bagi masyarakat. Bahkan seharusnya paska serangan terror di Sarinah, pejabat yang terkait malu dan mengundurkan diri, tetapi ini tidak dilakukan,” kata Direktur Eksekutif INDRA Institute Jaka Setiawan, dalam rilisnya, Selasa (16/2).

INDRA Institute, kata Jaka, meminta kinerja pemberantasan teror agar diaudit. Karena, ujarnya, selama ini kinerjanya belum pernah diaudit, padahal banyak kebijakan kontra-terorisme di lapangan telah melampaui kewenangannya dan penuh dengan pelanggaran HAM.

“Mulai dari penangkapan tanpa surat perintah, extra judicial killing, penggeledahan dan penyitaan, penganiayaan dan penyiksaan di luar norma hokum yang berlaku, kegiatan intelijen yang meneror masyarakat baik fisik maupun non fisik, pelanggaran hak atas ibadah, laporan intelijen yang tidak akurat yang mengakibatkan salah tangkap,” ungkapnya.

Baca Juga

Itu belum lagi, ujar Jaka, adanya upaya paksa penangkapan di depan anak-anak di bawah umur. “Tak ada hak mendapatkan informasi keberadaan seseorang yang ditangkap atau ditahan, otopsi dan tes DNA keluarga yang melanggar norma hukum dan HAM.”

Karena itu, sebelum bicara revisi UU Terorisme, tegas Jaka, INDRA Institute meminta sebaiknya DPR dan pemerintah melakukan AUDIT secara menyeluruh terhadap kinerja dan implementasi UU No 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme tersebut.

“Jangan sampai kita mengorbankan kebebasan sipil dan HAM yang sudah kita raih susah payah dan berdarah-darah, untuk jaminan keamanan yang belum pasti dan alih-alih hanya memberi keleluasaan dan kekuasaan tambahan kepada aparat yang sampai saat ini tidak memiliki reputasi bagus,” terang Jaka.

Selama ini, menurutnya, pemberantasan teror hanya memperkuat sepak terjang Densus 88, seolah menjadi dead squad yang sering kali terlibat dalam penyiksaan dan extra judicial killings, terduga “teroris” yang tanpa senjata dan tanpa perlawanan.

“Terorisme bisa menjadi beban sejarah bagi anak cucu bangsa Indonesia, karena sebutan ‘teroris’ sudah dan sering dipakai untuk merendahkan pihak lain (aktivis lembaga kemanusiaan dan medis, pesantren, dan simbol-simbol Islam). Di negara-negara satelit seperti Indonesia, isu terorisme menjadi suatu hal yang sangat problematik jika dikaitkan dengan prinsip HAM. Pada Praktiknya, mulai dari proses penetapan, penangkapan, penahanan, sampai proses persidangan banyak melanggar prinsip-prinsip hukum dan HAM,” pungkasnya. (mus)

Baca Juga